Jangan bandingkan Pekanbaru tahun 60an dengan Pekanbaru tahun 2010, nggak nyambung. Ini juga berlaku di manapun tempat yang saya singgahi, kecuali tentu saja dengan kampung saya di Kamang, di mana Batu Bajak yang bertengger di Bukit Barisan yang memagari kampung saya tak pernah berubah, walau telah berumur ribuan tahun. Disini sang waktu seakan malas bergerak, kalau tidak dapat dikatakan berhenti sama sekali.
Begitu juga dengan yang saya temui saat ini. Pekanbaru tahun 60an, dimana bus-bus yang masuk kota Pekanbaru semuanya melalu Simpang Tiga, dimana lapangan terbang Pekanbaru berada. Melewati Simpang tiga tahun 60an adalah melewati hutan belukar, kecuali bagian yang berdekatan dengan lapangan terbang.
Kini, hutan belukar itu telah menjadi komplek perumahan yang padat penduduk, di sana pulalah saya saat ini berada.
Ali Jasmi, sang tuan rumah. Adalah teman se asrama, waktu kami tinggal di Panti Asuhan Aisyiyah – Muhammadiyah, Payakumbuh. Tahun 1970 kami berpisah.Ali melanjutkan sekolahnya hingga tamat STM dan kemudian bekerja pada sebuah perusahaan kotraktor. Sementara saya keluar dari asrama gara-gara kasus buku wajib.
Sabtu pagi itu setelah mandi dan shalat subuh, semua anggota keluarga Ali Jasmi bersiap dengan kegiatan masing-masing, termasuk sang istri yang berprofesi sebagai seorang guru. Setelah semua pergi, tinggallah kami berdua.
Setelah sarapan, kamipun segera bersiap. Ali Jasmi yang sudah mundur dari perusahaan kotraktor itu, kini punya bisnis warnet yang terletak tidak begitu jauh dari rumahnya, masih dalam satu komplek, kesanalah kami pagi itu akan berangkat.
Sampai di warnet, saya langsung membuat postingan sambungan Berkelana di Ranah Minang. Ali sibuk dengan pekerjaannya, sesekali kami menyempatkan diri ngobrol, apalagi kalau bukan kisah-kisah di sekitar panti asuhan.
Mendekati jam satu siang, dua orang anak Ali pulang dari sekolah, kamipun aplusan. Setelah shalat zuhur dan makan siang, dengan mengendarai sepeda motor, kamipun meluncur ke Sungai Siak.
Keluar dari komplek perumahanBumi Sejahtera, kami belok kanan masuk jalan Kaharudin. Sampai di Simpang Tiga pertemuan jalan Kaharudin dengan jalan Bandara Sultan Syarif Kasim II serta jalan Sudirman, kami meluncur lurus masuk jalan Sudirman yang cukup panjang itu.
Mendekati ujung jalan Sudirman yang saya tidak tahu berapa kilometer panjangnya itu, sampai di persimpangan jalan Juanda kami belok kiri, masuk jalan Ahmad Yani belok ke kanan terus melewati pasar bawah, beberapa saat kemudian sampailah kami di Pelabuhan Sungai Siak, Pekanbaru.
Begitu memasuki area pelabuhan Sungai Siak dan mengamati lingkungan sekelilingnya, pikiran saya melayang jauh ke masa 50 tahun yang lalu, setiap hari saya bermain di sungai siak ini. Kebetulan sebuah kapal saat itu sedang lego jangkar dan bersandar di dermaga pelabuhan, hal yang sama seperti saya lihat pertama kali di awal tahun 60an itu.
Sambil melihat ke sekeliling, saya coba mengurai lagi hari-hari saya bermain disini 50 tahun yang lalu. Bermain sendiri tanpa teman, karena pelabuhan memang bukanlah arena bermain. Saya melihat bagaimana orang bekerja membongkar isi kapal, lalu menaikannya keatas truk. Panas menyengat kepala, keringat bercucuran, dalam ketidak pedulian orang-orang yang sedang bekerja itu, tapi saya begitu menikmatinya. Dalam keasyikan memperhatikan orang-orang yang sedang bekerja, sering juga perhatian saya beralih bila ada speedboat yang melintas kencang, meninggalkan jejak gelombang air yang menyibak kekiri dan kekanan sungai. Sebuah lukisan yang bagi mata seorang anak kecil seperti saya, saat itu terlihat begitu indah. Pelabuhan yang ramai dengan segala kesibukannya yang membuat saya betah bermain berlama-lama, walau dalam kesendirian. Tapi saya seakan mempunyai arena bermain dengan begitu banyak hiburan.
Kerongkongan saya terasa kering, ada rasa sesak yang terasa di dada, sesuatu yang hilang yang takkan kembali lagi. Sebuah kisah indah yang hanyut dalam perjalan waktu, kisah seorang bocah yatim piatu dalam kesendiriannya, 50 tahun yang lalu.
Saya juga lalu melihat kolong dermaga, yang dulunya di topang dengan tiang dari pohon kelapa bulat, tempat saya bersembunyi dari kejaran bayang-bayang ketakutan, ketika merasa di kejar oleh sang pedagang, gara-gara sisir pedagang kaki lima.
Saya lalu menyusuri ujung dermaga yang mengecil seperti laras senjata. Tempat dulu saya menonton orang memancing ikan di Sungai Siak itu. Kemudian saya melihat bekas lokasi jembatan Pontonyang kini tak ada lagi, malah kini diatasnya telah terpancang kerangka jembatan baru.
Begitu juga deretan loket yang menjual tiket kapal tempat kakak saya bekerja dulu, tak satupun lagiyang tersisa. Kemajuan moda transportasi darat, telah mengalahkan transportasi air yang waktu itu masih dominan di sepanjang sungai Siak hingga bermuara di Selat Malaka.
Satu tempat lagi yang tak mungkin hilang dalam kenangan saya adalah rumah kost kami di Pasar Bawah. Tapi saya sudah kehilangan jejak untuk kembali menelusuri jalan menuju rumah yang pernah saya tinggali itu. Kalaupun saya bisa menelusurinya, sudah pasti suasananya juga sudah berubah jauh. Malah bisa-bisa rumah itu kini telah berubah menjadi rumah mewah, ruko atau malah bisa juga sudah hilang tak berbekas sama sekali!
Setelah mengabadikan tempat penuh kenangan itu dengan kamera, kami kembali pulang ke Simpang tiga. Kami pulang kembali melewati jalan yang sama. Tapi ketika memasuki jalan Sudirman, sebuah kenangan lama kembali menyeruak.
Disanalah, di ujung jalan Sudirman itu yang dulu bernama jalan Sumatera atau Sulawesi saya sudah agak lupa, saya bermain dengan perasaan bebas merdeka di taman yang membelah jalan menjadi dua bagian itu. Bermain sendiri di bawah teriknya matahari, tapi saya begitu menikmatinya.
Sampai di rumah rekan Ali Jasmi menjelang jam 5 sore, saya menunaikan shalat Ashar, setelah itu langsung berbenah mempersiapkan diri untuk kembali ke Jakarta dengan penerbangan yang di jadwalkan pukul 7 malam itu.
Masih ada tempat yang tak sempat saya kunjungi dalam kedatangan saya ke Pekanbaru kali ini, diantaranya ke Sukajadi serta Tanah Merah dan Rumbai. Juga ke rumah rekan Ramzan yang bekerja di Chevron, salah seorang teman lain yang juga pernah tinggal se asrama di Payakumbuh. Begitu juga keinginan bertemu dengan Demini Rose, Kompasianer yang berdomisili di Pekanbaru. Ini gara-gara nomor telepon genggamnya lupa menyalin dari telepon genggam saya yang lama yang sudah rusak.
Waktu kunjungan yang singkat, sementara tiket untuk kembali ke Jakarta sudah di tangan, makanya saya tak sempat mengunjungi semuanya. Tapi saya tetap berharap Tuhan mengizinkan saya, untuk dapat kembali lagi ke Pekanbaru ini, walau waktunya belum bisa di tetapkan, tapi niat itu tetap saya simpan dalam hati.
Setelah semua beres, saya berpamitan dengan tuan rumah. Dengan sepeda motornya, saya diantar ke Bandara Sutan Syarif Kasim II oleh Ali Jasmi. Kunjungan saya yang kedua ke Bandara ini setelah tahun 1986, waktu saya masih bekerja di PT Stanvac Indonesia, perusahan eksplorasi dan produksi minyak bumi, yang ladang minyak terdapat di Lirik, Riau. Pendopo dan Tabuan, Sumatera Selatan.
Setelah tertunda sekitar dua jam lebih, dengan kompensasi mendapat jatah makan malam, akhirnya pesawat Batavia Air yang saya tumpangi meninggalkan tempat parkir, menggelinding di taxi way dan berhenti sejenak di ujung landas pacu. Beberapa menit kemudian bergerak, lalu meluncur kencang di landas pacu dan kemudian lepas landas meninggalkan Bandara Sultan Syarif Kasim II.
Kota Pekanbaru yang bermandikan cahaya lampu listrik dimalam itu, terlihat begitu indah dari udara. Pergerakan pesawat yang cepat di angkasa, membuat kelap-kelip lampu begitu cepat pula berlalu, hingga akhirnya hilang dari pandangan.