Suami/istri yang merasa diabaikan oleh pasangannya. Ini yang paling berbahaya, baik dalam hubungan perkawinan atau pacaran. Bila seseorang mulai merasa diabaikan oleh pasangannya karena sang pasangan mulai lebih banyak perhatian kepada pekerjaan, anak, kegiatan sosial (termasuk jejaring sosial), atau keluarga, maka, pihak yang diabaikan akan mulai mencari kenyamanan dan perhatian yang tidak didapat dirumah melalui orang lain yang bisa menyediakannya.
#2 Rendahnya Self-Esteem (Penghargaan Diri)
Ini ditandai dengan rendahnya apreasiasi, tekanan di tempat kerja dan bertambahnya usia yang membuat seseorang jadi merasa tidak bernilai, tidak dibutuhkan. Biasanya ini melanda orang-orang setengah baya. Infidelity dilakukan sebagai cara untuk meningkatkan harga diri dan untuk membuktikan bahwa mereka sebenarnya masih ‘laku’ dan mampu melakukan perselingkuhan.
#3 Mencari Kesenangan
Bila hubungan perkawinan telah mencapai suatu titik di mana pasangan tidak lagi punya rasa rindu satu sama lain- tak lagi ada getar-getar cinta, maka inilah saatnya masing-masing mencari kesenangan yang mungkin disediakan baik sengaja atau tidak sengaja oleh orang lain. Interlude (istilah untuk menyatakan selingan untuk mencari kesenangan dalam kebosanan atau rutinitas), termasuk dalam bagian ini.
# 4. Terlalu Banyak Kerja, Kurang Waktu Santai.
Bila orang mulai sukses dalam pekerjaan, biasanya orang tak akan lagi punya banyak waktu untuk keluarganya. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah bahwa pasangan seperti ini lebih suka mencari partner, teman ngobrol, teman curhat, yang berada di seputaran dunia kerja, dan bukannya dengan pasangan asli di rumah. Orang-orang dari lingkungan kerja inilah yang berpotensi menjadi partner selingkuh.
#5 Kesamaan Tempat atau Bidang Kerja
Ini sebenarnya terkait dengan penyebab nomor 4 di atas. Bedanya, terjadinya perselingkuhan lebih dipercikkan oleh kedekatan sehari-hari kandidat pasangan selingkuh dalam bidang kerja atau tempat kerja. Perbincangan kerja bisa meluas ke jam-jam di luar jam kerja, di luar tempat kerja, dan keharusan-keharusan untuk menjalankan pekerjaan antar pihak beda jenis ini biasanya beringsut ke hubungan lain yang kemudian mengecilkan makna-makna dan rambu-rambu perkawinan yang seharusnya membentengi masing-masing pasangan selingkuh itu dengan pasangan resmi masing-masing. Orang-orang yang tidak bekerja di tempat yang sama, tetapi memilik bidang kerja yang sama, berpotensi terbuai perselingkuhan.
#6 Pertemuan Dengan Teman Lama, Kekasih Lama
‘Old Flame,’ demikian istilah tak resmi yang biasa digunakan untuk menggambarkan kekasih lama yang telah punya pasangan resmi masing-masing, dan bertemu lagi dalam suatu kesempatan (reuni, tidak sengaja ketemu di pesawat, tidak sengaja menjadi klien atau partner kerja). Rasa cinta yang seharusnya tinggal sejarah, bila masing-masing bertemu secara fisik, bisa berubah menjadi peluang-peluang untuk mengobarkan lagi cinta api-api asmara yang pernah ada. Di Indonesia, ini biasa disebut CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali).
#7 Keinginan Menyamakan Skor
Seorang suami/istri yang telah dikhianati cintanya tidak selalu bisa memaafkan dan menerima kenyataan itu. Dalam komunitas tertentu, ketidakmampuan memaafkan dan menerima kenyataan bisa berakhir dengan darah; tapi dalam komunitas-komunitas tertentu, harga diri yang tercabik-cabik dan terlecehkan bisa terobati dengan cara balas dendam dan menyamakan skor sehingga mencapai 1-1. Istri yang dikhianati akan ganti mengkhianati, dan sebaliknya.
#8 Maraknya Jejaring Sosial
Tak pelak lagi, perkembangan teknologi komunikasi telah turut andil dalam memicu perselingkuhan. Kita tahu bahwa Facebook, Twitter, BBM dan sarana-sarana jejaring sosial lain telah membuka berbagai peluang bagi munculnya hubungan sosial yang semula biasa-biasa saja menjadi tidak biasa, dan merembet ke hubungan terlarang di luar nikah. Conto-contoh perselingkuhan melalui aspek ini sudah banyak ditulis.
EFEK PERSELINGKUHAN
Hampir tak ada catatan positif sebagai efek perselingkuhan. Infidelity dari satu pasangan akan menyebabkan sakit hati, luka rasa, rendah diri, terlecehkan, termalukan, dendam dan perasaan-perasaan lain yang sangat tidak nyaman. Ini akan diperparah lagi oleh fakta-fakta sosial lain misalnya : selingkuhan pasangan kita adalah sehabat sendiri, rekan sekantor, orang yang lebih rupawan, orang yang lebih kaya, orang yang lebih muda, lebih sukses dan semacamnya.
Selebihnya, perselingkuhan dalam perkawinan dipastikan tak akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi pasangan-pasangan yang jadi korban perselingkuhan. Luka, dendam dan nyeri di dada itu tak akan ada habisnya, dan walau mulut berucap maaf, belum tentu hati turut sepakat memberi maaf. Walau si pelaku selingkuh sudah berjanji akan ‘membuka lembaran baru—starting all over again’, tetap saja ada perasaan was-was, kecurigaan akan terulang, dan sejenisnya yang sulit hilang dari benak korban. Dan kitapun tahu, bahwa perselingkuhan pada pasangan menikah, sekali terjadi, bisa saja terjadi dan terjadi lagi. Kalau sudah demikian, bisakah kepercayaan dibangun, bisakah maaf diberikan lagi dan lagi? Bisakah keharmonisan terus dipertahankan?
Bagi pasangan tanpa anak, ketidaknyamananan itu bisa segera diakhiri dengan perceraian, bila masing-masing pasangan tak ada harapan untuk bersama lagi. Tapi bagi pasangan yang memiliki buah hati, perceraian bukan persoalan gampang. Ada tanggungjawab sosial yang harus diemban; masa depan anak-anak! Dalam kepercayaan agama tertentu, ada pula larangan untuk bercerai (yang telah dipersatukan Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia).
KEHIDUPAN PERKAWINAN SETELAH BADAI PERSELINGKUHAN
Lalu, bagaimanakah kita—sebagai pihak yang telah dikhianti-- bisa hidup aman, nyaman dan tenteram dalam keutuhan perkawinan setelah perselingkuhan? Jawabannya terpulang pada individu masing-masing. Bilamana kebersamaan dalam ikatan perkawinan itu jauh lebih penting daripada yang lain-lainnya, kenapa kita tidak mulai hidup dengan lebih bertanggungjawab, lebih memaknai kesetiaan dan lebih menghargai diri sebagai individu yang bermoral. Meski ke delapan penyebab perselingkuhan tersebut terus akan mengancam kita setiap saat, kalau kita kokoh, taat ajaran agama, punya visi dan misi untuk menatap kehidupan anak kita di masa depan dan ingin terbebas dari derita psikologis semacam was-was, bohong, dusta, abai, cemburu, dendam, dongkol, rendah diri dan sebagainya, mungkin kita bisa melalui perkawinan dan memenangkan kehidupan perkawinan itu dalam ranah yang kita sebut ‘keutuhan cinta di atas riak-riak gelombang’
Bagaimana dengan pihak yang telah melakukan selingkuh? Bersandarlah pada hakekat ‘first and last’, jangan ada lagi, dan anggap itu sebagai kesalahan fatal yang tidak boleh terulang.
Yuk menjadi orang baik!
“…..sedang berusaha menegakkan kembali bahtera yang oleng setelah dihantam ombak…”