Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Berkelana di Ranah Minang (37): Hati-hati Memakai Peci di Ranah Minang

17 April 2011   23:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:42 2764 1

Kita semua tahu, peci adalah bagian dari busana nasional Indonesia. Pada acara-acara resmi, kita sering melihat para pejabat mengkombinasikan pakaian jas lengkapnya denganpeci. Pada acara keagamaan, khsususnya Islam, peci adalah sebuah keharusan, kecuali bagi yang mereka yang sudah haji. Maka peci ini digantikan dengan peci haji berwarna putih.

Bagi masyarakat Minangkabau, peci yang berwarna hitam ini mempunyai tempat tersendiri. Disamping untuk acara keagamaan atau acara formal lainnya, peci juga adalah pelengkap dalam suatu upacara adat. Apakah itu upacara adat dalam pesta perkawinan, atau acara lainnya.

Seseorang akan di cap buruak cando atau janggal, bila dia tidak memakai peci dalam suatu acara adat, kecuali dia penghulu atau datuak yang memakai saluak yaitu penutup kepala khusus bagi para pemangku adat di Minangkabau.

Ada sebuah peci khusus yang tak boleh sembarangan orang memakainya di Ranah Minangkabau. Pecinya tetap sama dengan peci biasa, peci beludru berwarna hitam. Tapi peci itu di beri semacam lilik atau hiasan khusus yang melingkar di bagian luar peci.

Lilik ini di buat dari kain suto atau sutra hitam, dengan pola seperti gunung. Rendah di bagian depan lalu naik meninggi di bagian tengah, lalu menurun lagi arah belakang, melingkari sekeliling peci dengan pola yang sama dibagian kiri dan kanan.

Filosofi yang terkandung dalam pola ini adalah adalah falsafah hidup orang Minangkabau yang diungkapkan dengan kalimat jalan nan ampek. Yaitu: jalan mendaki, jalan menurun, jalan mendatar dan jalan menikung.

Filosofi jalan nan ampek ini dapat di uraikan sebagai berikut:

Jalan mendaki: Menghormati orang tua, atau orang yang lebih tua dari kita.

Jalan menurun: Menyayang yang kecil , atau mereka yang usianya di bawah kita

Jalan mendatar: Saling menghargai dan menghormati sesama besar atau yang seusia dengan kita

Jalan benikung: Menyegani dan menghargai besan, kakak ipar atau orang yang terhubung dengan kita karena ikatan perkawinan.

Lilik ini diberi hiasan jahitan dengan pola lipatan-lipatan kecil, tersusun rapi di bagian pinggir atas dan bawah, membatasi atau memagar lipatan-lipatan kecil lainnya yang di jahit dalam posisi acak di bagian tengah.

Filosofi yang terkandung dalam pola jahitan ini adalah, Sipemakai Peci atau Kopiah ini adalah orang yang memegang erat hukum adat , baik pada strata tertinggi di pemerintahan, begitu juga di tengah masyarakat biasa dengan segala macam kondisinya, serta dilingkungan keluarga yang terdiri dari bermacam usia, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin dan sebagainya..

Merekalah benteng bagi kaumnya, yang memagari mereka dari serbuan begitu banyak budaya asing yang datang dari luar. Serta kepada dia pulalah para anggota keluarga dalam adatnya meminta bantuan memecahkan berbagai persoalan yang timbul di tengah keluarga sendiri, atau yang berhubungan dengan keluarga lain diluar lingkungan suku atau klan mereka. Misalnya untuk urusan pernikahan dan sebagainya.

Peran Datuak dalam membina lingkungan keluarga ini di kiaskan dalam sebuah pantun:

Kaluak paku kacang balimbiang

Tampuruang lenggang-lenggangkan

Bao manurun ka Saruaso Tanamlah siriah jo ureknyo Anak di pangku kamanakan dibimbiang Urang kampuang dipatenggangkan Tenggang nagari jan binaso Tenggang sarato jo adaiknyo

Terjemahannya

Lekuk pakis kacang belimbing

Tempurung lenggang – lenggangkan

Bawa menurun ke Saruaso

Tanamlah sirih dengan uratnya

Anak di pangku keponakan dibimbing,

Orang kampung di pertenggangkan

Tenggang nagari jangan binasa

Tenggang serta dengan adatnya.

Ini adalah terjemanahan tersuratnya. Sedangkan pesan yang tersirat dalam pantun ini adalah, bahwa Datuak itu di tengah keluarganya, tidak hanya mendidik dan mengasuh keluarga atau anak kandungnya saja. Tapi juga dia juga harus membimbing keluarga besar yang ada dalam kaumnya atau sukunya yang di lambangkan dengan kamanakan atau keponakan.

Dalam mengasuh dan membimbing keluarga besarnya itu, dia harus mengajarkan bagaimana hidup bermasyarakat dalam nagari yang dalam lingkungan pemerintahan setingkat dengan kelurahan. Agar nagari tidak binasa atau terpecah belah karena perbedaan suku. Dalam pergaulan antar suku dalam nagari itupun adat adalah pengikat antara mamak dan keponakan serta antara satu suku degan suku yang lainnya.

Kopiah Datuak, demikian peciini biasa disebut. Adalah PDH alias pakaian dinas harian bagi mereka yang telah diangkat menjadi Datuak dalam suatu acara batagak pangulu. Bila dalam acara adat resmi mereka memakai Saluak untuk menggantikan peci ini sebagai PDU atau pakaian dinas upacara yang tentu juga lengkap dengan pakaian adat lainnya di sebatang tubuh mereka.

Bila kita menemukan orang memakai peci ini, maka selayaknyalah kita memanggil mereka Datuak atau pak Datuak kalau mereka memang sudah tua atau di atas kita. Jangan sekali-kali Anda memanggil nama aslinya bila dia sudah diangkat menjadi Datuak ini, walaupaun dia teman sepermainan atau teman sekantor.

Mungkin bagi dia pribadi bisa menerimanya karena sudah terbiasa, tapi kalau ada diantara anak kemenakannya atau keluarga di dalam sukunya yang mendengarkan panggilan dengan nama asli ini. Mereka bisa menuntut Anda dengan seekor kerbau jantan besar, serta biaya untuk acara pengangkatan Datuak ini kembali, hati-hatilah.

Bagitu juga bila Anda bukan seorang Datuak, maka jangan pulalah Anda mencoba memakai peci khusus ini. Bila ketahuan, Anda juga bisa dituntut dengan tuduhan pelecehan atas adat istiadat Minangkabau.

Kopiah Datuak ini juga telah menginspirasi para produsen peci nasional, dengan membuat modifikasi atau variasi atas produk peci mereka. Ini banyak kita temukan di toko-toko busana yang menjual peci. Tapi bagi masyarakat Minangkabau, mereka tetap bisa membedakan, mana Kopiah Datuak dan mana pula kopiah modifikasi yang di hiasi dengan aneka ragam warna dari benang emas yang berkilauan itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun