Pagi hari sebelum adik sepupu saya pergi mengajar di sekolah SMA di Pintu Koto, saya mengatakan bahwa saya akan berkeliling kampung seharian, lalu saya tanyakan siapa tukang ojek yang ada di Ladang Darek ini. Adik saya menyebut satu nama, tapi katanya dia bukan orang kampung kami, tapi orang Guguak Rang Pisang, kampung ayah saya, sekitar 4 kilometer dari kampung kami di Ladang Darek, Kamang Ilia.
Saya lalu minta tolong sekalian di panggilkan lewat teleppon genggamnya, dan menunggunya di Ladang Darek.
Tak lama kemudian Yet, nama panggilan adik saya. Menginformasikan bahwa tukang ojek yang bernama Ar akan datang sekitar jam sembilan, setelah itu Yet menaiki sepeda motornya berangkat ke sekolah.
Sambil menunggu Ojek datang saya mengajak adik ipar saya Eri, suami Yet mengabadikan suasana kampung saya Ladang Darek di pagi hari itu.Eri yang bekerja sebagai direktur BPR di Nagari Magek itu baru berangkat bekerja jam 09.00, jadi kami punya waktu sekitar dua jam untuk mengabadikan suasana pagi di kampung ini.
Pertama yang saya abadikan adalah lingkungan rumah kami disekitar dusun Buah Baurai. Cuma sayang rumah gadang keluarga kami kini sudah tidak ada lagi. Sudah di bongkar karena sudah lapuk, usia rumah gadang itu sudah lebih dari 50 tahun, tidak ada lagi yang berani menghuninya,takut roboh bila sewaktu-waktu terjadi gempa bumi, makanya dibongkar saja.
Berikutnya adalah Simpang Labuah, yaitu simpang empat yang berada tepat di tengah Jorong atau desa Ladang Darek. Simpang Labuah ini persis mengarah ke 4 mata angin, Utara menuju Jorong Solok, Selatan menuju Jorong Koto Nan Gadang, Timur menuju Jorong Binu dan Barat menuju Jorong Ampek Kampuang.
Setelah memotret ke empat penjuru angin Simpang Labuah, kami menuju ke utara. Sampai di Tabiang, saya mengambil foto mushalla Miftahul Ulum, mushalla tempat warga Ladang Darek melaksanakan shalat lima waktunya serta tarawih di bulan Ramadhan. Dibelakang mushalla ini juga terdapat sebuah surau kampuang, salah satu surau tempat saya belajar mengaji diwaktu kecil dulu.
Sesuai dengan nama tempatnya Tabiang atau Tebing, Mushalla ini memang terletak di atas tebing yang menjadi pinggir desa Ladang Darek, dimana setelah Tabiang ini, kita akan melhat hamparan sawah yang membentang yang oleh penduduk setempat di sebut Alahan. Dimana keluarga kami juga mempunyai sawah disana.
Miring sekitar 45 derajat kearah timur laut, kelihatanlah Jorong Solok yang berada persis di kaki Bukit Barisan. Dimana pada puncak dindingnya terdapat Batu Bajak, sejenis batu granit berwarna putih yang menjadi landmark atau penanda bagi rakyat Kamang Ilia, yang kelihatan dari kota Bukittinggi. Bila saya sedang berada di kota Bukittinggi bersama teman dan sempat bermain ke Benteng Fort de Cock, maka saya akan menunjuk kearah titik putih Batu Bajak itu, dan berkata: “Disanalah kampung saya, Kamang Ilia. Dibawah Batu Bajak, di kaki Bukit Barisan....”
Selesai mengabadikan hamparan sawah Alahan dan Jorong Solok dengan masjid yang berada di pinggir agam atau sungai, serta Batu Bajak dengan Bukit Barisannya, kami berbalik arah menuju Simpang Labuah.
Di Simpang Labuah kami belok kiri atau ke arah Timur, menuju Jorong Binu. Setelah Ujuang Ladang, bagian paling timur dari Ladang Darek, kami kembali melewati hamparan sawah. Satu hal yang unik yang saya temui disini adalah jalannya yang di beton, bukan di aspal seperti jalan yang kami lewati sebelumnya. Pembetonan jalan ini adalah murni hasil dari swadaya masyarakat Binu, yang kecewa terhadap pemerintah yang mengabaikan jalan yang menuju kampung mereka.
Selesai mengabadikan surau Binu, salah satu tempat saya belajar mengaji dulu. Kami kembali pulang, karena Eri harus mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja.