Selagi asyik ngobrol dengan keponakan dari pihak isteri yang sudah tidak bertemu selama 5 tahun, lamat-lamat telinga saya mendengar suara musik dan nyanyian yang bunyinya khas Sunda. Apakah saya tidak salah dengar? Bukankah saya sedang di tengah kota kecil Seberida yang setingkat kelurahan atau kecamatan di Inderagiri Hulu, Propinsi Riau?
Untuk meyakinkan apa yang saya dengar, saya menyetop sementara obrolan dengan keponakan. Lalu berjalan kedepan warung yang berhadapan langsung dengan jalan raya Lintas Timur Sumatera.
Rupanya saya memang tidak salah dengar. Dari arah selatan saya melihat rombongan kesenian Sisingaan khas Sunda, bergerak menuju utara.
Dua patung singa yang menjadi simbol dari keseniaan Sisingaan ini, diarak oleh delapan orang anggotanya. Masing-masing 4 orang untuk setiap patung, yang disetiap punggung patung singanya duduk dua orang bocah yang salah satu diantaranya memakai pakaian pengantin cilik khas tradisinal Sunda.
Disamping itu beberapa anggota lainnya yang juga berseragam kuning, berjalan di belakang memainkan musik pengiring sambil berjoget mengikuti irama dan lagu yang didendangkan oleh seorang sinden. Sang sinden menyanyi dengan memakai pengeras suara Toa yang di gendong oleh salah seorang anggota paguyuban, berjalan paling depan.
Melihat dua pasang bocah berada diatas Sisingaan, saya mengira mereka adalah pengantin sunat yang diarak ketempat upacara. Tapi dugaan saya salah, rupanya rombongan Sisingaan itu tengah menjemput seorang pengantin pria keturunan Minang, yang mendapatkan jodoh seorang gadis keturunan Sunda.
Hal itu saya ketahui setelah beberapa saat kemudian, ketika sang pengantin pria keluar dari rumah, lalu di arak menuju tandu Sisingaan dan menaiki salah satu dari patung sisingaan itu. Sementara patung Sisingaan yang satu lagi dinaiki oleh sepasang pengantin cilik yang tadi datang menjemput sang pengantin pria.
Karena acara di gelar dalam tradisi adat Sunda, pengantin pria yang asal Minang itupun di pakaikan dengan pakaian khas pengantin Sunda.
Setelah pengantin pria menaiki Sisingaan, maka arak-arakan Sisingaan itupun kembali menghiasi jalan Lintas Timur Sumatera. Bergerak kembali dari arah utara menuju selatan, rumah sang pengantin putri, yang telah menunggu di singasana pelaminannya.
Bunyi musik tradisional khas Sunda pun kembali bergema mengiringi arak-arakan yang juga diiringi dengan tari jaipongan, serta warna kuning pakaian para pemain Sisingaan itupun mewarnai jalanan.
Sejenak wajah kota Siberida berubah, seakan kita berada di tanah Sunda.