Seutas kata gelisah mencari kantong jelaga yang hilang, sedang malam kian muram merambati dinding langit yang tengah gelisah.
Kembali mataku merengkuh bayang anak-anak kecil berlari menyeret sebakul masa. Tertawa. Menari sembari memanggul mimpi. Di bawah santun Ratu malam yang sibuk menyulam sinar dalam kelam.
Lalu lantun mulai berselisih, tersisih, dan semakin lirih.
Kabar tersiar di penjuru negri. Genderang berkumandang! Ada rasa menikahi kata-kata! Dan bahasa mengagumi lidah aksara;
"Biar penyair tersesat dalam timbunan jelai pikatan romansa kala," lantang Sang Penyair berderma kata.
Biar mengendap, merasuk ke dalam hati. Hening. Lalu melompat. Meledak. Melesat menjadi puisi yang bersanding dengan bintang-bintang. Sebanding dengan bulan.
Bahkan ketika hati ingin meneriakan, puisi. Sungguh heran kata-kata seolah menyembunyikan diri di bilik rasa. Akankah melambungkan nada yang mengiringi perjalanan waktu, entah ku tak tahu
Aksara tanpa irama. Malu-malu di balik partitur lagu. Bungkam ketika jemari enggan menyentuhnya. Siapakah yang akan menengok padanya ? Sedangkan angin sepoi-sepoi tak hendak mengajak. Sunyi. Sepi. Seolah tersesat di labirin kata yang tiada bertepi.
Sepi.
Hanya tinggal penyair. Sendiri. Tertinggal bersama segenggam puisi.