Ada wacana yang menarik ketika cagub Jabar Dedi Mulyadi mengatakan bahwa dalam dua tahun pemerintahannya seluruh warga Jabar akan mendapatkan aliran listrik. Pernyataan ini menimbulkan spekulasi bahwasanya aliran listrik saat ini belum merata pada rakyat Jawa Barat
Tidak hanya di Jawa Barat, ada sekitar 140 desa/kelurahan di Papua pernah triwulan I belum mendapatkan aliran listrik. Hal ini diungkapkan oleh Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu.
Dengan melihat fakta tersebut seolah membuka mata kita sebagai rakyat Indonesia bahwasanya di era digital ini, masih ada daerah yang belum mendapatkan aliran listrik. Entah berapa banyak daerah lagi yang belum teraliri listrik.
Liberalisasi Energi Listrik
Liberalisasi merupakan buah dari sistem kapitalisme sekuler. Dimana swasta memliki dominasi yang kuat dalam pengelolaan hajat hidup rakyat. Sedangkan negara hanya sebagai regulator antara swasta dan rakyat.
Pada tahun 1990 berdirilah Independen Power Producer (IPP) yang mengelola pembangkit listrik dengan menjual sebagian atau seluruh produksi listriknya ke PLN. Pada tahun tersebut terdapat perjanjian jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) antara pemerintah dengan pihak swasta atau pengembang. Melalui kerjasama ini, PLN harus membeli listrik dengan harga yang mahal kepada IPP sebagai perusahaan pembangkit listrik swasta dengan harga berlipat.
Untuk memenuhi kebutuhan rakyat akan listrik, maka negara harus membangun pembangkit listrik. Namun pembangunan ini memerlukan waktu yang lama dan biaya yang sangat besar. Untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut, negara bekerjasama dengan pihak swasta dalam hal ini IPP untuk memenuhi kebutuhan listrik rakyat. Negara lupa bahwa dengan langkah ini, berarti negara mengokohkan diri dalam liberalisasi listrik.
Untuk mempercepat pemerataan listrik di seluruh wilayah Indonesia, pemerintah menerbitkan UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Undang-undang ini menyebutkan bahwa penyediaan listrik dilakukan oleh negara, tetapi badan swasta atau asing tetap bisa berperan sebagai pihak penyedia energi listrik.
Liberalisasi kian menguat ketika pemerintah menerbitkan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang kemudian diganti dengan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja. Perppu tersebut memberi kemudahan dalam mengelola energi listrik yang dilakukan oleh investor swasta maupun asing.
Kementerian ESDM sebelumnya telah berencana membuka skema power wheeling dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET ke DPR untuk dibahas. Power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara atau PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi dan distribusi PLN. Â Skema ini dinilai bisa menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) yang memungkinkan pihak swasta dan negara menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir. Â Namun, isu sentral ini mendapat banyak pertentangan dari publik, sehingga pemerintah kemudian mencabutnya dari DIM.
Dampak Liberalisasi Energi Listrik.
Dalam sistem kapitalisme, asas manfaat yang menjadi dasarnya. Maka menjadi suatu keniscayaan jika swasta menginginkan keuntungan yang besar dalam membangun pembangkit listrik. Investor tidak akan tertarik pada wilayah pelosok atau terpencil yang mana dilihat dari aspek infrastruktur dan perekonomian, tidak menguntungkan. Tak heran jika layanan listrik tidak tersedia pada wilayah tersebut.
Adapun dampak dari liberalisasi energi listrik bagi rakyat diantaranya tarif listrik semakin mahal. Hal ini bisa dilihat ketika rakyat harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan pelayanan listrik. Ditambah lagi naiknya tarif pajak, naiknya kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan, membuat rakyat merogoh kocek yang dalam untuk memenuhi seluruh kebutuhannya.
Dampak liberalisasi energi listrik bagi PLN selaku BUMN juga semakin berat dengan kewajibannya membeli bahan baku tenaga listrik dengan biaya besar, mengelola dan mendistribusikan listrik kepada masyarakat. Belum lagi ketika mendistribusikan listrik pada wilayah yang memiliki keterbatasan infrastruktur di wilayah terpencil.
Pengelolaan Listrik dalam Pandangan Islam.
Listrik merupakan sumber daya energi milik umum. Maka sesuai syariat Islam negara wajib mengelolanya. Mulai dari mengelola bahan baku energi listrik, memproduksinya, hingga mendistribusikannya sebagai energi listrik kepada rakyat.
Sumber daya energi di negeri kita sangat banyak. Misalnya batu bara yang menjadi sumber pembangkit listrik. Batu bara merupakan barang tambang yang sangat banyak, sehingga pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk kebutuhan rakyat. Maka pengelolaan barang tambang batu bara tidak boleh diserahkan kepada individu, swasta, apalagi asing.
Rasulullah bersabda, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api."(HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam hadist tersebut, listrik termasuk kategori "api" , maka negara lah yang wajib mengelolanya. Untuk itu negara akan menerapkan beberapa kebijakan sesuai dengan syariat Islam. Diantaranya membangun infrastruktur di wilayah terpelosok dan terpencil, membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai, mengelola bahan bakar listrik secara mandiri, mendistribusikan listrik dengan harga murah kepada rakyat serta akses dan pelayanan listrik yang dapat dijangkau di seluruh wilayah negeri dengan biaya murah. Melimpahnya SDA tambang di negeri-negeri muslim, serta pengelolaan energi listrik sesuai syariat Islam maka jelas kebutuhan listrik rakyat akan terpenuhi.
Wallahu'alam bishowab.