Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Silent Diplomacy Rama Kanjeng Jendral Anumerta a.k.a Mgr. Albertus Soegiyopranoto.SJ

26 Agustus 2011   03:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:27 1840 2
Apa yang kau bilang...? Cepat berangkat sekarang. Seorang Katolik baru boleh pulang dari berjuang bila sudah mati...!”

jawaban seorang Uskup dengan nada tinggi kepada beberapa pemuda ketika bertanya bolehkah seorang Katolik berjuang melawan Belanda.

Ya... dialah Mgr. Albertus Soegiyopranoto.SJ, uskup pribumi yang pertama yang bertugas di Semarang yang sering dipanggil sebagai Rama Kanjeng dalam kehidupan sehari-hari.

Anak Betlehem Van Jawa

Mgr. Albertus Soegiyopranoto.SJ lahir di Surakarta pada tanggal 25 November 1896 .

Lahir dari keluarga sederhana kejawen abdi dalem Keraton Surakata dengan nama kecil Soegiyo.

Pada awalnya pandangannya tentang Katolik sangat buruk karena dianggapnya sebagai agama penjajah.

Akan tetapi, lewat pendidikan beliau menemukan pengenalan Kristus lebih mendalam lewat Gereja Katolik, ia pun bersedia dibabtis dengan mengambil pelindung babtisnya Albertus Magnus.

Bahkan setamat dari pendidikan Kolose Xaverius, beliau melanjutkan pendidikannya sebagai imam dan ditakbiskan pada  15 Agustus 1931.

Pada 1 Agustus 1940, Mgr. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia, menerima telegram dari Roma yang berbunyi:



Dari “Propaganda fide (pewarta iman)”, Semarang perlu mengangkat wakil Albert Soegijapranata, SJ terpilih sebagai pemimpin wilayah dengan gelar Uskup tanpa wilayah Keuskupan (=Vikaris Apostolik, karena pada saat itu belum dibentuk Keuskupan Agung Semarang). Anda dapat melantiknya tanpa adanya surat pengangkatan resmi.

ditanda tangani oleh Cardinal Montini (kelak menjadi Paus Paulus VI).

Soegijapranata menjawab: “Thanks to his holiness begs benediction”.

Pada 6 November 1940 ia ditahbiskan sebagai Uskup pribumi Indonesia pertama untuk Vikaris Apostolik Semarang.

Pendudukan Jepang (1942-1945)



” Ini adalah tempat yang suci. Saya tidak akan memberi izin. Penggal dahulu kepala saya, maka Tuan baru boleh memakainya.”

Itulah jawaban heroik Rama Kanjeng saat Gereja Randusari ingin disita oleh tentara Jepang untuk dijadikan Markas tentara.

Masuknya tentara Jepang dalam kancah peperangan menjadikan Perang Dunia ke-2 semakin memanas. Tanggal 8 Desember 1941 tentara Jepang menyerang sebuah Pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl Harbour dan juga mengobarkan Perang Pacific termasuk Hindia Belanda dan berhasil merebut wilayah Hindia Belanda dari kekuasaan Belanda.

Salib berat Rama Kanjeng Soegijapun mulai dipikul. Semua yang berbau Belanda disita oleh Pemerintah Jepang.

Para imam, suster dan tenaga-tenaga Gereja ditangkap dan dimasukkan ke interniran.

Sekolah-sekolah yang dikelola oleh para imam dan suster disita, tidak terkecuali seminari menengah.

Anak-anak jawa dipulangkan, para seminaris dititipkan di pastoran-pastoran untuk melanjutkan pendidikan calon imam dalam diaspora. Tinggallah Rama Kanjeng bersama beberapa imam Jawa yang merawat iman umat di wilayah Vikariat Semarang.

Pada kesempatan lain, Gereja Atmodirono akan  disita tentara Jepang.

Segera Rama Kanjeng meminta orang-orang untuk mengisi ruangan-ruangan yang kosong dan supaya pintu-pintu itu diberi nama Romo-Romo supaya semua ruangan terlihat ada penghuninya.

Dengan cara-cara seperti inilah Rama Kanjeng berhasil untuk menyelamatkan Harta Gereja.

Peralihan Kekuasaan  Jepang.

Serangan balik bom atom Amerika atas Hirosima dan Nagasaki mengakhiri ekspansi Jepang di wilayah Asia Pasifik.

Dalam kondisi kekosongan pemerintahan ini, Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pemerintahan Jepang diambil alih oleh Sekutu yang dipimpin oleh Inggris menjadi ancaman berat bagi bangsa Indonesia yang baru saja merdeka ini adalah penyusupan Belanda dengan maksud ingin menguasai kembali wilayah Indonesia.

Pada masa-masa peralihan antara pemerintahan Jepang dengan Sekutu yang diboncengi oleh Belanda dan sekaligus masa berdirinya Indonesia sebagai bangsa inilah peran Rama Kanjeng juga cukup besar sebagai Pimpinan Gereja Katolik sekaligus sebagai warga negara Indonesia.

Pertempuran 5 hari di Semarang.

Hari itu adalah hari kedatangan tentara sekutu di kota Semarang.

Kota Semarang telah diblokade oleh tentara Jepang karena kemarahan mereka atas penyerangan pemuda-pemuda Semarang sebelum hari-hari mencekam itu. Kedatangan tentara sekutu dimanfaatkan oleh Rama Kanjeng untuk kembali mengekspresikan keunggulannya dalam berdiplomasi. Rama Kanjeng mendesak pimpinan tentara sekutu untuk mengadakan perundingan dengan pimpinan tentara Jepang dan berhasil mempertemukan dua pimpinan itu di Pastoran Gedangan. Dari Perundingan itu Rama Kanjeng juga mendapatkan info dari Pimpinan Tentara Jepang bahwa malam tanggal 20 Oktober 1945 itu tentara Jepang akan menjebak pemuda-pemuda Semarang dan menghabisi mereka di daerah Karang Tempel.

Rama Kanjeng tidak hanya berhasil menyelamatkan pemuda-pemuda pejuang itu, tetapi juga berhasil membuka blokade tentara Jepang atas kota Semarang. Pertempuran itu pun berhasil digagalkan oleh keunggulan diplomasi Rama Kanjeng pada kedua pimpinan tentara Jepang dan Inggris.

Keadaan Rakyat.

Perang 5 hari di Semarang menjadi kondisi rakyat Semarang sangat menderita.

Kelaparan terjadi dimana-mana, listrik dan air mati, harga beras dan bahan makanan yang tersisa naik dan tidak terjangkau oleh rakyat.

Penyambutan Presiden Sukarno di Yogyakarta.

Kondisi ini mengakibatkan kerusuhan besar di Semarang, perampokan dan penjarahan terjadi dimana-mana.

Jam malam mulai diberlakukan lagi. Kondisi yang semakin parah ini menumbuhkan keprihatinan bagi tokoh-tokoh masyarakat kota Semarang termasuk Rama Kanjeng. Oleh karena itu pada tanggal 20 November 1945 dibentuklah Komite Penolong Rakyat yang diketuai R.S Dwijosewoyo (Katolik)  dan RM. Sadat Kadarisman (Islam).

Kerja keras KPR ini dirasa sungguh-sungguh membantu memulihkan kembali kondisi masyarakat Semarang.

Rama Kanjeng juga ikut membantu berdiplomasi dengan cara mengutus utusan ke Jakarta untuk bertemu dengan Perdana Menteri saat itu Sutan Syahrir.

Pemerintah Pusat segera mengutus Mr. Wongsonegoro untuk meninjau kota Semarang serta pengiriman beras dan bahan makanan untuk rakyat.

Untuk mendukung perjuangan Indonesia yang masih muda, Rama Kanjeng memindahkan pusat pelayanan dari Semarang ke Yogyakarta pada 13 Februari 1947, yang saat itu juga pemerintahan Indonesia berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta.

Agresi Belanda I

Malam hari tanggal 21 Juli 1947, hari itu Rama Kanjeng ada di Gereja Purbayan Solo dalam rangka menjalani retret pribadi, suara sirine meraung dimana-mana, jam malam mulai diberlakukan.

Terdengar bahwa Belanda sudah menduduki banyak kota, korban-korban berjatuhan.

Suasana yang makin genting ini membuat kementrian penerangan dan Rama Kanjeng untuk membuat pidato diplomasi yang disiarkan melalui Radio RRI Surakarta yang dibacakan pada tanggal 1 Agustus 1947, di RRI Surakarta pada pukul 20.00 malam.

Pada kesempatan pidato itu Rama Kanjeng juga membacakannya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda.

Isi pidato itu adalah:


  1. Desakan untuk gencatan senjata demi kehormatan kedua belah pihak.
  2. Pernyataan sikap umat Katolik di Indonesia yang akan berpihak dan berjuang bersama seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan dan kesejahteraan masyarakat.
  3. Pidato ini juga ditujukan untuk umat Katolik Belanda yang seharusnya berterima kasih atas pembangunan Negeri Belanda diatas penderitaan bangsa Indonesia dan himbauan agar ikut mendukung gerakan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun