Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Jangan Minta Maaf pada Saya, Bu Guru

8 Mei 2012   03:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:34 234 0
Beberapa hari lalu, Bu Indah, guru Haikal di TK-nya menceritakan pada saya bahwa hari itu  Haikal mau anteng di kelas mengikuti pelajaran. Ternyata, pada hari-hari biasa dia lebih asyik bermain di tempat bermain bersama teman-temannya dan tak begitu tertarik dengan kegiatan di kelas. Saya pun menyambut kalimat Bu Indah itu dengan senyum dan mengatakan bahwa tak apalah anak saya belum mau ikut pelajaran  karena  bagi saya, untuk anak seusia Haikal yang baru empat tahun lebih empat bulan, yang penting ia bisa bersosialisasi dengan teman-temannya. Namun, entah mengapa, di akhir percakapan Bu Indah meminta maaf kepada saya karena Haikal belum bisa mengikuti semua kegiatan seperti teman-temannya yang lain.

Bagi saya, menyekolahkan anak saya di usia dini seperti ini tak berarti saya harus memaksa anak saya untuk menulis, membaca, dan mewarnai sesuai dengan yang diajarkan di kelasnya. Tujuan utama saya adalah agar anak saya bisa bersosialisasi dengan teman-temannya dan mendapatakan didikan moral dari gurunya yang mungkin terkadang tak dapat saya ajarkan kepadanya. Sedangkan untuk akademis, saya percaya bahwa seiring dengan perkembangan usianya nanti, ia akan memiliki kematangan berfikir sendiri.

Saya tahu, meskipun sampai hari ini Haikal belum begitu menampakkan ketertarikannya pada angka, huruf dan mewarnai, dia tidaklah bodoh. Kalimatnya, meskipun juga tak banyak, sekali keluar langsung menunjukkan argumen yang terkadang susah bagi kami -orang tuanya- untuk membantahnya. Tak jarang, justru kamilah yang belajar dari dia.  Karenanya, saya tak khawatir meskipun ia belum begitu tertarik untuk kegiatan baca-tulis.

Saya ingat, dulu ketika Nina masih TK kecil, ia juga belum mau menulis. Bahkan, ia seringkali bolos sekolah karena malas mengikuti kegiatan tulis-menulis di kelas. Tak jarang, ia mewek-mewek di kelas karena capek melakukan apa yang diperintahkan oleh gurunya. Namun, waktu itu saya tetap tenang karena saya tahu kalau kematangan berfikir setiap anak berbeda-beda.  Kala itu, ada seorang teman Nina yang dipuji-puji banyak orang karena tulisannya rapi, bagus, dan runtut.  Rahma namanya. Namun, yang terjadi ketika ia TK dan sekarang duduk di bangku MI kelas III ternyata berbeda dengan kejadian ketika ia TK. Di MI, Nina bisa memperoleh peringkat I dengan nilai akademis yang sangat memuaskan, jauh mengalahkan nilai Rahma yang ketika TK sudah bisa menulis dengan rapi dan lancar.

Mungkin saya termasuk orang tua yang terbelakang karena tak mau memasukkan anak saya ke les privat mata pelajaran.  Meskipun tetangga-tetangga saya kebanyakan memasukkan anaknya ke les privat mata pelajaran, saya tetap keukeuh untuk mengajari anak saya di rumah saja.  Bukan karena saya tak mau mengeluarkan uang untuk kebaikan anak saya, bukan. Namun, saya tak mau dia jenuh berpikir karena harus memeras otak sedemikian kerasnya sementara ia masih perlu bermain karena memang masih kanak-kanak. Biarlah ia menikmati masa kecilnya dulu untuk bermain seperti ketika saya kecil dulu.

Terkadang, saya kasihan melihat anak-anak yang les di tempat tetangga saya yang teranggguk-angguk menahan kantuk pada pukul 20.00 karena masih les sembari menunggu jemputan orang tuanya. Sementara itu, anak saya yang seusia dengannya asyik berlarian mengejar bola atau main mobil-mobilan bersama kakaknya.  Saya  rasa, tak adil bagi anak saya jika saya merampas waktu bermain anak saya untuk kegiatan les membaca, menulis, berhitung, yang sebetulnya bisa kita selipkan di sela-sela permainan di rumah.

Ya, kematangan berpikir tiap anak memang berbeda-beda. Oleh karena itu, saya tak khawatir tentang anak saya yang masih belum mau membaca dan menulis di usianya yang baru empat tahun ini. Suatu hari nanti, dia pasti akan bisa. Saya yakin itu. Biarlah dia menikmati masa kecilnya dulu.

Karenanya, setiap kali Bu Indah meminta maaf karena Haikal belum begitu tertarik dengan kegiatan di dalam kelas, selalu saya katakan bahwa tak usahlah minta maaf karena saya tahu perkembangan setiap anak itu berbeda-beda dan saya tahu bahwa anak saya tidaklah bodoh. Paling tidak, ia pasti memiliki salah satu dari sekian banyak kecerdasan dan nantinya, kecerdasan inilah yang perlu ditumbuhkembangkan. Nantilah, sambil dilihat, sekarang biarlah dia asyik dulu dengan dunia anak-anaknya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun