Proyek food estate ini digadang-gadang mampu untuk menjamin ketahanan pangan di Indonesia. Tanah yang subur, curah hujan dan sinar matahari sepanjang tahun, masyarakat yang rajin menjadi alasan program ini akan sukses. Apalagi jumlah penduduk Indonesia yang semakin lama semakin bertambah. Untuk itu suka tidak suka, mau tidak mau program food estate harus dilakukan untuk ketahanan pangan negara.
Terbentur Masalah Lahan
Indonesia adalah negara agraris. Dalam program food estate ini, lahan yang subur dan luas menjadi alasan negara akan memindahkan pusat produksi pangan di Jawa ke luar Jawa. Namun ada kondisi dimana ada lahan yang tidak bisa ditanami tanaman pangan seperti di Jawa. Meskipun nantinya food estate tetap dilaksanakan di luar Jawa, akan membutuhkan waktu dalam pengolahan lahan, penyesuaian dengan kondisi dan kultur masyarakat juga anggaran yang besar untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan. Ditambah lagi sumber daya manusia yang harus dilatih supaya handal dan mampu berproduksi secara optimal.
Belum lagi pada pembukaan proyek ini akan terjadi masifnya alih fungsi lahan. Hal ini akan mengakibatkan bencana seperti kekeringan, kabut asap tebal yang berefek pada infeksi saluran pernafasan, merusak lingkungan dan alam, merusak hutan dan ladang gambut serta bencana banjir saat musim penghujan. Ditambah lagi kerugian petani saat proyek ini gagal panen karena lahan yang ditanami, tidak cocok dengan media yang ditanam.
Berulangkali Gagal
Proyek swasembada pangan ini sejatinya telah berusaha dilakukan sejak lama. Seperti proyek ketahanan pangan pada tahun 1990 yang diberi nama Mega Rice Project. Targetnya adalah mengubah satu juta hektare lahan gambut di Kalimantan Tengah menjadi pusat produksi beras. Akan tetapi Mega proyek ini gagal.
Presiden SBY juga pernah berusaha mewujudkan swasembada pangan dan energi melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada 2010 lalu. Namun proyek ini gagal.
Pada tahun 2020 - 2024 ini, Presiden Jokowi meluncurkan proyek food estate yang masuk pada Proyek Strategis Nasional. Saat itu Presiden menargetkan untuk membangun lumbung pangan nasional di lahan seluas 165.000 hektare. Beberapa tempat yang dibidik untuk proyek ini adalah Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, NTT, dan Papua. Tak tanggung- tanggung, pemerintah menganggarkan Rp108,8 triliun untuk ketahanan pangan, termasuk pembangunan food estate. Namun nyatanya program ini mendapat banyak kritikan dan terancam gagal seperti program sebelumnya.
Liberalisasi Pangan dan Cara Pandang Islam
Permasalahan ketahanan pangan di negara kita sejatinya adalah akibat sistem sekulerisme liberal yang diterapkan. Pada sistem ini peran pemerintah seakan hilang. Digantikan oleh dominasi swasta dan asing. Dengan dalih investasi dan utang, swasta menggarap proyek-proyek strategis terkait lahan dan pangan. Alih fungsi lahanpun dilakukan secara besar-besaran dan serampangan. Regulasi UU 41/2019 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diabaikan. Digantilah dengan UU Cipta Kerja yang memudahkan investor untuk menguasai lahan. Maka dengan sistem ini, ketahanan pangan hanya lah impian.
Pangan dan ketahanan pangan adalah hal dasar yang wajib dipenuhi oleh negara. Dalam pemenuhannya, negara tidak boleh menyerahkannya kepada swasta atau asing. Sebab mereka akan memonopoli harga dengan sesukanya. Akibatnya negara akan mengalami ketergantungan pangan yang berdampak kepada kedaulatan negara.
Dalam konsep ketahanan pangan, Islam memiliki solusi paripurna. Untuk memenuhi kebutuhan akan lahan pertanian, negara akan merevitalisasi tanah mati ( ihyaul mawad) yaitu negara akan mengambil lahan yang tidak dikelola oleh pemiliknya selama lebih dari tiga tahun berturut-turut dan akan diberikan pada warga negara yang membutuhkan dan mampu mengelolanya, sehingga menjadi lahan produktif.
Sebagaimana hadist Nabi SAW :
"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Tirmidzi, Abu Dawud).
Dalam pengelolaan lahan, akan dilihat kondisinya. Mengingat kondisi lahan yang berbeda-beda. Caranya dengan mempertahankan lahan pertanian yang subur agar tetap menjadi lahan pertanian, tidak boleh dialihfungsikan menjadi toko, rumah atau bangunan yang lain. Hutan juga tidak boleh dialihfungsikan menjadi lahan yang lain serta harus tetap dijaga kelestariannya. Sedangkan lahan selain untuk pertanian, bisa digunakan untuk pemukiman. Penataan ini hanya bisa dilakukan oleh negara, bukan swasta.
Selain itu negara juga akan melakukan intensifikasi, yaitu memberikan modal yang besar yang diambil dari baitul mal untuk pengadaan alat-alat produksi dan pertanian yang canggih untuk pengolahan pertanian. Untuk itu politik industri akan diterapkan oleh negara.
Semua itu hanya akan terwujud jika sistem liberal dicampakkan dan Islam diterapkan oleh negara. Niscaya ketahanan pangan akan menjadi kenyataan.
Wallahu'alam bisshawab.