Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Curahan Hati: Aku (Memang) Tunarungu

25 November 2014   18:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:54 534 5
Setiap orang pasti ingin normal, adakalanya punya kelebihan dan kekurangannya. Tak ada manusia yang terlahir sempurna, kecuali Allah yang Maha Sempurna ciptaan-Nya. Diantara kalian pasti sering melihat mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Entah itu tunanetra, tunadaksa, tunawicara, atau bahkan tunarungu.
Aku yang dari kecil awalnya normal-normal saja seperti mereka pada umumnya, tapi kebahagiaanku singkat. Kini semua berubah sejak kecelakaan yang menimpaku, yang membuatku seperti ini. Kecelakaan aneh meski sebenarnya remeh.

Saat itu umurku 5 tahun, sedang asyiknya tiduran di lantai tanpa alas di depan televisi. Aku sama sekali tak sadar akan ada bahaya datang menimpaku. Sesuatu yang memasuki lubang telingaku sebelah kiri diam-diam, sesuatu yang sangat mengangguku. Sontak saja kukorek-korek lubang telinga dengan jari telunjukku, namun hasilnya nihil. Rasa gatal yang semakin menjadi, semakin terus kukorek semakin sakit dan gatal sekali. Karena tak kuat menahan rasanya, kemudian kuadukan pada orang tuaku dan membawaku ke rumah sakit. Disanalah aku diperiksa oleh dokter THT, kepalaku pun dimiringkan ke kanan dengan bantuan Bapak. Mungkin karena ini pertama kalinya aku dibawa rumah sakit besar di daerah Jakarta, entah dimana itu. Karena aku sudah terbiasa berobat ke tetanggaku yang berprofesi sebagai dokter umum, selalu membuka tempat prakteknya kala aku sakit. Karena aku takut, dengan adanya Bapak membuatku berani. Meski dengan cara berontak.

Telingaku merasakan dingin dan agak geli, ah ya, dokter mencoba memasukkan slang kamera lensa guna melihat apa yang ada di dalam lubang kecil ini. Sampai terus begitu, memeriksa. Hingga akhirnya aku memberontak saking sakitnya, Bapak bahkan kewalahan karena aku terlalu banyak bergerak sampai dokter pun agak repot atas sikapku yang mendadak tiba-tiba. Semakin kuberontak, semakin kuatnya dekapan Bapak mendiamkan tubuhku agar tak bergerak. Aku hanya bisa menangis kencang, tak mampu bergerak sedikitpun.

Hingga akhirnya, selesai sudah. Dokter berhasil mengeluarkan sesuatu benda asing yang beraninya masuk ke lubang telingaku, adalah seekor semut hitam. Semut hitam! Tak pernah kubayangkan bagaimana bisa masuk? Aneh memang, tapi itulah yang terjadi. Kecelakaan kecil. Sejak itulah aku merasa kehilangan pendengaran, meski samar tapi masih bisa kujelas pada suara apapun. Kenyataannya, yang ada hanya agak hening. Sunyi.

Dan satu hal yang tak pernah kusangka, aku dimasukkan ke sekolah umum. Bukan sekolah khusus, aku tak pernah bertanya pada orangtuaku. Aku yang saat itu masih polos, lugu dan ceria. Seolah aku merasa tak ada apapun pada diriku, meski sebenarnya aku tahu. Aku hanya tak ingin orangtuaku sedih ataupun merasa bersalah padaku. Biar aku sendiri yang memendam semuanya, tak pernah menceritakan apapun yang kualami. Meski aku tahu orangtuaku khawatir padaku, aku berusaha tersenyum. Berusaha memberikan kepercayaan, bahwa aku baik-baik saja. Orangtua adalah teman terbaik yang pernah kumiliki, mereka percaya kemampuanku. Karena keluarga selalu memberiku kekuatan, dukungan, semangat atau apa pun itu. Aku bersyukur. Mereka percaya bahwa aku pasti bisa melewatinya. Cobaan demi cobaan.

Hingga akhirnya aku dihina, dikata-katai kasar yang membuatku tersinggung meski tak semua teman-teman mengataiku. Mereka mengerti aku, memahami diriku. Padahal aku tak pernah cerita bahkan mengakuinya, karena aku malu, minder dan tak percaya diri. Aku tahu, pada akhirnya terbongkar juga. Aku bersyukur mereka peduli padaku, meski sebagiannya saja. Mereka tahu bahwa aku tak mampu mendengar dengan baik. Kecuali, wali kelasku yang suka becandanya kelewatan. Baginya, inilah hiburan. Aku terima perlakuan darinya, aku tak bisa marah. Aku hanya bisa menangis dalam hati, saat wali kelas mengataiku, sebagian teman-temanku ikut membisu dan sebagiannya lagi ikut menertawaiku. Aku paham, tak ada yang bisa menolongku. Semakin sering aku diperlakukan seperti itu oleh wali kelasku sendiri, aku semakin dendam. Dan aku hanya bisa bersabar, aku harus kuat.

Akhirnya, aku lulus SD. Hingga memasuki SMP pun aku tak pernah membayangkan apakah harus masuk ke SLB atau umum, tapi sebenarnya aku ingin mencoba lagi ke sekolah biasa. Aku ingin diperlakukan sama oleh orang-orang pada umumnya, bukan diperlakukan berbeda. Diistimewakan. Tidak! Aku tak suka diperhatikan lebih dari siapapun atau apapun, aku hanya ingin diperlakukan biasa saja.

Dan untuk kedua kalinya dalam hidupku, aku kembali dimasukkan sekolah umum. Aku berusaha percaya diri. Dan, untuk pertama kalinya juga, aku memakai alat bantu dengar di pasangkan sebelah kiri. Awalnya memang belum terbiasa dengan suara bising, karena dunia yang aku kenal hanyalah sepi bahkan agak sunyi sekali. Awalnya juga aku tak terlalu pede kalau pakai itu, akhirnya kumantapkan hati untuk berjilbab pertama kalinya. Bapak tak pernah memaksakan kami, anak-anaknya untuk berjilbabnya kapan. Lucunya, dulu aku sering menyuruh Ibuku untuk berjilbab. Bukankah aku juga ikut berjilbab, kan? Malah akhirnya aku berniat berjilbab, dengan kesadaran diriku untuk berjilbab. Sekaligus untuk menutupi kekuranganku, aku memang belum siap memberitahukan keterbatasanku pada mereka.

Biarlah waktu yang menjawab semuanya, seperti biasa terbongkar dengan sendirinya. Aku butuh waktu untuk mempersiapkan diri, untuk mengakuinya, apapun yang terjadi. Aku harus siap.

Aku bangga pada diriku, juga orangtuaku. Aku berterima kasih pada mereka, menerima keterbatasanku. Bahwa aku tunarungu. Mengakui bahwa aku adalah anak yang normal, sama seperti mereka. Tanpa membeda-bedakan aku dengan kakak-kakakku, diperlakukan sama dengan semua perhatian dan kasih sayangnya. Dengan cinta.

Bahkan sampai sekarang, setelah aku melewati semua ujian demi ujian, aku tahu bahwa aku mampu. Dan aku bisa. Aku bisa menyelesaikan sekolah umum dari TK, SD, SMP, SMA bahkan lulus kuliah sekalipun. Aku bahkan tak menyangka bisa sampai sejauh ini, aku bersyukur.

Aku tak sendiri di dunia ini, mungkin ada banyak orang yang bernasib sama sepertiku. Hanya saja aku masih belum bisa menerima diriku, suara hati kecilku berusaha menyemangatiku. Mengatakan pada diri ini, "Gak seharusnya kamu sedih, kecewa atas hidupmu. Merasa hidupmu tak adil yang diberikan Allah padamu, kamu boleh protes. Tapi sebentar saja, Dia pasti punya alasan yang gak kamu tahu. Bukalah matamu, terimalah dengan lapang dada. Ikhlaskan semuanya, kamu akan merasakan betapa luasnya kasih sayang-Nya padamu. Sabarlah, kamu harus kuat. Bahwa kamu tak sendiri, ada Allah bersamamu."

Ya, kucoba melihat dunia. Melihat orang-orang. Melihat mereka yang tak punya kaki atau tangan. Mereka yang tak bisa melihat. Juga melihat mereka yang juga bernasib sama sepertiku, tak mampu mendengar. Tapi mereka selalu bersemangat menjalani hari. Sedangkan aku? Betapa bodohnya aku, begitu kerdil pikiran ini. Mengapa aku harus marah atas semua yang terjadi padaku? Mengapa aku harus minder bahkan tak percaya diri?

Pelan-pelan kuhilangkan semua. Aku harus semangat. Tak peduli pandangan negatif mereka atas diriku, karena merekalah aku bisa kuat. Sampai detik ini.

Aku bersyukur atas perjalanan hidupku, bersyukur aku mampu melewatinya. Bersyukur mendapat perhatian dari mereka yang peduli padaku. Apa pun itu, aku bersyukur. Pada mereka yang bisa mengerti keterbatasanku, keluargaku, teman-temanku. Dan juga Allah, terima kasih atas lautan kasih sayang-Mu padaku. Aku tak mampu menghitung seberapa banyaknya Kau berikan perhatian padaku.
Kini aku siap. Siap menerima keberadaan diriku yang selama ini kututupi. Siap menunjukkan diri. Siap menyongsong hari.

Aku buktikan, bahwa aku bisa sekolah seperti kalian hingga kuliah, sampai lulus. Tanpa perlu di sekolah khusus. Meskipun aku kehilangan pendengaran. Meskipun aku seorang tunarungu. Tapi nyatanya aku bisa! Aku benar-benar tak percaya bisa berhasil sejauh ini. Aku berterima kasih pada Allah, keluarga, teman-teman.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun