Suatu acara pernikahan yang juga di susul dengan acara adat, sempat saya abadikan dalam perjalanan saya berkelana di Ranah Minang ini. Namun karena keterbatasan waktu, ada beberapa acara adat yang masih berhubungan dengan pesta pernikahan yang berlangsung lebih dari dua hariini, tidak sempat saya abadikan. Tapi dari foto-foto yang ada, rasanya cukup menggambarkan acara pernikahan ini.
Sabtu,4 Desember 2010 pukul 5 sore lewat, saya tiba di Pasir Jaya, desa yang terletak di pinggir danau Singkarak yang masuk daerah kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Turun dari bus yang saya tumpangi, saya langsung naik ojek menuju rumah kakak ipar tertua, yang jauhnya sekitar 1 kilometer di kaki bukit, dari jalan raya Lintas Sumatera yang melewati pinggir danau Singkarak itu. Rupanya tukang ojek yang berusia sekitar duapuluhan tahun itu tidak mengenal saya, dan saya juga tidak mengenal dia.
Ketidak saling mengenalan itu lalu di manfaatkan si tukang ojek untuk mengantarkan saya hanya setengah jalan, yaitu hanya sampai dimulut jalan setapak yang menuju rumah kakak ipar saya, yang masih berjarak sekitar setengah kilometer lagi. Padahal biasanya bila salah seorang diantara keluarga kakak ipar saya yang naik ojek, selalu diantarkan hingga ke halaman rumah mereka.
Ketika saya tanyakan kenapa tidak langsung menuju rumah, sambil menyebutkan nama kakak ipar saya, si tukang ojek berkilah:
“Tidak biasa pak....”
Saya tidak mau beradu argumentasi lagi, karena saya tidak ingin bertengkar dengan anak muda yang usianya masih di bawah anak saya itu.
Walau dengan perasaan kesal karena merasa di kibuli, saya berjalan menuju rumah kakak ipar. Dengan tas punggung berisi perlengkapan, di tambah sebuah laptop pinjaman dari adik ipar cucu saya di Pariaman. Serta tas kamera beserta perlengkapannya yang juga ikut bergantung di dada, saya berjalan sambil mendaki menyusuri jalan tanah melewati kebun cengkeh yang berselang seling dengan pohon kelapa, pisang dan mangga.
Walau melangkah dengan pelan, tubuh tua saya tidak bisa di bohongi, tetap saja saya ngos-ngosan. Tidak pernah berolah raga hampir setahun terakhir, membuat kesegaran phisik saya menurun drastis. Sehingga saya terpaksa berhenti beberapa kali.
Begitu sampai di rumah, tubuh saya basah kuyup karena keringat, badan rasanya seperti mau rontok, seperti habis menaiki gedung bertingkat sepuluh melalui tangga darurat, sambil menggendong tas punggung yang cukup berat dan tas perlengkapan kamera beserta laptop. Karena memang jarak setengah kilometer menuju rumah kakak ipar tertua itu 90% adalah jalan mendaki bukit yang mengitari danau Singkarak.
Kepulangan saya rupanya seakan memang sudah di tunggu. Belum setengah jam saya sampai di rumah, dua orang anak dari kakak ipar saya yang nomor empat, telah menyusul ke rumah. Turun dari puncak bukit Ranjau yang jauhnya sekitar 4 kilometer dari rumah kakak ipar saya yang pertama ini. Salah seorang diantaranya Eri, yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang ojek. Melihat sepeda motornya terparkir di halaman, kekesalan saya kepada tukang ojek yang mengantarkan saya hanya separo jalan tadi, kembali menggumpal. Tapi untunglah saya masih dapat menyimpannya dalam hati, tanpa mengumbarnya kepada Eri. Sebab saya yakin, dia pasti kenal dengan tukang ojek yang saya tumpangi itu.
Setelah puas mengobrol tentang keadaan sehari-hari baik mereka yang di kampung maupun kami yang di rantau. Selesai shalat Magrib saya lalu di ajak Eri pergi kerumahnya, bersilaturahmi dengan ayah serta ibu maupun adik-adiknya yang lain. Serta melihat persiapan acara pernikahan Ar adiknya Eri, esok hari.
Setelah melewati perjalan berliku dan mendaki di sepanjang pinggang bukit sekitar 4 kilometer, dimana sekitar 3 kilometernya sudah melewati jalan beraspal, sementara 1 kilometer menjajal jalan setapak di lereng bukit ditengah kegelapan malam yang menyelimuti alam sekitar. Kami akhirnya sampai di rumah orang tuanya Eri, Sutan Mudo dan ibunya Murjilis di Ranjau, sedikit lagi menuju puncak Bukit Gadang yang membentang panjang membentengi Danau Singkarak di satu sisi dan Nagari Padang Luar di sisi lainnya.
Saya turun dari sepeda motornya Eri, di halaman kelihatan beberapa orang duduk di bangku kayu di bawah pohon sheri. Setelah bersalaman dengan mereka, saya masuk rumah. Didalam rumah telah berkumpul keluarga, boleh dikatakan hampir semuanya sibuk bekerja, pelaminan untuk sang pengantin juga sudah terpasang beserta segenap kelengkapannya, suasana pesta sudah terasa.
Setelah menyalami mereka satu persatu saya langsung ke dapur, dimana kesibukan sesungguhnya sedang terjadi. Bunyi piring beradu dengan sendok, suara-suara canda yang saling menimpali, ketawa yang saling bersahut, serta asap dapur yang ikut menyeruak kedalam rumah, membawa aroma masakan yang membuat perut lapar. Sungguh suatu suasayang sangat saya nikmati, setelah bertahun tak pernah mengalaminya.
Saya tak mengikuti semua kesibukan itu, karena saya juga sudah sangat letih. Setelah makan malam yang disambung dengan obrolan yang tidak dapat lagi saya kuti dengan penuh karena mata sudah berat, setelah shalat isya, akhirnya saya tidur duluan.
Dinginnya udara yang disertai angin berembus cukup kencang di puncak bukit itu, semakin membantu saya tidur dengan cepat dan pulas, tanpa merasa terganggu dengan hiruk pikuknya suara-suara dari mereka yang sibuk bekerja dimalam itu.
Keesokannya subuh menjelang jam 05.00 saya terbangun. Tertidur pulas lebih dari lima jam membuat saya bangun pagi itu cukup segar, semua rasa capekpun telah sirna. Beberapa orang telah bangun duluan dari saya, tapi beberapa orang ada pula yang malah belum tidur sama sekali!
Setelah shalat subuh saya turun ke halaman, udara pagi itu cukup tenang. Langit pagi mulai kelihatan memerah, matahari masih bersembunyi di balik bukit di belakang saya, satu persatu kesibukan mulai lagi kelihatan.
Mendekati jam 7.00 beberapa laki-laki anggota keluarga terdekat satu persatu mulai berdatangan. Mereka adalah yang akan melaksanakan pemotongan kambing pagi itu, kambing yang akan di potongpun sudah di keluarkan dari kandang.
Jam delapan dua ekor kambing mulai di potong dan siangi, kesibukan di dapur kembali memuncak. Sementara persiapan menuju masjid untuk pelaksanaan akad nikah juga berjalan.
Mendekati jam 10.00 saya mendahului rombongan menuju Pasir Jaya. Saya belum mandi dan berganti pakaian dari kemarin, Willy adik ipar Eri mengantarkan saya kerumah kakak ipar Malin Bandaro di Pasir Jaya, setelah saya sampai di Pasir Jaya dia kembali ke Ranjau.
Selesai mandi dan berganti pakaian, dengan berjalan kaki saya turun menuju masjid Ikhlas. Jarak 1 kilometer itu saya tempuh dengan berjalan kaki, karena jalannya menurun berjalanpun tak terasa capek. Sampai di masjid Ikhlas, belum satupun rombongan pengantin yang datang.
Lewat jam 10.00 rombongan pengantin dari Ranjau mulai datang satu persatu, diantar bolak balik dengan beberapa buah sepeda motor, mendekati jan 10.30 semua anggota rombongan pun berkumpul di masjid, menunggu datangnya rombongan pengantin pria. Yang berangkat dari nagari Sulit Air, sekitar 15 kilometer dari Pasir Jaya. Berselang tak lama kemudian pak penghulu pun tiba dan ikut menunggu di dalam masjid.
Mendekati jam 11.00 rombongan pengantin pria pun datang, dan dalam beberapa menit setelah menyelesaikan sedikit urusan adat,acara akad nikahpun dilaksanakan. Karena ayah Artika dalam keadaan sakit dan tidak bisa turun dari bukit, maka wali nikah saat itu di wakilkan kepada adiknya Edi.
Penunjukan Edi sebagai wali Artika, nampaknya menimbulkan beban mental yang lumayan menekan Edi. Hal ini berakibat pada pengucapan lafaz Ijab yang di ucapkannya sewaktu acara Ijab Kabul itu berlangsung yang terpaksa harus di ulang beberapa kali,dan hal itu membuat Edi mengeluarkan keringat dingin.
Sebenarnya hal ini bisa diatasi dengan memberikan contekan tulisan yang harus di baca oleh Edi, tapi nampaknya penghulu tak memberikannya. Sehingga upacara yang seharusnya bisa berjalan dalam waktu beberapa menit itu akhirnya molor hampir setengah jam, hanya untuk pengucapan ijab dan kabul saja. Karena beratnya tekanan yang di rasakan Edi membuat dia kesulitan menghafal uacapan Ijab yang harus di ucapkannya ketika berjabatan tangan dengan Jurnalis,pengantin pria suami Artika
Selesai upacara akad nikah, kami kembali ke puncak Bukit Ranjau. Rombongan pengantin berangkat dengan mobil sewaan, sementara kerabat lainnya naik sepeda motor. Saya mendapat tumpangan sepeda motor kakak pengantin pria.
Mendaki ke puncak bukit sejauh 4 kilometer, rupanya menjadi beban berat bagi mobil yang membawa rombongan pengantin. Baru berjalan sekitar satu kilometer, mendaki pada kemiringan sekitar 15 hingga 35 derajat, mobil itu akhirnya menyerah, mogok.
Semua penumpang akhirnya turun, termasuk kedua pengantin. Perjalanan menuju Ranjau akhirnya dilakukan dengan mencicil dengan beberapa sepeda motor yang terpaksa bolak balik beberapa kali hingga semua rombongan akhirnya sampai di rumah pengantin putri.
Beberapa acara adat lanjutan dari upacara pernikahan Artika ini tidak dapat saya ikuti, diantaranya acara manampuah, yaitu pengantin wanita dan keluarga berkunjung ke rumah keluarga pengantin pria dengan memakai pakaian adat suntiang, ke nagari Sulit Air, Kabupaten Solok. Sekitar 15 kilometerdari Desa Pasir Jaya, Nagari Padang Luar, Kabupaten Tanah Datar.