Saya bersyukur sekali hidup berdampingan dengan seorang laki-laki sederhana, suami yang mempunyai cara pikir visioner untuk masa depan, dan mau mendahulukan diskusi untuk sebuah keputusan. sehingga kita bisa saling mengerti, saling berbagi cara pandang terhadap semua detil kehidupan, di usai pernikahan yang tergolong masih muda juga.
Hal ini akan terkait dengan judul tulisan di atas, ya, tentang prioritas saya dalam mencari pendidikan meskipun sudah menikah. Terus apa hubungannya ?
"Jadi perempuan itu sudah seharusnya memperluas wawasanya walaupun kelak cuma akan jadi ibu rumah tangga saja atau tidak bekerja, karena dengan meningkatkan kualitasnya sebagai perempuan, maka bisa diartikan perempuan tersebut akan meningkatkan kualitas generasi keturunannya mendatang,"
Itulah pemahaman yang selalu ditanamkan orang tua saya semenjak saya kecil, yup, suatu pemahaman yang bertujuan mendidik anaknya untuk bisa lebih mandiri lagi, dan berani berkarya, yah karena memang background orang tua saya sendiri yang seorang wiraswasta, sehingga beliau selalu mendorong putra-putri nya untuk lebih mandiri
selain itu saya juga pernah membaca quote dari Dian Satro, apakah itu memang quote Dian Sastro beneran ? entahlah saya nggak ngerti juga kenapa sekarang benyak sekali orang dengan mudah menempelkan quotation dengan mencatut nama seleb yang entah didapat saat ia pidato di infotainment atau atau ditempat lain. Anyway, saya cuma melihat quote tersebut sangatlah bagus dan banyak sekali nilai yang dapat diambil, saat itu di Path kurang lebih bunyinya begini :
" Baik menjadi ibu rumah tangga atau wanita karier, seorang wanita harus berpendidikan, karena ibu yang pintar akan melahirkan keturunan yang cerdas ".
Saya supeeerrr like sekali dengan quote ini, cocok sekali dengan sudut pandang saya yang semenjak kecil memang sudah diberi pemahaman seperti itu juga oleh orang tua saya, sekaligus menggambarkan bagaimana saya respect dengan Ibu yang selalu menemani saya belajar, sejak saya masih kecil.
saya sering kali berpikir, bahwa sebagai seorang calon istri sudah seharusnya seorang perempuan itu dituntut untuk berpikir cerdas menjawab pertanyaan... how should I earn for a living ? apalagi jika suatu saat usaha atau pekerjaan suami kita ada problem dan mengganggu pemasukan, nah disitu kita bisa saling melengkapi dengan suami.
saya mulai intens memikirkan itu ketika mulai dewasa, melalui kontemplasi yang pelik, hingga saya memutuskan untuk menikah di 2013 kemarin. selanjutnya skenario akan dijalankan dengan suami melanjutkan usahanya seperti sebelumnya dan saya melanjutkan sekolah saya untuk masa depan.
Lalu timbul banyak sekali pertanyaan dari lingkungan sekitar saya salah satunya seperi ini,
" Kamu masih mau sekolah lagi trus suamimu ditinggal gitu ?"
" Iya untuk beberapa waktu kedepan memang kita akan menjalani LDR untuk sementara, suami saya cukup memahami tujuan saya dan saya berangkat pun atas izin dari dia kan tentunya, jadi tinggal saya bagaimana secepatnya menyelesaikan sekolah ini dan segera kembali berkumpul dengan keluarga kecil saya "
Mungkin beberapa dari orang akan menganggap saya mengambil keputusan yang egois atau apalah, Tetapi ketika keputusan itu mempunyai tujuan yang jelas kita bisa ngomong kan bahwa hidup itu adalah pilihan.
Bukankah sejak lahir pun kita adalah orang-orang yang terpilih untuk bisa hidup, iya kan ?
Maka seperti pilihan ganda di persoalan kehidupan, pilihlah jawaban yang paling BENAR menurut Anda.
Value-nya ya tentu saja akan berbeda bagi setiap orang, saya juga sering heran saat ada kerabat yang mendebat mengapa saya tidak segera saja melamar pekerjaan di perusahaan, membantu usaha orang tua atau mungkin melamar kerja di pemerintahan, padahal saya juga sudah 7 tahun menghabiskan waktu untuk bersekolah, dan sekarang masih mau sekolah lagi, Mengapa tidak tinggal dengan nyaman di rumah sendiri saja dengan keluarga, dibanding ngontrak di tempat orang, menunda untuk memiliki momongan, dan lain sebagainya.
Bukan salah mereka yang bertanya sih sebenarnya, namun sering kali lingkungan kita mendukung framework yang terlalu sederhana dan paten hukumnya.
Misalnya, wanita dengan usia 26-28 tahun itu sudah kena deadline untuk menikah, Laki-Laki yang mau melamar harus mapan, terus habis nikah kalau bisa langsung punya anak karena ortu juga ingin segera mendapat cucu.
saya minta maaf kalau Anda mengernyitkan dahi membacanya, jika sekiranya tidak sepaham dengan saya, boleh kok tidak meneruskan membaca... hehe....
Everything has to be done with a reason, setidaknya itu menurut saya. sah saja saja kan jika memutuskan menikah di usia 29 - 30 tahun.
Sebelum saya memutuskan menikah, sudah seharusnya saya dan suami mengkalkulasi segala kebaikan dan resiko yang ada, tentang umur kita, penghasilan suami berapa dan saya harus bisa hitung biaya yang layak untuk hidup kami sebulan, karena saya pribadi tidak mau ketika kita sudah menikah kita masih bergantung pada orang tua, meskipun saat itu ortu masih mampu itu bukan menjadi alasan bagi kita untuk belajar hidup mandiri.
Kita juga membicarakan mekipun kita harus LDR karena faktor pendidikan, kita tidak harus menunda momongan juga, toh saya pikir saya masih sanggup bila harus sekolah dengan posisi mengandung, saya juga menghitung berapa waktu tercepat yang harus saya perkirakan untuk menyelesaikan pendidikan ini, dan perhitungan saya apabila saya termasuk kategori cepat untuk dapat momongan, sebelum saya melahirkan saya pikir saya sudah menyelesaikan sekolah saya, jadi untuk permasalahan ini tidak perlu juga menundanya.
sedangkan untuk masa depan seperti mau punya anak berapa dan bagaimana anak-anak kita harus hidup dengan baik serta sehat bersama kondisi keluarga kami nantinya, Those were a complicated math of married-life yang harus kami pecahkan bersama. Intinya, kami akan berusaha menjalani pilihan-pilihan hidup ini dengan alasan yang paling bijak dan rasional.
Jadi menurut saya bukan masalah umur berapa anda menikah, tapi seberapa siapkah anda memulai suatu pernikahan itu yang terpenting menurut saya.
Saya mungkin juga sudah berpikir ratusan kali untuk mencerna makna "Selamat mengarungi bahtera rumah tangga!".
Bagi saya pribadi, ilustrasinya kami sedang melakukan perjalanan hidup, Kami akan berlayar sambil merakit kapalnya, yaitu sebuah Kapal yang kokoh dan kuat, yang akan membuat layarnya tetap terkembang saat ombak datang. Maka, bon voyage adalah selamat menikmati keindahan laut beserta segala hiruk pikuknya ya ada di dalam kapal itu sendiri.
Walaupun demikian sebuah kemandirian, pendidikan yang tinggi, dan wawasan yang luas tetaplah dibutuhkan oleh perempuan. Andai seorang perempuan setelah menikah memang tidak bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga, dengan pendidikan yang tinggi dan wawasan yang luas setidak-tidaknya sang perempuan tersebut lebih bisa mengatur keuangan keluarga agar lebih baik lagi, bukankah itu akan meringankan tugas suami juga, dimana dengan wawasan yang luas sang istri bisa menjadi partner yang baik untuk berbagi pendapat oleh suami, dan jangan lupa 'perempuan itu adalah guru pertama untuk anak-anaknya', jadi dengan pendidikan yang tinggi serta wawasan yang luas juga lah seorang perempuan akan lebih bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya.
Itulah yang saya pahami dari semua proses perjuangan ini, bukankah dengan pendidikan kita juga bisa membantu sesama juga ? membantu bangsa ini juga dengan kritik yang membangun untuk sebuah kebaikan bersama, terlepas entah itu digunakan atau tidak, toh setidaknya kita juga sudah berusaha dan lebih berguna bagi orang lain.
Dan tentu saja yang terpenting adalah untuk kebaikan keluarga kita sendiri, Yups, sudah seharusnya perempuan itu bisa tampil lebih kedepan... karena 'Di balik lelaki yang sukses, selalu ada perempuan hebat di belakangnya'.
The choices you make in your life, will make your life.... So choose wisely !
semoga bermanfaat.
Dhita Arinanda PM
19 Maret 2014