Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Berkelana di Ranah Minang (34): Berkunjung ke Rumah "Bako"

3 Maret 2011   01:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:07 747 2

Suku Minangkabau mengambil garis keturunan dari ibu, istilah yang populer untuk sistim kekeluargaan ini adalah Matrilineal atau juga sering di sebut Matriarkhat.

Mengikuti aturan adat dengan sistim kekeluargaan seperti itu, setiap laki-laki Minang yang beristerikan wanita Minang, maka si laki-laki akan tinggal di rumah isterinya. Kecuali kalau mereka atau khususnya si suami sudah mampu untuk mendirikan rumah sendiri dengan hasil keringatnya dan bukan di tanah keluarga, maka baru mereka akan pindah atau memisahkan diri dari rumah keluarga isterinya atau mertuanya.

Atau bisa jadi juga kalau seandainya pasangan suami isteri itu pergi merantau dan memiliki rumah di rantau orang dari hasil usaha mereka berdua.

Namun walau begitu, bako istilah si anak memanggil keluarga ayahnya, mendapat kedudukan yang istimewa juga di hati sang anak. Karena keseharian si anak berada di keluarga sang ibu, maka pada saat si anak pergi kerumah bako-nya, sering dia mendapat perlakuan agak istimewa oleh keluarga bakonya ini.

Satu hal lain yang juga sering menjadi dambaan bagi keluarga bako ini adalah, keinginan untuk terjadinya perkawinan silang antara anak si kakak laki-laki dengan anak kakak atau adik perempuannya atau sebutan umumnya keponakan . Perkawinan silang seperti ini di Ranah Minang di sebut sebagai Pulang ka Bako.

Salah satuanak dari adik ayah saya mengalami hal ini, menikah dengan keponakan ayahnya atau anak dari etek atau bibinya.

Saya sendiri karena merantau sejak berumur 14 tahun, mendapat jodoh di rantau. Jadi tidak sempat menikah dengan salah seorang kemenakan ayah saya, alias pulang ka bako. Walau kemungkinan itu sebenarnya ada.

Karena ayah saya meninggal sewaktu saya masih dalam kandungan ibu, dan ibu saya meninggal sewaktu saya berusia sekitar 4 tahun. Maka secara emosional saya lebih dekat dengan keluarga bako saya ini. Ini di sebabkan karena kakak maupun adik kandung ayah saya ada 9 orang, dimana 3 diantaranya adalah wanita. Tapi saya hanya sempat bertemu dengan 5 orang diantara mereka, karena 4 orang diantaranya sudah meninggal sebelum saya lahir, termasuk ayah saya.

Sementara ibu saya adalah anak tunggal, yang ada hanyalah dua orang kakak dan adik sepupunya, yang keduanya perempuan.

Setiap pulang kampung saya selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah bako saya ini yang berada di jorong atau desa Guguak Rang Pisang. Kalau saya punya cukup waktu luang, saya akan menginap disana, tapi bila waktu saya hanya sedikit maka saya hanya sekadar bertamu, sebagaimana kepulangan saya kali ini.

Sekembalinya saya bersama Eri suami adik sepupu saya Yet berkeliling sekitar Ladang Darek dan Binu, sampai di rumah kami dapati ojek yang tadi di pesan lewat telpon oleh Yet telah menunggu. Ar, nama situkang ojek terpaksa menunggu saya mandi dulu, setelah itu barulah kami berangkat berkeliling Nagari Kamang, dengan lebih dulu mengunjungibako saya di Guguak Rang Pisang.

Menempuh jarak 4 kilometer dari Ladang Darek menuju Guguak Rang Pisang, kami memakan waktu sekitar setengah jam. Itu karena kami berhenti beberapa kali untuk mengambil foto, diantaranya di Sekolah Dasar Hilir Lama, dimana dulu saya pernah tiga tahun sekolah tanpa rapordan juga beberapa objek foto lain.

Sampai di simpang tiga jembatan Guguak Rang Pisang, saya lalu memotret sudut desa maupun hamparan sawah yang membentang luas. Sebelum menuju Guguak Rang Pisang kami lebih dahulu belok kekanan pergi ke Jorong atau Desa Koto Kaciak, dimana di belakang masjid Nurul Huda Koto Kaciak itu terdapat sebuah surau dimana dulu saya juga pernah mengajidan bila pulang pergi mengaji saya menyeberangi sungai melalui titian bambu agar lebih dekat pulang kerumah melewati hamparan sawah yang sangat luas itu, untuk pulang kerumah bako saya.

Selesai melakukan pemotretan, kami kembali kearah jembatan, melintas diatasnya lalu meluncurkearah Guguak Rang Pisang tapi juga tak lupa mengabadikan hamparan sawah yang membentangbegitu luasnya.

Sampai di Masjid Sovia yang berada di sudut jalan di tengah Jorong Guguak Rang Pisang, saya lalu mengabadikan masjid itu. Setelah itu berjalan menuju rumah bako saya di dusun Karan, kira-kira 500 meter dari masjid.

Sampai di Karan saya melihat etek adik ayah saya yang bungsu tengah menyiangi kebun kecil yang ada di halaman rumah. Melihat saya datang, beliau kaget karena tak menduga saya sudah berada dihadapannya, setelah bersalaman kami langsung masuk rumah.

Di dalam rumah saya bertemu suami etek saya yang saya panggil pak Etek, pensiunan kantor bupati Kabupaten Agam.

Etek saya ini punya putra dua orang, semuanya telah berumah tangga. Putra pertama menjadi guru SMK di Lubuk Sikaping, menikah dengan sesama guru orang Kamang Mudik. Adiknya menikah dengan sesama orang Guguak Rang Pisang, dan tinggal di rumah isterinya.

Kini tinggallah kedua orang suami isteri ini etek saya ini di paviliun yang di buat di samping rumah gadang, menunggui rumah gadang yang sudah tua, berumur lebih dari 70 tahun.

Setelah mengobrol sekitar setengah jam, saya lalu pergi ke rumah angah, kakak dari etek yang membangun rumah di sudut kiri belakang rumah gadang.

Melihat pintu rumah terbuka saya mengucapkan salam, seperti kebiasaan saya sedari kecil, karena sudah merasa rumah itu bagaikan rumah sendiri saya langsung masuk. Salam saya tidak ada yang menyahuti, saya lalu berjalan terus kebagian belakang rumah dimana terdapat dapur, lalu kembali memanggil angah. Saat itulah saya baru mendapat jawaban dari suami angah saya yang saya panggil pak angah. Rupanya beliau sedang di kamar mandi.

Keluar dari kamar mandi, beliau kaget melihat saya yang sudah berdiri di gang antara rumah dan dapur. Setelah kami bersalaman pak angah lalu pergi ke halaman lalu memutar ke belakang dapur, beliau memanggil angah yang sedang berada di kebun di belakang rumah.

Tak lama kemudian angah menyembul dari balik rimbunan daun kopi sambil tersenyum, kamipun bersalaman kemudian sama-sama kembali kedalam rumah.

Diantara sembilan keluarga besar ayah saya, hanya dua orang inilah yang tersisa, angah dan etek. Angah saat ini telah berusia 78 tahun sedang etek 75 tahun. Sama seperti pak etek, pak angah inipun pensiunan pegawai kantor Bupati Kabupaten Agam yang saat itu masih berkantor di Bukittinggi sebelum pindah ke Lubuk Basung.

Angah mempunyai 4 orang anak, tertua laki-laki dan tiga orang adiknya semua perempuan. Anak tertua bekerja di kantor camat, masih di lingkungan Kabupaten Agam dan tinggal di Bukittinggi.Diantara ketiga anak perempuannya hanya satu yang menetap di kampung dan juga sudah tinggal di rumah sendiri, dan bekerja di kantor camat Kamang Magek. Sementara yang dua lagi, satu orang tinggal di Bukittinggi, satunya lagi merantau ke Sidoarjo, Jawa Timur, mengikuti sang suami.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun