Lahir dari bebatu cadas tiada bertuan
Baginya waktu adalah titisan doa
Tiba di sebuah masa, sang penyair berbantah,
"Waktu hanyalah utusan aksara yang jumpalitan tak berhingga!"
Sebentar,....sesaat sang penyair
menyesap kopi pekat bercampur
hujan sedikit
di bawah temaram lampu malam kuyup air
Aku melihat sang penyair menganyam kata di sudut kota
Merayakan rindu menuangi hujan
Ia menderas dinginnya pagi, menutupi kopi panas
Dan penyair masih terus menganyam
Sedikit syair ia gumamkan
pada anak-anak masa depan
sebait doa pemintal harapan
meniti rindu di pelataran batin mengurai jenak
Lalu, aku melihat si penyair
terdampar di keriuhan sunyi,
gaduh dalam kesepian
menyeka luka, melafal kidung doa
Aku melihat sang penyair
terbangun dalam himpunan masa,
meracik esok; meretas empat makna
gegap, gempita, gemar, dan sebuah ge(ke)nangan
Wai penyair,
Kau mengingat, tah?
Aku, reratikan di pinggir kata
muara suatu ketika
yang kau tatah dalam tiga masa
rasa, raga, aksara