Cinta tidak pernah menyerang tiba-tiba, tidak juga jatuh dari langit. Cinta datang hanya ketika dua individu telah berhasil melakukan orientasi ulang terhadap hidup dan memutuskan untuk memilih orang lain sebagai titik fokus baru. Yang mungkin terjadi dalam fenomena cinta pada pandangan pertama adalah pasangan terserang perasaan saling tertarik yang sangat kuat-bahkan sampai tergila-gila. Kemudian perasaan kompulsif itu berkembang jadi cinta tanpa menempuh masa jeda.
Dalam kasus cinta pada pandangan pertama, banyak orang tidak benar-benar mencintai pasangannya, melainkan jatuh cinta pada konsep cinta itu sendiri. Sebaliknya dengan orang yang benar-benar mencinta. Mereka mencintai pasangan sebagai persolinatas yang utuh.
Cinta hendaknya kita maknai dengan proses..
Ialah sebagai sesuatu yang bersifat temporer, dimana di dalamnya terdapat perjalanan seribu mil yang sangat panjang. Proses yang akan membawa kita pada sebuah titik fokus harapan akan keabadian cinta. Proses yang menempatkan kita pada posisi subjek. Jika kita bisa mengendalikan cinta, kitalah subjeknya. Jika kita membiarkan cinta mengendalikan kita, maka kita tidak lebih dari sekedar objek. Sebagai subjek, kita lebih memahami apa yang telah terjadi. Kita akan tahu mau dibawa kemana perjalanan cinta kita. Namun sebagai objek, kita hanya akan diombang-ambing oleh gelombang cinta itu sendiri.
Cinta tidak menguasai dan mengalah, tapi berbagi. Bukan cinta namanya bila kita berkehendak mengontrol pasangan. Juga bukan cinta bila kita bersedia mengalah demi kepuasan kekasih. Orang yang mencinta tidak menganggap kekasih sebagai atasan atau bawahan, tapi sebagai pasangan untuk berbagi, juga untuk mengidentifikasi diri. Bila kita berkeinginan menguasai kekasih (membatasi pergaulannya, melarangnya beraktivitas positif, mengatur seleranya berbusana) atau melulu mengalah (tidak protes bila kekasih berbuat buruk, tidak keberatan dinomorsekiankan), berarti kita belum siap memberi dan menerima cinta.
Cinta itu konstruktif. Individu yang mencinta berbuat sebaik-baiknya demi kepentingan sendiri sekaligus demi (kebanggaan) pasangan. Ia berani berambisi, bermimpi konstruktif, dan merencanakan masa depan. Sebaliknya dengan yang jatuh cinta impulsif. Bukannya berpikir dan bertindak konstruktif, ia kehilangan ambisi, nafsu makan, dan minat terhadap masalah sehari-hari. Yang dipikirkan hanya kesengsaraan pribadi. Impiannya pun tak mungkin tercapai. Bahkan impian itu bisa menjadi substitusi kenyataan.
Cinta tidak bertumpu pada daya tarik fisik. Dalam hubungan cinta, daya tarik fisik penting. Tapi bahaya bila kita menyukai kekasih hanya sebatas fisik dan membencinya untuk banyak faktor lainnya. Saat jatuh cinta, kita menikmati dan memberi makna penting bagi setiap kontak fisik. Kontak fisik, ketahuilah, hanya terasa menyenangkan bila kita dan pasangan saling menyukai personalitas masing-masing. Maka bukan cinta namanya, melainkan nafsu, bila kita menganggap kontak fisik hanya memberi sensasi menyenangkan tanpa makna apa-apa. Dalam cinta, afeksi terwujud belakangan saat hubungan kian dalam. Sedang nafsu menuntut pemuasan fisik sedari permulaan.
Cinta tidak buta, tapi menerima. Cinta itu buta? Tidak sama sekali. Orang yang mencinta melihat dan menyadari sisi buruk kekasih. Karena besarnya cinta, ia berusaha menerima dan mentolerir. Tentu ada keinginan agar sisi buruk itu membaik. Namun keinginan itu haruslah didasari perhatian dan maksud baik. Tidak boleh ada kritik kasar, penolakan, kegeraman, atau rasa jijik. Nafsulah yang buta. Meski pasangan sangat buruk, orang yang menjalin hubungan dengan penuh nafsu menerima tanpa keinginan memperbaiki. Juga meninggalkan pasangan saat keinginannya terpuaskan, hanya karena pasangan punya secuil keburukan yang sangat mungkin diperbaiki.
Cinta memperhatikan kelanjutan hubungan. Orang yang benar-benar mencinta memperhatikan perkembangan hubungan dengan kekasih. Ia menghindari segala hal yang mungkin merusak hubungan. Sebisa mungkin ia melakukan tindakan yang bisa memperkuat, mempertahankan, dan memajukan hubungan. Orang yang sedang tergila-gila mungkin saja berusaha keras menyenangkan kekasih. Namun usaha itu semata-mata dilakukan agar kekasih menerimanya, sehingga tercapailah kepuasan yang diincar. Orang yang mencinta menyenangkan pasangan untuk memperkuat hubungan.
Adakah cinta yang seperti itu dalam hati kita? Jika tidak, lantas apa yang membuat kita membusungkan dada dan mengklaim sebagai pecinta sejati hanya lantaran bunga-bunga kata tanpa makna realita yang kita lontarkan? Diri kita seringkali mencari pembenaran (apologi) atas ketidakmampuan dan ketidakberdayaan dalam mengakui segala kelemahan yang kita miliki.
Ibnu Taimiyah berkata, 'Mencintai apa yang dicintai kekasih adalah kesempurnaan dari cinta pada kekasih.' Teori ini bukanlah teori belaka. Teori ini merupakan sebuah konsekuensi logis dan sebuah keniscayaan dari sebuah cinta. Segala daya dan upaya akan menjadi tak berharga jika ia dapat menjadi serupa. Hal ini berlaku kebalikannya. Membenci apa saja yang dibenci kekasih adalah kesempurnaan dari cinta pada kekasih.
Ibnu Qoyyim Al jauziyah pernah berkata tentang arti sebuah cinta: 'Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri; membatasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya." Maka batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Karena cinta bukanlah utopia dan angan-angan kosong belaka dalam sebuah potret realita.