Tingginya harga beras di Indonesia menjadi sebuah ironi karena sebagai negeri agraris yang "gemah ripah loh jinawi" (negeri subur dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah) mestinya beras sebagai sumber makanan pokok bisa diperoleh seluruh sudut negeri ini oleh semua kalangan masyarakat dengan harga terjangkau. Realitanya harga beras terus melambung tinggi dan lebih parah lagi beberapa kali keberadaan beras bahkan langka di negeri ini.
Proses Produksi Tinggi.
Kenaikan harga beras tidak terlepas dari kenaikan biaya produksi. Â Karena selain menutup biaya tanam sampai panen, petani juga menghitung keuntungan yang akan didapatkan. Petani mengalami dilema, satu sisi harus merogoh kocek dalam untuk mendapatkan pupuk yang mahal, membayar biaya buruh pekerja, ditambah rantai distribusi dari produsen ke konsumen cukup panjang. Petani menjual beras ke tengkulak, dari tengkulak dijual ke distributor, lalu dijual ke agen hingga sampai konsumen dengan harga lebih tinggi. Rantai distribusi yang panjang sangat merugikan petani sebagai tangan pertama produsen beras.
Di sisi lain, praktik tengkulak beras masih marak terjadi. Mereka membeli gabah dengan harga rendah sebelum panen. Para petani yang terjebak dengan praktik ini tidak bisa berbuat banyak. Mereka akan kalah dengan para tengkulak yang kerap memainkan harga.
Pada akhirnya ia hanya menerima keuntungan yg menipis, tak jarang hanya memutar modal pokok saja. Pada akhirnya para petani jauh dari kata sejahtera.
Berdasarkan Survei Terpadu Pertanian 2021, kesejahteraan petani Indonesia masih di bawah rata-rata, bahkan pendapatannya kurang dari 1 dolar AS per hari atau senilai Rp15.207 dan setahun di bawah 341 dolar AS atau Rp5 juta. (Antara.com, 20/9/24).
Karena petani selalu merugi dan jika pun tidak rugi itupun hanya untung yang tipis sehingga tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup yang terus mengalami kenaikan biaya.
Untuk bertahan hidup para petani banyak yang memilih menyewakan atau menjual tanah sawahnya karena menganggap bertani bukan lagi profesi yang menguntungkan.
Jika pada 2018 luas lahan panen padi di Indonesia masih 11,38 juta hektare, pada 2023 hanya tersisa 10,21 juta hektare, turun sebanyak 10,28% dalam enam tahun terakhir. (MuslimahNewsDaily, 25/9/24)
Demi tetap bisa bertahan hidup petani hanya punya satu pilihan yaitu menjual lahan sawahnya kepada pemodal atau menyewakannya daripada harus menanggung rugi akibat biaya produksi yang besar. Sementara kebanyakan para pemodal tidak memanfaatkannya untuk memproduksi pangan akan tetapi untuk pembangunan properti dan sebagainya.
Oligarki Biang Keladi
Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian sudah dikuasai oligarki dari hulu hingga hilir. Negara memberi ruang berupa regulasi yang justru menjadi jalan untuk oligarki masuk didalamnya. Alih-alih memberikan bantuan kepada petani, negara justru menununtut para petani untuk mandiri terlebih petani yang memiliki sedikit modal.
Di sisi lain, adanya ritel-ritel yang ikut menguasai bisnis beras, mereka memainkan harga dengan memanfaatkan momentum pembatasan import beras sebagai sarana mempermainkan harga dan menimbun beras hingga terjadi kelangkaan.
Ketika barang langka dipasaran dan harga beras terus naik. Maka dengan dalih menstabilkan harga dan mengatasi kelangkaan beras di pasar lokal, pemerintah menetapkan kembali membuka kran impor beras.
Dan ketika keran impor beras dibuka para oligarki tetap saja sebagai pihak yang paling diuntungkan karena memiliki peluang besar untuk menjadi ritel besar dan meraup keuntungan besar. Hal ini  makin menyengsarakan petani, karena hasil panen mereka tidak dapat diserap pasar karena kalah bersaing dengan produk impor.
Dalam penerapan sistem kapitalisme selamanya petani akan menjadi pihak yang selalu dirugikan dan negara  hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang berpihak kepada oligarki.
Islam Solusi
Negara seharusnya menyediakan lahan untuk ketahanan pangan (beras), pupuk yang terjangkau, pengadaan alat-alat pendukung untuk pertanian yang canggih, serta pengembangan bibit unggul dan meningkatkan kemampuan petani sehingga makin ahli.
Negara islam menempatkan ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai salah satu basis pertahanan negara dan basis kesejahteraan rakyatnya. Karena ketahanan pangan bagi negara Islam tidak melibatkan oligarki yang selalu menghitung untung rugi. Negara wajib menganggarkan urusan ketahanan pangan ini dari hulu sampai hilir agar sampai ke masyarakat dan dipastikan setiap individu memperolehnya dengan harga yang sangat terjangkau.
Negara juga tidak mematok harga beras dan aneka produk pertanian lainnya yang secara hukum syarak itu haram dilakukan. Yang dilakukan adalah memfasilitasi sarana dan prasarana agar minim biaya produksi. Sehingga produk-produk pertanian dalam negeri memiliki daya saing baik dari sisi kualitas dan harga yang murah, bahkan negara bisa melakukan ekspor beras ke luar negeri.
Negara akan melakukan seluruh upaya untuk mewujudkannya sesuai dengan sistem ekonomi islam, dan dengan dukungan sistem lain dalam bingkai penerapan islam kaffah.
Wallahu a'lam bishawab