Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

[Hari Pahlawan] Ayah, Kakek dan Paman Osa

10 November 2013   14:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:21 1292 0
Oleh: Diah Dwi Arti (no. 77)

Kakek tampak sangat marah. Wajahnya memerah. Napasnya memburu. Dipukulnya meja dengan telapak tangannya yang besar. Kesabaran dan kebijaksanaan yang biasanya menghiasi wajahnya kini menghilang. Ayah menyuruhku pergi dari ruang keluarga. "Pergi main di luar. Kakek sedang menghadapi masalah", kata Ayah. Aku menurut meski bertanya-tanya dalam hati.

Minggu sebelumnya, Paman Osa, adik Ayah yang termuda, datang ke rumah. Kemudian Ayah dan Paman Osa terlibat percakapan serius. Ibu ikut bergabung dalam percakapan panjang itu. Aku yang ingin ikut dilarang Ibu untuk masuk. Aku hanya bisa menguping dari kamarku.

Hari ini percakapan seperti itu terjadi lagi. Kali ini terjadi di runah Kakek dan melibatkan Kakek, Nenek, Ayah dan Paman Osa. Ibu memilih tidak ikut dan mengajakku bermain di luar. Namun didorong rasa penasaran, aku mencuri-curi kesempatan untuk mendengar hingga akhirnya ketahuan Ayah dan disuruh keluar.

Kuberanikan diri bertanya kepada Ibu, "Ada apa sebenarnya, Bu?". Ibu menjelaskan, "Paman Osa sedang berusaha hidup mandiri sebagai orang dewasa". "Lalu kenapa Kakek marah?", tanyaku. "Karena Kakek tidak ingin memberi restu kepada Paman Osa", jawab Ibu. Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun yang penasaran.

Akhirnya, dua bulan kemudian aku baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Hari itu aku dan Ayah serta Ibu pergi dengan mobil mengantar Paman Osa ke sebuah rumah di luar kota. Selain itu turut juga Pak Hamdan sekeluarga di mobil yang lain. Di rumah itu sudah ada banyak sekali orang. Kami bersembilan disambut hangat. Lalu Paman Osa didampingi Ayah, Pak Hamdan dan adik laki-laki Pak Hamdan menemui tuan rumah di ruang tamu.

Aku baru mengerti, hari ini Paman Osa melamar calon istrinya dan langsung dilanjutkan dengan pernikahan. Sebuah pernikahan yang sederhana.

Usai akad nikah, Paman Osa dan istrinya menerima ucapan selamat dari para tamu. Bibi Hana, istri Paman Osa, sangat cantik, namun juga masih sangat muda. Sama mudanya dengan Paman Osa.

Saat tak kulihat seorang pun dari keluarga Paman Osa yang datang kecuali kami, aku pun bertanya kepada Ibu. "Kenapa hanya kita yang diundang, Bu? Mana Kakek dan Nenek juga Bibi Lina dan Bibi Sari? Mereka kakak Paman Osa, bukan?". Ibu tersenyum. "Sebenarnya Kakek tidak merestui pernikahan ini, sebab, kau lihat sendiri, pengantinnya masih sangat muda".

Memang Paman Osa baru berusia dua puluh satu tahun, demikian juga Bibi Hana. Mereka adalah teman di kampus yang sama. Saat ini bahkan keduanya belum lulus kuliah.

Ibu melanjutkan ceritanya. "Kakek merasa bahwa Paman Osa masih terlalu muda dan belum siap berumah tangga. Tapi Paman Osa bersikeras ia mampu. Oleh karena itu Paman Osa meminta bantuan Ayahmu untuk membujuk Kakek".

"Tapi Kakek tetap tidak mau?", tanyaku. "Betul", jawab Ibu. "Melihat kondisi itu, akhirnya Ayah bersedia menggantikan peran Kakek. Kakek menjadi semakin marah dan beranggapan bahwa Ayah dan Paman Osa bersekongkol. Padahal tidak. Sejak itu Kakek tidak mau berbicara dengan Ayahmu lagi".

"Ayahmu merasa bahwa keinginan Paman Osa untuk menikah di usia muda bukan perbuatan tercela. Terlebih lagi mereka menikah secara legal sesuai hukum agama dan hukum negara. Sayangnya banyak orang berpandangan bahwa menikah muda itu membuat suram masa depan", lanjut Ibu.

"Untuk menghindari pembicaraan buruk dari orang yang berprasangka buruk, Ayah mewajibkan Paman Osa untuk bekerja dan segera menyelesaikan kuliahnya", papar Ibu. "Itulah sebabnya sekarang Paman Osa bekerja membantu Ayah di bengkel?", tanyaku. "Betul. Hanya itu yang Ayah miliki, jadi hanya itu yang bisa ditawarkan Ayah kepada Paman Osa", lanjut Ibu lagi.

"Lalu bagaimana dengan Kakek? Apakah Ayah akan selamanya bermusuhan dengan Kakek?", tanyaku. Ibu meletakkan jari telunjuknya ke bibirku. "Hus...tidak boleh bicara seperti itu. Saat ini Ayah dan Kakek sedang tidak ingin saling berbicara, bukan bermusuhan. Suatu saat nanti, Kakek pasti akan menerima keadaan ini. Insya Alloh".

Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Ibu. Mungkin suatu saat nanti saat aku sudah lebih besar, aku akan mengerti. Dalam hati aku kagum kepada Ayahku yang berani memperjuangkannya dengan segala resikonya.
Untuk membaca karya
peserta lain silahkan
menuju akun Fiksiana
Community dengan judul :
Inilah Hasil Karya Peserta
Event Fiksi Hari Pahlawan

Silahkan bergabung di FB
Fiksiana Community

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun