Pemantik memulai diskusi ini dengan pembahasan terkait seberapa penting keterkaitan antara Perempuan dan Agraria serta mengapa konflik agraria menjadi satu persoalan besar yang menjadi sengketa luar biasa? Pertanyaan tersebut muncul karena sampai hari ini dan sampai kapanpun, tanah merupakan harga mati sebagai lahan produksi, sumber penghidupan, jaminan masa depan dan yang paling sederhana adalah tempat berpijaknya rumah-rumah penduduk. Konflik agraria juga erat kaitannya dengan perempuan. Sebagaimana program reforma agraria yang seringkali di cetuskan oleh pemerintah, yang masih belum mewujudkan keadilan agraria bagi perempuan.
Ketidakadilan agraria terhadap perempuan sesungguhnya sudah dimulai berabad-abad tahun lalu, manusia hidup di zaman komunal primitif. Pada saat itu, laki-laki dan perempuan hidup secara kolektif. Mereka hidup secara berpindah-pindah, ketika sumber daya alam yang dijadikan sumber penghidupan mereka berkurang atau habis. Setelah ditemukannya logam, maka peralihan corak produksi dari yang awalnya berburu dan meramu beralih ke bercocok tanam.
Saat itu mereka mulai hidup menetap. Namun, dikarenakan adanya beberap masalah terkait gender. Maka, wanita pada saat itu tidak mungkin ikut berburu karena harus melahirkan. Disinilah dimulai adanya pembagian tugas yaitu ada kelompok yang berburu dan ada kelompok yang bercocok tanam. Dalam hal bercocok tanam, perempuan memiliki keahlian dari memilih bibit, menanam, memelihara, hingga memanen.
 Namun, pengumpulan hasil produksi panen yang besar lambat laun membuat penguasaan pertanian diambil alih oleh laki-laki. Kemudian melahirkan sistem akumulasi dan dagang. Pada saat ini, pemerintah dipimpin oleh satu orang. Rakyat memberi upeti kepada pimpinan untuk keperluan membangun infrastruktur daerahnya. Inilah kemudian yang melahirkan sistem kerajaan yang dikenal dengan masa feodalisme.
Di zaman feodal dimana corak produksi pada saat itu adalah tanah dan tenaga kerja yang terikat dengan tanah. Serta kekuasaan ekonomi politik berdasarkan kepemilikan tanah (raja). Pada zaman ini terbagi 2 kelompok antara kaum elit (golongan atas) seperti raja, bangsawan, dan agamawan. Serta adanya kelompok bawah (low class) yaitu terdiri dari rakyat biasa. Hal ini menyebabkan terjadinya kontruksi sosial sehingga perempuan hanya berada di ranah domestik. Adanya kontruksi sosial ini kemudian mengarah ke sistem kapitalis, yang menyebabkan posisi perempuan termarginalkan oleh kaum feodal. Bukan hanya pada perempuan tetapi juga terhadap orang-orang yang lemah.
Berkembangnya sistem kapitalis tersebut menimbulkan terjadinya revolusi industri. Perempuan di eksploitasi untuk bekerja di pabrik selama 21 jam. Hal tersebut menyebabkan  perempuan tidak bisa ikut dalam berorganisasi dan ruang geraknya di ranah publik menjadi terbatasi. Sehingga dalam hal menentukan kebijakan terkait agraria pun perempuan tak mendapatkan peluang.
Sejarah singkat perkembangan masyarakat diatas sedikit menggambarkan bagaimana peran historis perempuan dalam pertanian. Sudah kita ketahui bersama perempuan sejak awal dibekali keterampilan luar biasa dalam mengelola lahan pertanian, proses bercocok tanam pada masa purbakala telah diperkenalkan oleh kaum perempuan sebagai solusi mempertahankan persediaan pangan guna bertahan hidup. Serta menggantikan proses berburu yang sewaktu-waktu tak bisa dilakukan karena kondisi subjektif perempuan.
Saat ini maraknya konflik agraria yang terjadi merupakan permasalahan yang tak kunjung tuntas dan sulit menemukan jalan keluar yang tepat. Penyelesaian masalah diwarnai dengan kisruh pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab, pemerintah saat ini lebih menjunjung tinggi adanya kepastian hukum dengan mengacu pada hukum formal tertulis. Padahal dalam penegakan hukum, sejatinya keadilan dan kemanfaatan bisa berjalan seimbang tak luput dengan memperhatikan adanya aturan tertulis yang berlaku.
Berangkat dari peraturan semacam itulah aparat kemudian menggunakan kacamata kuda melihat konflik agraria. Seolah-olah hanya satu hukum yang berlaku di bidang agraria, yaitu hukum positif nasional. Sehingga masyarakat tidak merdeka dalam menyelesaikan konflik bahkan mencegah terjadinya konflik dengan mekanisme sendiri. Padahal, Indonesia memiliki keragaman budaya, etnisitas, yang perlu dipertimbangkan namun tak pernah diindahkan dalam hal ini.Â
Menghadapi konflik agraria ini, perlu diperhatikan secara objektif bahwasanya kedudukan perempuan sangat terkait dalam peristiwa ini. Dalam kehidupan sehari-harinya memang benar jika laki-laki dipandang sebagai pencari nafkah atau merupakan tulang punggung keluarga.Â
Sehingga, semua yang berkaitan tentang perekonomian keluarga menjadi tanggung jawab seorang suami. Tetapi, kita tidak bisa mengesampingkan jika persoalan konflik agraria juga menjadi persoalan yang cukup dramatis bagi perempuan, baik sebagai istri maupun sebagai anak perempuan yang cukup dianggap sudah besar didalam keluarga.
Selain berbicara terkait dampak negatifnya terhadap Hak Asasi Manusia, konflik agraria juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi menurunnya  pendidikan bagi anak-anak yang hidup di era badai konflik ini, terutama perempuan. Krisis ekonomi membuat masyarakat yang terlibat dalam konflik menjadi sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk bertahan hidup serta pendidikan bagi anak-anaknya. .
 Dalam hal ini, perempuan menjadi sisi yang paling termarginalkan, dimana perempuan dianggap sebagai objek yang sudah cukup mampu menopang ekonomi keluarga meski masih usia belia, yakni menjadi pembantu rumah tangga.Â
Tak bisa dipungkiri, jika saat ini banyak sekali tenaga-tenaga kerja dalam sektor domestik yang menempatkan perempuan-perempuan belia sebagai agennya. Kondisi ini yang kemudian memudarkan ambisi berpendidikan tinggi bagi kaum perempuan. Karena dianggap sangat produktif untuk menopang ekonomi keluarga meski masih berusia belia.
Jika dibenturkan dengan realita saat ini dimana eksploitasi sumber daya alam yang tidak dapat dikendalikan lagi, menjadi bagian dari upaya negara dalam menghilangkan hak asasi manusia atas keadilan sumber daya alam, terutama perempuan. Dalam situasi krisis ekologi, perlawanan perempuan yang mempertahankan ruang hidupnya semakin banyak bermunculan.
Di banyak tempat di Indonesia, beberapa perempuan dengan berani berada di barisan terdepan untuk menuntut penolakan terhadap kegiatan-kegiatan yang kemudian merusak alam.Â
Kerusakan alam yang terjadi tersebut merupakan hasil kerjasama kotor antar negara dan korporasi. Perempuan tahu betul bahwa hilangnya tanah dan air berakibat pada hilangnya masa depan perempuan.
                                                     Â
Yogyakarta, 18 April 2017
Oleh Diana Hijri Nursyahbani
(Kepala Bidang Immawati Komisariat FH UMY)