baiklah, ini hanya sedikit pengetahuan dangkal yang mungkin masih bisa diteruskan dan dilengkapi oleh pembaca-pembaca.
Permasalahan religius melulu pasti membicarakan mengenai agama dan kepercayaan Tuhan, meskipun banyak ragamnya agama dan kepercayaan tapi pada intensitas utamanya adalah interaksi kepada Tuhan masing-masing.
Kita mulai dari Theisme, analisa theisme menurut apa yang saya pahami disini merupakan mendasarkan pada perilaku dan pemikirannya kepada Tuhan, tentunya mereka mempunyai sebuah bingkai bernama Agama untuk mewujudkan interaksi batiniah kepada Tuhan nya. disini, peran agama sangat kuat, individu-individu tampak seperti religius dan berpaku pada dogma-dogma agama yang mereka anut maupun ikuti. Tidak salah memang, bahwasanya agama sepertinya dijadikan alat untuk mencapai kebahagiaan akherat bahkan kedamaian hati nurani.
Barangkali betrand russel mempunyai pandangan yang berbeda, ia mempunyai statment bahwa Agnostic seperti yang diungkapnya merupakan sepintas memuja akal dan logika manusia, tidak mempercayai konsistensi dari sang Tuhan, tetapi tidak pula menolak Tuhan. Dalam bentuk yang seperti ini betrand Russel melingkarkan dengan konsep yaitu "sebuah sikap yang menunda keputusan untuk mempercayai atau mengingkari sang Tuhan itu sendiri". . hmmhh terkesan aneh bukan ?
Jika saya menelaah apa yang diutarakan betrand russel, konsep yang coba diberikan betrand Russel merupakan terkesan ragu-ragu diantara meng iya kan dan tidak. Namun, justru, karena sikap yang ragu-ragu itulah, seorang agnostik akan susah untuk dipengaruhi paham-paham yang menentang kemanusiaan. Karena bagaimanapun, jika supremasi tertinggi yang mereka junjung bukanlah dari sudut agama, maka humanisme menjadi satu-satunya asas mereka untuk menentukan baik dan buruk. Menarik apa yang dikatakan Russel, lanjutnya agama dalam sejarahnya telah melakukan berbagai hal tindak kekerasan kepada sesama umat manusia. Dan kinilah saatnya bagi manusia untuk menentukan mana yang baik bagi diri mereka sendiri. Agama dikatakan hanya bakal membuat manusia terkotak-kotakan, jadi mau tidak mau akan selalu bertentangan dengan manusia, sekelompok manusia atau agama lain yang dipandang berbeda. Kita tengok bagaimana Paus Urban II menggemborkan kepada para kesatria untuk mengobarkan perang Salib, juga penundukkan penundukkan yang dilakukan oleh dinasti-dinasti islam kala itu.
Bagaimana di Indonesia ?
Kita bisa mencermati sendiri, Agama sudah menjadi sebuah alat propaganda yang paling murah serta efektif untuk mengoyak nilai-nilai nasionalitas. Bahkan parahnya, agama disini dengan bebas dijadikan alat kendaraan politik melanggengkan kekuasaan..saya pikir ini sebuah pembelokkan tujuan secara tajam..Agama ada, agama dianut, agama dipuja bukan dijadikan seperti itu, melainkan urusan pribadi, kebatinan individu untuk menciptakan interaksi secara dalam kepada Sang Tuhan. Dan embrio utamanya tentunya menciptakan kebahagiaan lahir dan batin.
Ketika saya bersdiskusi di sebuah tempat warung kopi dengan salah seorang kawan saya, kawan yang sama2 belajar filsafat, tetapi dia mungkin lebih dalam dan sudah jauh memperlajari filsafat. dia memberi aku gambaran "doraemon dan Tuhan". Begini, mula-mula hanya celetukan yang kawan saya katakan, seandainya ada doraemon dengan pintu dan kantong ajaibnya (masuk ke dimensi zaman russel dan webber) maka sayaakan meminta Russel, Webber, dan para pemikir pada saat itu ikut mengkaji mazhab-mazhab teologi Islam sekaligus ilmu tafsir dan hadits sehingga pemikiran mereka lebih komprehensif dan universal. Sebab, menurutnya dogma-dogma itu hanya dikaji dan ditelaah dari satu sudut pandang kristen. Agama yang sebagian besar dianut oleh penduduk eropa kala itu. "Ujar kawan saya.
masalahnya doraemon tidak mungkin ada dalam dunia nyata..hmmmh, tetapi jika kita mau menggunakan referensi dari Louis O. Kattsoff melalui Pengantar Filsafat-nya, sebagai sebuah cerita bergambar. Doraemon, seperti juga Tuhan, akan kita pahami sebagai sebuah konsep yang kita benar-benar percaya akan keberadaan dan kenyataannya. Satu hal yang mungkin membedakan antara Doraemon dan Tuhan adalah sifat eksis. Kattsoff menuliskan bahwa yang dimaksud sebagai eksistensi dalam kontemplasi kefilsafatan adalah "meruang" dan "mewaktu". Eksistensi kemudian dipahami sebagai sesuatu yang harus mempublik, dapat dilihat dan diamati oleh orang banyak, dan bukan sebagai sebuah konsep. Analogikan begini: sebuah konsep tentang persegi panjang akan bereksistensi, misalnya, pada papan tulis. Tuhan tidak memiliki semuanya itu, kecuali hanya sebagai sebuah konsep. Dan apa yang ada dan nyata sebagai sebuah konsep, tidaklah eksis.
Eksistensi Tuhan, menurutnya, tidak bisa dipahami sebagai yang "meruang" dan "mewaktu". Definisi akan eksistensi itu sendiri telah membatasi manusia untuk memahami sesuatu yang bahkan jauh dari keterbatasan nalar manusia: Tuhan.
Kita ambil contoh salah satu nama Tuhan, Yang Maha Kuasa. Kemudian diajukan pertanyaan, jika Tuhan memang Maha Kuasa, mampukah Ia menciptakan batu besar yang Ia sendiri tidak kuat untuk mengangkatnya? Pertanyaan inilah yang salah, sebab premis pertama, yang dalam hal ini "Tuhan Yang Maha Kuasa", akan mengalahkan premis-premis lain yang menggugat kuasaNya. Dan Tuhan, yang menyadari bahwa agama diperuntukkan manusia sebagai makhluk yang bernalar, akan menggunakan nama-nama dan sifat-sifat yang dapat mereka pahami.
Mungkin begitulah sebuah analogi yang mungkin tergambarkan atas kritik dari pendapat Russel tersebut. Ada yang mengungkap mungkin ini memang kurang akurat, karena hanya dengan cara dangkal saya menggambarkan sebuah manusia dan Tuhan.
Tapi kita tidak lantas menyimpulkan bahwa apa yang diutarakan seorang agnostic itu salah kaprah, sebab mereka juga punya landasan yang cukup variatif. mengapa mereka men dogma kan akal pikirannya sendiri ? Sebab seperti yang dituliskan Russel, agama memang sebenarnya melarang seseorang untuk membunuh, misalnya, namun ada seribu satu alasan duniawi yang melarang manusia untuk menghilangkan nyawa orang lain. Salah satunya, mungkin, karena takut akan hukuman. Dengan setumpah alasan-alasan kongkrit seperti itu bagi kaum agnostic mungkin membenci agama sebagai dasar rasa kemanusiaan. Banyak darah segar mengalir, tumpah menumpah, senjata dimana-mana hanya karena panji-panji agama, kita juga tidak bisa memungkiri hal ini, karena kenyataan yang terjadi memang seperti itu. Andai saja tidak agama di Dunia ini maka hal-hal tragis semacam itu tidak akan terjadi dan tidak akan pernah terjadi, Wajar kan ?
Jadi, pada akhirnya setelah berbicara panjang lebar, kesana-kemari, terkadang nyambung apa enggak, berbicara masalah agama dan berbicara masalah Tuhan memang sensitif dan tidak bakal ada habisnya untuk dikaji dan diungkap kebenaran..Belum tentu benar sebuah teori dan juga belum tentu salah juga, sebab ilmu semacam itu dibilang benar dan salah hanya bergantung pada sebuah kesepakatan.
Disini, saya hanya bermaksud memberi gambaran mengenai sisi lain theisme secara filsafat, bukan bermaksud mempengaruhi atau meracuni konsep yang sudah dipegang oleh masing-masing individu pembaca. Sebab, manusia didunia ini memang secara disadari maupun tidak disadari terhimpit diantara Theisme dan Agnostic. Salah pemahaman memang bisa menjadikan tersesat tak berarah.