Suatu sore, Kakek Joko duduk di teras rumahnya. Ia memandangi jalan setapak yang mengarah ke desa. Ia merindukan anaknya, Juki yang sudah merantau ke kota besar selama beberapa tahun. Setiap kali ia melihat anak-anak bermain di luar, rasa rindu itu semakin menggerogoti hatinya.
"Duh, Juki... kapan kau pulang?" Kakek Joko bergumam sambil mengusap kacamata.
Tiba-tiba, suara tawa mengalihkan perhatiannya. Kakek Joko melihat seorang anak kecil bernama Unyil yang berusia sekitar tujuh tahun, berlari-lari sambil mengejar ayam. Unyil adalah anak yang ceria, penuh energi, dan selalu berhasil membuat Kakek Joko tersenyum.
"Unyil!" panggil Kakek Unyil, "Ke sini sebentar!"
Unyil menghentikan larinya, mengernyitkan dahi, dan berlari menghampiri Kakek Joko dengan langkah ringan. "Ada apa, Kakek?"
Kakek Joko tersenyum, "Kau tahu, kan, Juki, anakku? Dia belum pulang dari kota. Aku sangat merindukannya."
Unyil mengangguk, "Iya, Kakek. Tapi kenapa Kakek tidak pergi ke kota? Biar ketemu!"
Kakek Joko menggelengkan kepala, "Aku sudah tua, Nak. Jaraknya jauh, dan aku tidak tahu jalan ke sana."
Unyil berpikir sejenak. "Tapi aku bisa bantu Kakek! Kita bisa bikin rencana!"
Kakek Joko tersenyum lebar. "Oh, kamu ini pintar sekali, Unyil! Apa rencanamu?"
Dengan semangat, Unyil mulai menjelaskan. "Kita bisa bikin poster besar dan tulis 'Kakek Joko Mencari Juki!'. Nanti, semua orang yang lewat bisa lihat dan membantu Kakek."
Kakek Joko tertawa, "Bagus sekali, Unyil! Tapi bagaimana kita membuatnya?"
"Tenang, Kakek! Aku punya kertas dan spidol di rumah!" jawab Unyil sambil melompat kegirangan.
Tak lama kemudian, mereka berdua kembali ke teras Kakek Joko dengan perlengkapan yang dibutuhkan. Unyil mulai menggambar poster, sementara Kakek Joko mencatat pesan yang ingin disampaikan.
"Ini dia, Kakek!" Unyil mengangkat poster dengan bangga. Tulisannya berbunyi: "Kakek Joko Mencari Juki! Siapa saja yang melihat Juki, tolong bawa dia pulang!"
Kakek Joko tertawa melihat hasil karya Unyil. "Ini sangat bagus! Sekarang kita pasang di pinggir jalan."
Mereka berdua bergegas ke pinggir jalan desa dan memasang poster di pohon besar. Kakek Joko berdoa agar Juki melihatnya.
Sehari berlalu tanpa kabar. Kakek Joko sedikit kecewa, tetapi Unyil tetap optimis. "Kita tunggu sampai orang-orang lihat, Kakek! Aku yakin Juki pasti datang!"
Hari berikutnya, mereka kembali ke pinggir jalan. Unyil melihat beberapa orang berhenti untuk membaca poster. Salah satu tetangga, Bu Lina, mendekati mereka.
"Eh, Kakek Joko! Apa ini? Mencari anak?" tanya Bu Lina.
"Iya, Bu. Ini Unyil yang menyarankan ide ini. Kami berharap Juki bisa pulang," jawab Kakek Juki.
Bu Lina tersenyum, "Baiklah, saya akan bantu sebarkan berita ini!"
Dalam hitungan hari, poster itu menarik perhatian banyak orang. Setiap orang yang melihatnya mulai bertanya tentang Juki, dan Kakek Joko merasa harapan itu kembali hidup.
Suatu pagi yang cerah, saat mereka sedang menunggu di teras, terdengar suara mobil mendekat. Kakek Joko dan Unyil berlari menuju jalan. Ternyata itu adalah mobil dari kota yang diisi oleh beberapa pengunjung desa.
"Kakek! Kakek!" teriak Unyil, "Ada orang dari kota!"
Kakek Joko melihat seorang pemuda di dalam mobil. Jantungnya berdebar. "Apakah itu Juki?"
Pemuda itu keluar dan tersenyum, "Selamat pagi, Kakek! Saya dengar ada Kakek Joko yang mencari Juki?"
Kakek Joko hampir melompat kegirangan. "Iya! Kau tahu Juki?"
"Iya, Kakek! Saya teman Juki di kota. Dia sangat merindukan Kakek dan ingin pulang," jawab pemuda itu.
Unyil melompat-lompat kegirangan, "Kakek! Kakek! Juki akan pulang!"
Kakek Joko hampir tidak percaya. "Kapan dia datang?"
"Sekarang! Dia sudah menunggu di mobil!" jawab pemuda itu.
Kakek Joko berlari menuju mobil dengan Unyil mengikuti di belakangnya. Ketika pintu mobil dibuka, Juki muncul dengan senyuman lebar.
"Kakek!" Juki memeluk Kakek Joko erat-erat. "Maaf sudah lama tidak pulang. Aku sangat merindukanmu!"
Kakek Joko meneteskan air mata bahagia. "Aku juga, Nak. Terima kasih telah datang."
Unyil melihat momen itu dengan penuh kebahagiaan. "Kakek, lihat! Juki sudah pulang!"
Juki menunduk dan melihat Unyil, "Eh, siapa ini?"
"Aku Unyil, Kakek Joko yang bantu cari kamu!" jawab Unyil bangga.
Juki tertawa, "Terima kasih, Unyil! Kamu pahlawan Kakekku!"
Setelah berpelukan, mereka semua kembali ke rumah Kakek Joko. Hari itu dipenuhi dengan cerita, tawa, dan makanan yang disiapkan Kakek Joko.
Malam harinya, Kakek Joko, Juki, dan Unyil duduk di teras, menatap bintang-bintang. Juki menceritakan pengalamannya di kota, sementara Unyil mendengarkan dengan takjub.
"Jadi, Unyil" kata Juki, "apa kamu mau merantau juga seperti aku?"
Unyil menggeleng, "Enggak! Aku lebih suka di sini. Di kota banyak mobil, banyak suara bising. Di sini, aku bisa bebas berlari."
Kakek Joko menambahkan, "Benar, Nak. Setiap tempat punya keindahannya masing-masing. Tapi rumah adalah tempat terindah."
Mereka bertiga tertawa, merayakan pertemuan yang tak terduga.
Hari-hari berlalu, dan Juki memutuskan untuk tinggal lebih lama di desa. Ia mulai membantu Kakek Joko dan Unyil dalam berbagai kegiatan. Mereka sering pergi menangkap ikan di sungai, dan Kakek Joko tidak lagi merasa sepi.
Kehangatan yang mereka ciptakan di antara mereka menjadikan desa itu lebih hidup. Kakek Joko mengerti bahwa cinta dan kasih sayang bisa menjembatani jarak, dan kadang, hanya diperlukan seorang anak kecil dengan ide-ide cemerlang untuk menyelesaikan masalah yang tampak sulit.
"Unyil, terima kasih ya!" kata Kakek Joko dengan tulus.
"Tidak apa-apa, Kakek! Kita bisa bikin poster lagi kalau Juki mau pergi!" jawab Unyil dengan semangat.
Kakek Joko tertawa, "Nah, kita lihat dulu. Mungkin kita butuh lebih banyak poster untuk mengingatkan anak ini agar tidak pergi lagi."
Malam itu, saat mereka menatap bintang-bintang, Kakek Joko, Juki, dan Unyil menemukan kebahagiaan sederhana dalam kebersamaan.