Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Tadarusan Keliling

15 Agustus 2010   19:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00 126 0
[caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="Foto Google"][/caption] Kembali ke kenangan saya waktu masih di Panti Asuhan 40 tahun yang lalu. Setiap bulan puasa tiba, kalau ada sepeda teman yang nganggur, saya lebih suka shalat tarawih di luar asrama. Dan kalau saya shalat tarawih di masjid luar asrama saya juga suka berpindah dari satu masjid ke masjid yang lainnya di sekitar kota Payakumbuh. Masjid terdekat dari asrama kami yaitu masjid Istiqlal di Labuah Basilang, kira-kira setengah kilo dari asrama kalau melewati jalan raya atau kira-kira tiga ratus meter bila melewati jalan setapak, memintas lewat kebun kelapa dan persawahan. Tapi jalan pintas ini hanya bisa di lewati dengan  jalan kaki, karena melewati pematang sawah yang sempit, yang lebarnya hanya sekitar seperempat meter dan ditumbuhi rumput-rumput liar, diantaranya putri malu yang kalau kesenggol daun-nya akan menciut, tapi juga akan melukai bila terkena pohonnya yang berduri. Masjid yang sering saya kunjungi adalah masjid Muhammadiyah yang terletak di tengah kota Payakumbuh, di jalan Jenderal Sudirman, sejajar dengan kantor Bupati 50 Kota, yang hanya di batasi Kantor pos, gedung BRI, Fakultas Pertanian Universitas Andalas dan dua rumah warga, serta berada di sudut jalan Jenderal Sudirman dan jalan Gereja. Jaraknya dari asrama kami sekitar 2 kilometer. Masjid Muhammadiyah ini saat itu masih dalam proses pembangunan, dan belum mempunyai nama. Karena pada awalnya hanya berbentuk mushalla, maka para jamaah lebih sering menyebutnya Mushalla Muhammadiyah. Walau pada kenyataannya bangunannya saat itu telah berlantai dua, dan kalau shalat jum'at bisa menampung lebih kurang 500 jamaah yang sebagian besar diantaranya adalah para pedagang pasar Payakumbuh dan para pegawai dari perkantoran yang berada disekitar sana. Bila shalat tarawih telah selesai, boleh dikatakan semua masjid yang berada di sana para jama'ahnya melakukan pembacaan kitab suci Al-Quran secara bergantian, atau yang lebih terkenal dengan tadarusan. Tadarusan ini ada yang memakai sound system dan ada pula yang tidak. Bagi masjid yang tidak memakai alat pengeras suara ini, beralasan agar tidak mengganggu warga yang ingin beristirahat. Begitulah, setiap selesai shalat tarawih, saya dan adakalanya bersama teman berkeliling pergi ke masjid-masjid yang mengadakan tadarusan ini. Untuk masjid yang baru sekali kami kunjungi, kami sering di tanyai tinggal di mana, dan kami jawab kami tinggal di Panti Asuhan Labuah Basilang. Kalau kami datang, walau tak meminta kami sering di suruh membaca duluan, tidak menunggu sebagai pembaca terakhir. Karena mereka tahu kami tinggal cukup jauh dari masjid mereka. Begitu juga kalau sudah selesai membaca, kami boleh pulang duluan. Tidak menunggu mereka selesai semua. Tapi ada juga masjid yang konsisten dengan aturan, yang datang belakangan baca belakangan. Kalau ketemu masjid yang seperti ini, maka terpaksalah kami sebagai pembaca terakhir! Untuk menyiasatinya, lain kali kami mengunjungi masjid ini paling akhir juga, sehingga ketika kami datang kami mendapati pembaca hanya tinggal dua atau tiga orang. Malah pernah kejadian ketika kami datang, mereka baru saja selesai. Karena kebetulan malam itu pesertanya sedikit. Karena dapat keistimewaan seperti itu, kami sering dapat mengunjungi 3 atau empat masjid setiap malam, sebelum kami pulang kembali ke asrama, karena sudah agak larut dan suara mulai serak dan matapun sudah mulai mengantuk. Saya tak pernah menghitung dan mencatat, berapa banyak masjid yang pernah kami datangi di sekitar kota Payakumbuh, yang waktu itu belum lagi menjadi kotamadya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun