Mohon tunggu...
KOMENTAR
Roman Pilihan

Roman: Rapsodi Memori

20 Maret 2024   00:27 Diperbarui: 20 Maret 2024   00:29 180 16

Mas, bolehkah aku bersembunyi di balik punggungmu lagi? Sebentar saja. Biarkan aku mendapatkan naungan teduh tenangmu yang paling lapang. Biarkan aku mendapat sebuah tempat kecil saja supaya mimpiku tak sirna usai sewindu kita bersua.

Malam ini aku mencoba merawat keping-keping ingatan tentangmu bersama separuh aroma kopi di antara dingin dinding kamar tamu.

Dari ruang yang sama ini, kau selalu duduk menyandarkan punggung di kursi kesukaanmu. Bila sempat, sesekali kau menyesap kopi yang kuseduh pekat dalam cangkir kesukaanmu. Bagimu cangkir yang pinggirnya sedikit pecah itu biasa.

Kau tak mau menggantinya dengan yang baru. Katamu, aku tak usah membelikan yang baru. "Pemborosan" adalah istilah yang seringkali kau pakai bila aku ingin membelikan sesuatu yang baru untukmu. Sementara kau tahu betul, aku tak pernah merengek demi apa pun padamu. Begitu pun aku, tahu bahwa kau mengagumi sifatku itu.

Hanya suatu ketika aku bertanya, "Mas, kenapa kita ndak beli cangkir kopi yang baru? Kan yang lama cuil?"

"Ndak usah, Dhik. Pemborosan. Cangkir cuil itu biasa. Sama seperti kita yang pernah bertemu rasa kecewa," jawabmu singkat. Kala itu.

Malam seperti ini kau biasa duduk di kursimu.  Memandangku memainkan tuts-tuts lawas keyboard bekas, hadiah ulang tahunku darimu. Bulan lalu.

Sebentar-bentar kulirik dari kejauhan. Hanya untuk memastikan senyummu masih kau sisihkan untukku. Tetap senyum yang sama ketika kali pertama kuminta punggungmu sebentar untukku berlindung dari petir saat kau dan aku terjebak pada sepertiga waktu di bawah guyur air hujan. Sebuah reduksi kodifikasi tempat: serambi toko mi langganan kita.

Oh, begitu curangkah aku menyita sekian detik waktumu bersama segitiga Mars, Venus, dan bulan yang coba kau tangkap untukku di angkasa sana? Begitu tak adilkah aku pada sejuta bintang yang melawat lensa teropong di sampingmu? Maafkan kelancanganku, Mas.

Saat itu, kau melihatku. Lama. Dan kubiarkan kau menempuh perjalanan jauh menyelam ke dalam dua bola mataku. Namun, aku mengerti kau gagap menyembunyikan kilatan-kilatan sukamu padaku. Sekali lagi, kupikir semua ini pun terjadi bukan karena  harum rambut ikalku yang seringkali kau sangka sewangi pandan.

Bukan.

Ini semua hanya tentang kenangan yang tak mungkin lagi diapa-apakan.

Sewindu telah berlalu. Kini mari kita biarkan semesta yang menyediakan segala dimensinya. Bila memang sudah saatnya berpisah, semesta tak akan menyediakan kebetulan untuk bertemu kembali.

=====
*Solo, 19/03/2024. Pamit.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun