Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

Merekalah Jalan Surga Kita

24 Februari 2012   02:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15 405 5
Ketika seorang kawan menyampaikan berita ini kepada saya, betapa hati saya begitu teriris-iris.  Kawan saya ini memiliki anak laki-laki, usianya hampir lima tahun. Anaknya cerdas dan aktif, hanya saja sampai hari ini belum bisa berbicara. Kata-katanya masih terbatas pada kata mama saja. Ketika dibawa ke dokter, dokter mengatakan bahwa semuanya normal, tak ada yang tak beres dalam organ pendengarannya.  Berbagai terapi sudah dilakukan, tetapi belum membuahkan hasil yang berarti.

Yang membuat teman saya sedih, bukanlah keadaan anaknya karena dia yakin bahwa setiap anak pasti memiliki kelebihan di balik kekurangannya. Namun, sang ayah yang tak bisa menerima keadaan anak ini yang membuatnya frustrasi. Bagaimana tidak? Di saat ia dan anaknya membutuhkan dukungan untuk tetap telaten menjalani terapi, sang suami justru mengatakan agar sebaiknya anaknya dititipkan ke panti asuhan saja. Kaget saya mendengarnya. Menitipkan anak ke panti asuhan, sementara ia termasuk orang yang berkecukupan. Pada lain kesempatan, jika si anak yang begitu aktif tengah sibuk sekali dengan kegiatannya, si ayah akan berkata, "Gak usah terlalu banyak tingkah. Belajar bicara sana."

Sungguh, sebuah sikap yang sangat tidak bijaksana, kalau tak mau dikatakan kurang ajar. Terus terang, saya ikut marah ketika mendengarkan cerita itu.  Bagaimana mungkin seorang bapak yang notabene juga guru bisa berpikiran seperti itu terhadap anaknya?

Beda teman saya, beda pula dengan pak guru yang satu ini. Saya mendapat cerita dari teman saya yang satu sekolah dengannya. Bapak yang satu ini memiliki dua anak. Yang sulung  menderita penyakit tulang keropos yang sangat kronis sehingga tulang belakangnya tak mampu menyangga tubuhnya. Anak yang sudah berusia SMP itu ke mana-mana harus menggunakan kursi roda dan untuk berpindah tempat harus dibantu orang lain. Namun, sang ayah tak pernah merasa malu dengan keadaan anaknya.  Ke mana-mana sang anak diajaknya meskipun ia kerepotan. Bahkan, piknik ke Bali pun diajak pula, termasuk keluar masuk Joger, kawasan yang katanya begitu sesak. Anak itu digendongnya tanpa pernah kenal lelah.Apa pun dilakukannya demi membuat anaknya bahagia. Baginya, kebahagiaan anaknya tak dapat digantikan oleh apa pun, meskipun ia sendiri kelelahan karena usianya yang sudah menjelang tua.

Sungguh, dua potret keluarga guru yang jauh berbeda. Saya pun teringat pada Mbak Aulia Gurdi yang senantiasa berbagi tentang keadaan putra beliau yang menderita autis.  Setiap membaca kisah-kisahnya, tak terasa air mata ini menitik.

Anak, bagaimana pun keadaannya adalah amanah dari Tuhan kepada kita. Apa pun keadaannya, tak ada alasan bagi kita untuk malu mengakui keadaan anak tersebut, apalagi kemudian menjauhkan anak dari kehidupan kita.  Anak adalah anugerah Tuhan yang diberikan pada kita. Bagaimana pun keadaannya, haruslah kita syukuri bahwa kita sudah diberikan kepercayaan oleh Tuhan untuk menjaga amanah itu. Bagaimana pun keadaannya, anak berhak mendapatkan yang terbaik dari apa yang bisa kita berikan padanya. Jika kita bisa merawat dan memberikan kasih sayang kita kepada mereka, mendidiknya dengan sepenuh jiwa kita, memberikan apa yang kita bisa lakukan untuk mereka, tentulah mereka bisa menjadi jalan surga bagi kita. Tak hanya di akhirat, tetapi juga di dunia, dengan memberikan kita ketenteraman dan kenyamanan hati.

-Salam-

Dian

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun