DI masyarakat dunia, televisi menjadi media penting sekaligus tontonan paling diminati. Di Inggris, misalnya, rata-rata orang memanfaatkan sepertiga waktunya untuk melihat televisi (Allen 1992:13). Sedangkan orang Amerika menggunakan waktu lebih dari tujuh jam untuk menikmati tayangan televisi (Kubey dan Csikszentmihalyi 1990:xi).
Di Indonesia, televisi hampir bisa dipastikan selalu menyala dari sejak kita bangun tidur hingga tidur lagi. Salah satu tayangan paling populer adalah sinetron. Dulu, ketika televisi belum banyak, sejumlah sinetron yang ditayangkan televisi memberi kesegaran. Misalnya, Aku Cinta Indonesia (ACI), “Losmen Srikandi”, “Jendela Rumah Kita”, “Siti Nurbaya” dan “Sengsara Membawa Nikmat”.
Tapi kemudian, pada era booming televisi, arah persinetronan menjadi tidak jelas. Banyak sinetron yang tak layak dilihat. Jumlah sinetron yang ada tidak diimbangi dengan mutu. Sinetron dibuat kerap dengan semangat mengikuti trend. Bahkan ada beberapa sinetron yang kisahnya mirip dengan sinetron buatan luar negeri.
Satu hal yang mulai mengenaskan adalah ketika agama diseret ke dalam produk sinetron. Agama memang paling laku untuk dijual. Ia bisa dijadikan komoditi dagang menggiurkan. Ini dikarenakan pemeluk agama senantiasa ingin mendapatkan penyegaran rohani. Tak heran, setiap ramadhan sinetron beraroma agama marak di berbagai stasiun televisi.
Tapi kemudian, sinetron agama tidak hanya muncul saat ramadhan. Minat pasar yang fantastik membuat produksinya melimpah. Sehingga banyak sinetron bernafaskan agama (baca: Islam) banyak muncul di hari-hari biasa.
Lihatlah judu-judul seperti Khajijah dan Khalifah, Khanza, Kamila penuh Hidayah, Muslimah, Anugerah, Taqwa, Ikhlas, Doa dan Karunia, Aisyah, Soleha, Aqso dan Madina.
Maka muncullah tokoh-tokoh berjilbab, berpeci, berkoko, dengan kalimat-kalimat yang kental dengan nuansa agama. Kata-kata seperti alhamdulillah, insyaallah, subhanallah, masyaalah, Allahuakbar dan sebagainya begitu mengemuka dalam setiap adegan. Bahkan terkadang ungkapan itu diucapkan di luar konteks.
Bagaimana dengan isinya? Jalinan kisah ternyata tak jauh beda dengan sinetron-sinetron lainnya: perebutan harta, sifat-iri dengki, licik-meliciki, kekerasan, dan seterusnya. Perempuan kerap ditempatkan sebagai sosok yang lemah, pasrah, tak berdaya, jauh dari karakter muslim.
Jadi dalam sinetron-sinetron itu agama hanya menjadi bungkus, bukan isi. Sehingga terlihat yang dikejar sebetulnya bukan memberi inspirasi sebagaimana dilakukan pembuat sinetron Kiamat Sudah Dekat atau Para Pencari Tuhan, tapi semata-mata drama murahan.
Dalam sinetron-sinetron itu, substansi menjadi nomor ke sekian. Nomor satu adalah rating, nomor dua adalah rating, nomor tiga adalah rating. Rating, tentu saja, berkorelasi dengan perolehan iklan (uang), baik bagi stasion televisi itu maupun bagi perusahaan pembuat sinetron.
Lihat misalnya, sinetron bernuansa agama yang kini tengah tayang di sebuah stasiun televisi berjudul “Tendangan Si Madun”. Sinetron yang menjadikan bola sebagai engle kisah ini dibalut dengan bungkus agama. Dalam bayangkan kita, olah raga tentu sangat menghormati sportivitas dan agama sangat menomorsatukan moral dan ajakan berbuat baik.
Namun sinetron itu justru sangat didominasi persoalan yang jauh dari semangat sportivitas. Dalam salah satu episode, misalnya, diceritakan Martin tidak ingin salah satu pesaingnya ikut semi final lomba sepak bola. Ia lalu menyuruh temannya memberi minuman yang mengandung racun tertentu kepada ke pengamen (kerabat pesaing Martin) agar pita suaranya rusak. Sehingga pesaingnya itu tidak bisa ikut bermain bola karena harus mengurus kerabatnya itu.
Pertanyaannya, sampai sejauh itukah kejahatan remaja kita? Ini hanya salah satu contoh. Banyak adegan, dialog dalam “Tendangan si Madun” yang menunjukkan sikap sombong, suka mencelakai orang lain. Bahkan ada satu adegan yang terlampau berani mengeksploitasi Tuhan. Ketika ayah Madun hendak menendang bola, ia berteriak “Tendangan Allahuakbar”. Seketika beberapa orang di depannya berjatuhan begitu kena bola.
Kehendak Produser
Sangat ironis, jika sinetron islami akhirnya justru menampilkan kehidupan beragama hanya sebatas pada busana dan ucapan. Esensi dari beragama itu sendiri justru tidak tergarap. Tetapi produser dan televisi selalu bersembunyi di belakang rating. Rating yang bagus, entah dengan metode seperti apa, menjadi pembenar atas produk yang dihasilkan.
Kalau pun ada kritik atau keluhan dari masyarakat yang bernada mencemaskan kualitas sinetron bernuansa agama, tidak ada yang bisa mengubah keadaan. Sinetron itu tetap terus digarap dan masyarakat tetap saja melihat, meski sudah tahu sinetron yang dilihat sama sekali tak mencerminkan kehidupan agamis.
Memang, ketika orientasi ekonomi begitu mendominasi sebuah pruduk, akhirnya esensi dan nilai dari produk itu akan terkalahkan. Maka menjadi sah saja jika Karl Marx mengungkapkan bahwasannya komoditas berakar pada orientasi materialis (Marx via Ritzer dan Goodman). Orang-orang memproduksi obyek tertentu untuk bertahan hidup, tak terkecuali sinetron berlabel agama.
Mereka yang terlibat produksi produk itu bukanlah bekerja untuk eksistensi dirinya sebagai manusia, melainkan untuk kapitalisme, untuk pemilik modal. Merekalah pemenang dari pertarungan citra dan selera karena mereka memiliki uang untuk membeli citra dan selera itu.
Sebetulnya, bukan penonton (masyarakat) yang berkuasa dalam memutuskan untuk mengkonsumsi citra dan selera. Tapi yang berkuasa adalah produser dan televisi. Masyarakat justru berada dalam posisi lemah, posisi menerima, bukan posisi untuk bernegosiasi dengan produser dan televisi.
Pertanyaannya sampai kapan masyarakat kita terus dijejali sinetron yang demikian? Para pembuat sinetron dan televisi seperti tidak pernah lelah untuk terus memproduksi citra agama dengan caranya sendiri. Meski sebetulnya bukan hanya citra agama yang sedang diperdagangkan. Citra manusia Indonesia juga dijungkirbalikkan. ***
CATATAN:
Tulisan ini pernah dimuat di hariandetik [hariandetik.com], 1 Juni 2012, kemudian saya dokumentasikan di blog: dianing .wordpress.com