Dua puluh tahun yang lalu, rumah ini masih berupa rumah berpendopo yang sangat besar, khas rumah petinggi (kepala desa) zaman dulu. Rumah ini terdiri atas 3 bagian, yaitu pendopo yang sangat luas, rumah induk, dan dapur. Masing masing berupa bangunan besar. Dulu, saya sering menghitung hitung berapa banyak rumah yang dapa didirikan di atas pendopo ini. Di depan pendopo, terdapat halaman yang tak kalah luas. Jika sedang musim panen kopi atau cengkeh, halaman ini difungsikan untuk menjemur hasil panen.
Dulu, saya sering menginap di rumah budhe. Jika pas menginap di sana, saya sering membantu mengumpulkan kopi yang baru dijemur. Aih, capeknya. Apalagi jika ditambah nyapu rumah yang luasnya selapangan sepakbola itu. Tapi, meskipun capek saya tetap suka. Bagaimana tidak? Halaman yang luas itu dikelilingi kebun yang penuh dengan tanaman buah, seperti jambu, belimbing, avokad, dondong, mangga, rambutan, dan lain lain. Tak ketinggalan bunga bougenville berwarna ungu dan putih serta nusa indah merah jambu. Sungguh menyenangkan. Saya sering nongkrong di atas pohon jambu di atas dahan dahan yang kokoh bersama saudara sepupu saya sesama keponakan budhe.
SemenjakPakdhe meninggal seperempat abad yang lalu, Budhe tinggal sendirian.Hanya saja, putranya menyediakan pembantu pagi untuk bersih-berih dan memasak danseorang yang menemaninya tidur di malam hari. Terkadang kami, para keponakannya menemani menginap di rumahnya.Meskipun selalu ada teman, saya pikir Budhe cukup kesepian karena tak satu pun anaknya yang rumahnya dekat dengan beliau.
Entah karena pertimbangan apa, pendopo, halaman, serta kebun milik Budhe dijual. Di tempat itu sekarang telah berdiri kokoh 2 buah rumah besar yang menghalangi sisi depan rumah induk. Rumah induk yang dulu berpendopo, berhalaman, dan berkebun luas itu sekarang hanya memiliki sebuah teras berlebar tak lebih dari satu meter. Di depannya sudah berdiri kokoh tembok rumah pembeli pendopo Budhe. Ah, sungguh selalu saja terasa ada yang hilang jikasaya lihat kenyataan sepertiini.