Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ruang Kelas

Integritas Pemimpin dan Loyalitas Rakyat dalam Perspektif Al - Qur'an

28 Juni 2024   00:08 Diperbarui: 28 Juni 2024   00:12 106 0


penulis;  Dian Annisa Putri, Zamrah Ayuni (Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, IAIN Lhokseumawe)


Al-Qur'an merupakan pedoman hidup bagi manusia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah pegangan bagi umat manusia sejak dahulu hingga akhir zaman. Al-Qur'an yang ditetapkan sebagai mukjizat terbesar yang diberikan kepada Nabi Muhammad sudah dijamin oleh Allah terjaga keaslian dan kemurniannya hingga hari kiamat. Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi kita untuk terus berpegang kuat pada Al-Qur'an dalam menjalani kehidupan terlebih lagi seperti masa-masa sekarang, dimana problematika kehidupan dalam bermasyarakat semakin kompleks kiranya.

Kehadiran manusia di muka bumi disebut sebagai khalifah, yaitu pemimpin. Bahkan dalam suatu hadits disebutkan bahwa setiap kita adalah pemimpin, sekurang-kurangnya adalah pemimpin bagi diri sendiri. Sudah sepatutnya masalah kepemimpinan ini dikaji dan dikupas lebih dalam guna menyelaraskan dengan nilai-nilai Al-Qur'an agar terciptanya kehidupan yang aman, damai dan sejahtera.
Sebagai masyarakat yang hidup di sebuah negara, tentulah harus menaati pemimpinnya yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Bukan hanya patuh, kita juga dituntut untuk menunjukkan kesetiaan terhadap pemimpin dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur'an. Beberapa diantaranya tertuang dalam QS. An-Nisa' [4]: 59, QS. Ar-Ra'd [13]: 30, An-Nahl [16]: 91, QS. An-Nur [24]: 48, dan QS. Al Fath [48]: 18.

Ketaatan kepada pemimpin jelas diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya pada QS. An-Nisa' [4]: 59. Ayat tersebut juga berisi tuntutan untuk kembali kepada hukum Allah yaitu Al-Qur'an dan Sunnah jika terjadi perselisihan terhadap suatu perkara. Perilaku semacam itu termasuk tanda-tanda orang beriman. Sejatinya, mengikuti ajaran Islam dengan berpedoman pada Al-Qur'an dan Sunnah merupakan keutamaan bagi seorang muslim dan tentu hal itu akan mendatangkan kebaikan. Analisis mendalam dapat ditemukan jika menilik kepada asbabun nuzulnya suatu ayat. Perintah taat kepada pemimpin adalah hanya kepada perihal kema'rufan saja tidak pada kemaksiatan. Jika sekiranya seorang pemimpin memerintahkan kepada kemaksiatan maka tidak wajib untuk menaatinya. Dalam tafsir as-Sa'di dijelaskan pula bahwa dihilangkan kata kerja "taat" pada perintah taat kepada pemimpin dalam ayat tersebut adalah sebagai bentuk pilihan, adakalanya kita harus mematuhi dan meninggalkan perintahnya jika itu berupa kemaksiatan. Sedangkan taat pada perintah menaati Allah dan Rasulullah adalah wajib dipatuhi karena Allah dan Rasul-Nya tidak akan memerintahkan kepada kemaksiatan.

QS. An-Nur [24]: 48 mengindikasikan bahwa ada orang-orang yang menolak untuk datang ketika diajak kembali kepada hukum Allah dan menghadap Rasulullah agar diputuskan suatu perkara. Ayat tersebut dapat dikorelasikan dengan problematika saat ini, dimana ada diantara masyarakat yang menolak untuk datang ketika hendak diputuskan perkara diantara mereka oleh pemimpinnya. Padahal pemimpin yang berpegang pada Qur'an dan Sunnah tentu saja akan memutuskan perkara dengan adil. Sayangnya, ada diantara masyarakat yang masih dikendalikan oleh hawa nafsu yang mendorongnya untuk menerima putusan yang hanya jika sesuai dengan kehendaknya saja tanpa memperdulikan kerugian orang lain. Hal yang demikian itu tidak patut ada dalam diri seorang muslim, karena kita dituntut untuk berlapang dada dalam setiap perkara yang diputuskan dengan adil.

Adapun sikap setia terhadap pemimpin digambarkan dalam QS. An-Nahl [16]: 91. Sebagaimana tertuang dalam asbabun nuzulnya, ayat ini terkait baiat yang dilakukan oleh kaum muslimin kepada Nabi Muhammad pasca hijrah ke Yastrib (Madinah). Kala itu, jumlah kaum muslimin terbilang sedikit sedangkan kaum musyrikin masih mendominasi. Oleh karenanya, ayat tersebut juga memiliki korelasi dengan kandungan QS. Ar-Ra'd [13]: 20 yang memerintahkan untuk setia terhadap janji yang telah diikrarkan dan jangan sekali-kali melanggarnya karena Allah menjadi saksi terhadap janji-janji yang diteguhkan itu. Jika dikembalikan ke dalam konteks kepemimpinan, tentu saja ayat ini mengandung nilai penting yang harus diperhatikan oleh para pemimpin. Setiap pemimpin yang dilantik akan disumpah terlebih dahulu, sumpah-sumpah sakral itulah yang benar-benar harus dipenuhi dengan baik. Pemimpin yang beriman sejatinya mengetahui konsekuensi dari sumpah yang diambilnya, artinya ia harus bertanggung jawab atas kehidupan dan harapan orang banyak yang telah memberikan kepercayaan kepadanya. Sumpah yang telah diikrarkan melibatkan Allah sebagai saksinya, oleh karenanya seorang pemimpin hendaklah senantiasa merasa diawasi oleh Allah Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, seorang pemimpin akan jauh dari sikap menyepelekan sumpah dan mempermainkan kepercayaan masyarakat yang mana hal itu hanya akan mendatangkan kerugian bagi pemimpin itu sendiri. Pemimpin yang adil dan berbuat kebajikan serta mampu memenuhi setiap sumpahnya dapat mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat dan negeri yang dipimpinnya.

Allah menegaskan keridhaan-Nya terhadap orang-orang yang mematuhi pemimpin sebagaimana yang tertuang dalam kandungan QS. Al Fath [48]: 18. Penggunaan kata "Laqad" dalam ayat ini mengindikasikan bahwa ridha Allah sangat besar kepada orang-orang yang berbuat demikian. Bukanlah suatu hal yang mudah menepati perjanjian yang telah diikrarkan. Oleh karenanya, siapa yang mampu bersabar atas perjanjian yang telah diteguhkannya itu maka ia akan mendapatkan kebaikan. Dengan demikian, sikap taat dan patuh kepada pemimpin yang berintegritas akan memperlancar proses pemerintahan di suatu negara. Apapun yang terbesit dalam hati dan pikiran manusia tentulah Allah mengetahuinya. Dalam konteks ini, Allah mengetahui apa-apa yang terjadi dalam sebuah pemerintahan dan kepemimpinan maka hendaklah setiap pemimpin merasa takut akan berbuat dzalim kepada rakyatnya. Atas segala perintah dan larangan Allah tentulah memiliki hikmah yang indah dibaliknya. Sudah sepatutnya sebagai seorang muslim untuk bersabar dalam menaati peraturan dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Qur'an yang senantiasa menunjuki manusia kepada yang haq.

Dengan demikian, kepatuhan dan kesetiaan rakyat akan tercurah kepada pemimpin yang berintegritas yaitu yang mampu bertanggung jawab atas segala sumpahnya serta berpegang teguh kepada hukum Allah. Hubungan timbal balik yang demikian, mampu mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang aman, damai, dan sejahtera.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun