Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Korupsi "Bawah-Atas"

6 Maret 2012   09:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:26 227 0
Oleh DIAN KURNIA

Menarik menyimak tulisan opini salah satu harian nasional bertajuk Korupsi “Level Bawah”. Korupsi level bawah, ungkap penulis, lebih berbahaya dari korupsi level atas (megakorupsi).

Korupsi dalam persfektif apa pun adalah kejahatan luar biasa yang harus diberantas hingga habis. Pelakunya harus dihukum berat, tanpa tebang pilih. Namun, apa yang terjadi di negeri ini, ramainya praktik korupsi yang terjadi hampir di semua tingkatan kehidupan kian memupuk pesimisme kita terhadap kinerja pemerintahan era Reformasi. Pemerintah gagal di mata rakyat.

Sedikitnya ada empat poin penting perihal kegagalan negara di mata rakyat. Pertama, hingga saat ini pemerintah dianggap kurang cakap mengurus penyelesaian sengketa pertanahan. Kedua, meski menyandarkan pemasukan Negara dari proses produksi dan ekspor komoditas yang dihasilakan para buruh, pemerintah dinilai tidak bisa menyelesaikan perselisihan perburuhan. Ketiga, pemerintah tidak bisa menjamin hak hidup ataupun beribadah warga minoritas. Keempat, ketidakseriusan pemerintah menuntaskan kasus-kasus korupsi yang melibatkan personel ketiga institusi negara, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.  (Kompas, 06/02/2011)

Konflik yang baru-baru ini terjadi di beberapa tempat, seperti di Sidomulyo, Mesuji, Bima, PT. Freeport, dan terakhir aksi blokir tol oleh kawanan buruh di Bekasi, merupakan indikasi kegagalan negara. Hal ini terjadi karena bobroknya mental kebangsaan (nasionalisme) akibat budaya korupsi yang sudah sangat kronis. Ketidakpuasan rakyat terhadap (kinerja) pemerintah dalam menjalankan fungsinya sering berbuntut aksi-aksi anarkis. Rakyat jadi beringas. Muak dengan “ketidakbecusan” pemerintah menjalankan amanat konstitusi. Hingga, segala cara pun mereka lakukan demi tercapainya tuntutan dan keinginan personal. Cerdas memahami tuntutan rakyat dengan tidak bertindak refresif adalah langkah awal yang baik pemerintah bagi pemerintah. Setidaknya akan memutus mata rantai permasalahan baru yang lebih besar lagi.

Parahnya ada yang mencapai hingga satu juta rupiah untuk satu orang peserta. Nominal yang (mungkin) tidak kecil di mata guru setingkat SD dan SMP. Praktik ini telah membudaya. Kelulusan sertifikasi menjadi taruhan jika ada yang berani sompral mengadu ke badan hukum.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun