Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Katanya Backpacking, Kok Bawa Koper?

12 Agustus 2014   01:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:47 661 1
Ketika teman dari teman menawarkan perjalanan ke Kamboja, Thailand dan Malaysia, saya langsung menyambernya. Saya muncul di Soekarno-Hatta menggeret koper sementara teman-teman yang baru dikenal menggendong carrier. Di tiga negara saya kerepotan menggeret koper di jalanan tak rata mengejar para penggendong ransel. Sampai sekarang saya masih dicela gara-gara kejadian itu. Dalam perjalanan ini saya pertama kali berkenalan dengan AirAsia dan keterusan nyemplung di dunia backpacking.

Perjalanan tiga negara ASEAN tahun 2006 dimulai dengan penerbangan dari Jakarta menuju Pontianak. Dari ibu kota Kalimantan Barat ini kami naik bus malam menuju Kuching, Malaysia. Ketika itu perjalanan luar negeri masih diharuskan membayar fiskal, satu juta rupiah untuk perjalanan udara dan 500 ribu untuk perjalanan laut. Kami memilih lintas perbatasan darat karena tidak perlu membayar fiskal.

Dengan gaya perjalanan irit seperti itu, kami hanya butuh total dana sekitar lima juta per orang untuk perjalanan selama dua minggu. Tiket pesawat empat penerbangan pun hanya 1,5 juta rupiah. Tiga dari empat penerbangan memakai jasa AirAsia.

Pengatur perjalanan itu adalah teman dari teman bernama Pingkan. Semua tiket dan hotel dipesan oleh Pingkan seorang. Saya belum terlalu kenal dengan gaya jalan-jalannya. Tetapi ketika itu saya adalah seorang perempuan tukang jalan-jalan dengan koper, ke mana-mana naik taksi dan menginap di hotel. Dengan percaya diri saya memilih pergi jalan-jalan irit bersama Pingkan dan lima perempuan lainnya ke tiga negara ASEAN dengan koper.

Tentu ada “harga” yang harus dibayar dari perjalanan irit seperti itu. Saya tak keberatan membayar “harga” itu karena ternyata saya bisa melihat dan mengalami banyak hal. Seperti ketika di perbatasan Kalimantan itu saya menyaksikan sendiri kesangaran para calo tenaga kerja dalam mencari mangsa. Kami yang berkulit sawo matang ini sempat dikira mangsa empuk mereka.

Sesampai di Kuching kami jalan-jalan keliling kota menyewa mobil van. Sore harinya kami mandi di pemandian umum lalu menuju bandara Kuching yang masih baru.

Di situlah kami pertama kali merasakan terbang naik AirAsia. Pesawatnya masih gres. Pendingin ruangannya kelihatan mantap, tak hanya menyemburkan udara sejuk tapi juga berasap embun. Sangat dingin! Memakai gaya hiperbola, saya menggambarkan suasana di dalam pesawat mirip film James Bond saat di Islandia. Kondisinya boleh dibilang sangat kontras dengan penerbangan dari Jakarta ke Pontianak yang pendingin ruangannya mati total.

Koper Satu Lemari

Turis-turis dari Tiongkok kelihatan menikmati perjalanan meskipun hanya memakai baju tanpa lengan dan celana pendek. Sementara saya yang  memakai celana panjang dan kaos lengan panjang tampak sangat kedinginan.

Penerbangan Kuching ke Kuala Lumpur ketika itu tertunda cukup lama. Alhasil kami baru sampai di LCCT pukul 12 malam. Bagasi baru keluar sekitar pukul 1 dini hari. Kami baru sampai di Kuala Lumpur pukul dua dini hari. Saat tiba di hostel, kamar kami yang berisi delapan tempat tidur sudah diisi pelancong lain.

Kami sempat bersitegang dengan penjaga hostel. Semalam sudah saya tidak tidur dengan benar. Masak hari itu saya lagi-lagi tidak tidur dengan benar? Setelah bersitegang, akhirnya pengurus hostel membolehkan kami tidur sekamar dengan pelancong kulit putih.

Ketika pintu kamar terkuak, seorang lelaki kulit putih tampak tidur hanya mengenakan celana dalam di tempat tidur tingkat! Karena sudah ngantuk berat, saya tidur berdua bersama seorang teman di tempat tidur bawah mas bule itu. Berlawanan dengan mas bule, saya tidur mengenakan pakaian lengkap. Kami cukup lama cekikikan sebelum jatuh tertidur.

Perjalanan selanjutnya adalah penerbangan AirAsia dari Kuala Lumpur menuju Pnom Penh pukul satu siang. Dari penginapan kami berjalan kaki menuju stasiun monorel. Sungguh salah memilih koper untuk jalan-jalan irit. Pasalnya, pedestrian tak rata. Berkali-kali koper terguling dan jatuh sementara para pemanggul ransel sudah berjalan jauh di depan. Belum lagi ketika sampai stasiun saya meniti anak tangga satu per satu sambil menaikkan koper dengan susah payah. Berat koper saya sekitar 11 kg, hampir seberat tabung gas. Ketika sampai, saya baru melihat ternyata ada eskalator di sisi lain tangga. Capek deh…..

Lagi-lagi koper menyiksa saya ketika kami tiba di perbatasan Kamboja dan Thailand. Perbatasan darat ini sama mengerikannya dengan di Kalimantan. Jalanan tentu tak rata juga sehingga koper lagi-lagi terguling dan jatuh ketika diseret. Golongan ransel meledek saya habis-habisan.

Tetapi ketika saya antre di imigrasi, sepasang turis bule memasuki antrean menyeret koper dengan ukuran tiga kali milik saya. Koper milik saya jadi tampak mungil dan imut di dekatnya. Sepertinya sepasang bule itu membawa seluruh lemarinya keliling Asia Tenggara.

Dari Bangkok kami kembali ke Malaysia naik kereta api dan singgah di Penang. Di pulau itu kami menikmati kota tua dan kelezatan kulinernya. Setelah puas berpesiar di Penang kami kembali ke Kuala Lumpur naik kereta api. Liburan dua hari di ibu kota Malaysia, kami kembali ke Jakarta naik AirAsia.

Beberapa hari kembali tidur di ranjang sendiri, saya merasa bingung dan disorientasi ketika bangun tidur. Belum lagi badan terasa pegal linu berhari-hari menggeret koper yang makin lama makin berat. Bukannya kapok, tahun demi tahun kami mengulang petualangan jalan-jalan irit bersama teman-teman yang sama. Sebagian besar perjalanan itu ditempuh naik pesawat terbang AirAsia. Saya si perempuan koper pun berubah menjadi perempuan ransel yang tak takut menempuh perjalanan ke mana pun bukan dengan taksi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun