Mohon tunggu...
KOMENTAR
Foodie Pilihan

Perempuan dan Diet Seumur Hidup

5 Februari 2014   11:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:08 320 0
OCD adalah diet yang sedang tren belakangan ini. Di loker gym saya sering mendengar seseorang sedang memberi tahu sistem diet ini ke temannya. Ita yang berhasil langsing dengan olah raga dan diet juga sempat membisiki tip diet ini di loker. Dia senang dengan diet ini karena tidak ada pantangan makan apa pun.

Tapi aturan tidak sarapan dan menahan lapar selama berjam-jam tidak menarik hati saya. Seberapa lama sih kita bisa tahan tidak sarapan dan tidak makan donat cokelat di saat orang lain bisa minum kopi sambil makan donat sebelum kerja di pagi hari? Kadang sehabis nge-gym, saya cuek saja beli jajan pasar di Mon Ami yang pagi-pagi buta sudah buka di FX. Toh, empat butir kelepon atau satu potong ketan plus parutan kelapa dan kedelai bubuk tidak akan bikin saya jadi gendut. Menurut saya, makan apa saja oke. Tentu asal porsi diperhatikan.

Sebenarnya selain OCD, ada jutaan diet di luar sana. Pagi ini saya membaca di situs berita terkenal diet bernama Marie Antoinette. Diet Ratu Perancis ini membolehkan pelakunya makan roti dan cake. Tapi selain itu ada aturan-aturan lain yang mesti dipatuhi.

Ada lagi diet manusia gua. Di sini pelaku diet hanya makan makanan yang disantap manusia jaman pra sejarah. Jadi makanan instan, terlalu manis dan asin tidak masuk hitungan. Sebagai manusia gua kita juga mesti aktif. Seaktif manusia gua yang dulu harus berburu untuk makan. Tentunya plus lari-lari dikejar dinosaurus.

Soal diet manusia gua ini saya jadi ingat Prof. Walujo, profesor ahli gizi dari UI. Dia pernah berujar,"Ibarat mobil, semakin tua, manusia itu menjadi mobil dengan cc yang makin kecil. Tetapi kita mengisi bahan bakar untuk tubuh seolah mengisi untuk mobil balap yang begitu boros. Dibandingkan manusia jaman purba, tubuh kita tidak mengalami evolusi yang luar biasa. Seharusnya kita tak perlu makan sebegitu banyak karena aktivitas fisik yang sudah jauh berkurang di jaman moderen," begitu katanya.

Dr. Fiastuti Witjaksono, SpGK, MS mengatakan jenis-jenis diet itu sebagai fad diet. Diet itu memang menurunkan berat badan. Itu terjadi karena saat "berdiet" itu memperhatikan asupan makanan. Misalnya, saat diet menurut golongan darah, kita jadi memperhatikan apa saja yang boleh dan tidak boleh dimakan. Tentu saja berat badan jadi turun. Ketika tidak memperhatikan, berat badan naik lagi.

Ketika berat badan naik, berpindahlah hati ke jenis diet yang lain. Begitulah siklus yang terjadi seumur hidup seorang wanita. Tak percaya?

Perempuan paling muda yang pernah saya temui sedang berdiet adalah seorang remaja umur 14 tahun. "Tadinya saya gemuk sekali. Saya berhasil menurunkan berat badan setelah memperhatikan pola makan. Hanya makan sayur rebusan dan tahu rebus," kata anak SMP itu.

Saya bertemu dengan dia karena ia ikut tantenya ke sebuah konferensi pers peluncuran sebuah spa. Rasanya ada yang tak beres, kok masih kecil sudah ikut-ikutan diet? Bukankah seorang remaja itu sedang dalam masa pertumbuhan. Pembatasan asupan makanan yang ekstrim pasti akan mengganggu tumbuh kembangnya.

Tampaknya sepanjang hayatnya perempuan menakdirkan dirinya sendiri untuk terus menerus berdiet. Remaja berdiet, apalagi perempuan dewasa. Ketika lansia, diet juga belum berakhir. Buktinya, saat wawancara seorang pengusaha jamu terkenal yang masih awet ayu di usia 80-an tahun ternyata masih menjalankan diet. Lalu seorang wanita pengusaha media dan travel berusia 73 tahun masih minum suplemen pengendali berat badan.

Ketika kembali ke diri sendiri, jujur saya pertama kali berdiet sewaktu SMA. Badan saya memang ada bakat untuk gampang gemuk. Ketika remaja, ada dua orang cowok yang ngatain saya gemuk. Gara-gara itu saya jadi tergerak untuk diet.

Tentu saja dengan pengetahuan yang minim, diet bagi saya adalah mengurangi makan. Berat badan memang sempat turun. Ujungnya, saya kena tifus. Sejak itu saya kapok. Sebenarnya saya juga tidak gemuk-gemuk amat. Apalagi dibandingkan dengan remaja jaman sekarang.

Berat badan memang naik turun, tetapi saya memilih mengendalikannya dengan olah raga. Sewaktu KKN teman sekamar mengajak saya rajin lari pagi di jalan desa yang naik turun gunung. Pemandangannya indah sekali karena lokasi KKN ada di lereng gunung Merbabu, Jawa Tengah. Lalu ketika kembali  menyelesaikan kuliah di Jogja, dia mengajak saya rutin senam aerobik. Kebiasaan senam ini diteruskan ketika hijrah ke Jakarta.

Setahun terakhir ini saya ikut kena demam olah raga lari. Terjauh saya pernah ikut lomba 16,8 km. Mudah-mudahan tahun ini saya sukses ikut kategori half marathon (21 km). Berat memang tetapi hormon endorfin yang dihasilkan sesudah lari bikin senang dan ketagihan.

Lari juga membuat berat badan semakin terkendali. Tidak perlu diet ketat lagi untuk mengontrol berat badan. Saya bisa makan apa saja yang diinginkan. Malah dokter menganjurkan untuk mengonsumsi protein daging sapi untuk mendukung olah raga lari ini.

Sekarang sering teman lama memuji,"Mbak, sekarang kok kurusan? Pakai diet apa?" Saya tersenyum bangga. "Saya nggak diet. Saya hanya lari."

Mendengar jawaban saya, tak ada lagi pertanyaan. Buat mereka, mungkin turun berat badan dengan olah raga terasa sangat menakutkan. Mungkin lebih menyenangkan mengikuti aturan macam-macam diet yang rumit dan bikin repot itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun