Perlu kita ketahui diawal, Gubenur The Fed sebelumnya Bernanke melakukan stimuslus moneter ini dengan tujuan untuk menghindari deflasi, karena pada dasarnya The Fed ini tidak mengurusi masalah pertumbuhan ekonomi Amerika, tugas mereka lebih condong untuk menjaga kestabilan currency (mata uang). Dan ternyata program stimulus ini berhasil, terbukti dari inflasi US Dollar yang berada di angka 2,5-3 % di antara tahun 2009-2013, berbanding terbalik dengan keadaan dimana progam stimulus tersebut belum dilakukan yaitu 2009 awal - 0,12 %. (monexnews, 12 april 2014).
Dalam aplikasinya pelaksanaan stimulus moneter (QE) ini sebenarnya salah sasaran, karena hal ini lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal (kelas atas) yang tidak ada hubunganya dengan krisis Amerika subprime mortgage 2008, bukan kelas menengah kebawah yang sebenarnya kena dampaknya. Jadi karena kesalahan itu, uang yang seharusnya untuk diputar dalam negri akhirnya dibuang (diinvestasikan) ke luar negri termasuk Indonesia. Sehingga efek dari QE ini sebenarnya tidak begitu dirasakan di dalam negri Amerika sendiri. Sampai sekarang pun setelah 5 tahun berlalu dari progam tersebut, The Fed masih saja belum memperketat likuiditasnya, bisa terbaca dengan tujuan untuk memperpanjang Great Recession, yang bisa diartikan ekonomi dalam negri US masih belum stabil. Andai saja Amerika dulu di awal program tersebut, membiarkan perbankan hancur atai tidak membailout, mungkin malah ekonomi mereka sekarang sudah pulih.
Bank Indonesia sebenarnya sudah sadar akan terjadi hal seperti ini, itu terlihat dari gerak-gerik Bank indonesia sendiri di tahun 2011-2013 yang mulai bersiap siap, seperti menambah devisa negara (meskipun beberapa dengan cara menerbitkan bond/hutang), mulai ada pelarangan untuk membeli SBI (surat hutang) dalam jangka pendek, mengalihkan beberapa pinjaman luar negri ke pinjaman dalam negri, dan terakhir menaikan suku bunga BI.
Akan tetapi kelemahan Indonesia masih 'terlalu percaya' terhadap pasar modal, UU nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal masih sangat terbuka dan masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan. Kita bisa mencontoh China sebenarnya, meskipun sekarang sudah jamanya pasar bebas, tetapi China masih mempunyai banyak regulasi (perundang-undangan) yang membatasi agar tidak terjadi kredit yang berlebihan, itu dilakukan untuk meminimalisasikan adanya spekulasi, sehingga aliran investasi jangka pendek seperti QE tadi, masuk dalam jumlah sedikit ke China tidak seperti di Indonesia.
Spekulasi tersebutlah yang bisa saja memacu terjadinya krisis, seperti kasus krisis 98 kemarin, dimana pemerintah sudah telat dalam intervensi-nya karena bubble ekonomi sudah pecah sehingga krisis pun tidak terelakan. Tentunya kita tidak mengharapakan lagi kejadian tersebut terulang. Nah disini harapanya UU pasar modal tersebut perlu di koreksi kembali dan diperketat sehingga Investasi-invesatasi jangka pendek tersebut tidak bisa ditarik seenaknya sendiri. Kalau masih begini, semua jadi tergantung apa kata bos besar The Fed dan Amerika, kita hanya biasa membaca pergerakan mereka dan mengantisipasinya, parahnya Indonesia masih saja sering kali blunder dalam menyikapi hal tersebut. China saja yang devisanya sangat besar masih saja membatasi regulasi pasar modalnya, mengapa Indonesia yang devisanya 'tipis' malah berani.
Apakah Amerika tetap akan mempertahankan stimulus moneternya, dan apakah kebijakan Bank Indonesia sudah tepat sekarang ini dengan tingginya suku bunga rate ?
Melihat Amerika sendiri yang masih mengalamai defisit spending , menurut saya The Fed akan tetap mempertahankan stimulus moneternya untuk menjaga keep bubble going mereka, melihat kredit mereka semakin tinggi dan semakin besarnya angka ekspor mereka terutama ke China, ekonomi riil mereka juga belum berkembang dengan jelas, sepertinya bagi Amerika tidak ada jalan lain,Yups 'excess preinted money' US Dollar dalam negri harus dijaga agar tidak menumpuk, dan dibuang secepatnya agar tidak menjadi deflator bagi Amerika. Tentunya itu dilakukan karena Amerika juga tidak akan mau posisi mereka memasuki fase depresi ekonomi, Terlebih ada nuansa politik dimana dua tahun lagi di 2016 Amerika akan mengadakan pemilu, tentunya mungkin berat juga bagi Yellen (bos The Fed) untuk tidak membantu Demokrat memenangi pemilu lagi, sehingga perlu menjaga ekonomi dalam negri mereka dengan memperpanjang stimulus moneternya.
Sedangkan perbankan dalam negri juga sudah mengantisipasi kebijakan suku bunga BI yang tinggi, dengan menaikan suku bunga dana maupun pinjaman, selain itu kebijakan BI dengan mengeren KPR juga terlihat seperti usaha untuk mengerem ekspansi kredit dalam negri. Dalam kebijakan tersebut BI mampu menjaga kestabilan angka inflasi, mempertahankan nilai kurs rupaih di angka 11.500 rupiah (seputarforex, 21 April 2014), Perlu kita ketahui naiknya suku bunga rate ini akan membawa efek long run yaitu, propensity to consume masyarakat akan berkurang (C), yang akan seiring dengan menurunnya angka investasi (I), sehingga diakhir akan mengurangi permintaan (agregate demand), yang akan menjadi bumerang di masa yang akan datang.
Sudah Efektifkah kebijakan BI ini ? seharusnya Bank Indonesia lebih tenang lagi dalam menghadapi fenomena arah kebijakan moneter Amerika, agar tidak sampai terjadi salah tafsir kedepanya, sebenarnya di angka 11500 tersebut saya rasa rupiah sudah cukup aman, selama bisa memnjaga kesatbilanya, mungkin suku bunga yang harus di koreksi lagi, benar Indonesia beberapa waktu kedepan akan banyak mengalami tekanan dari luar, tetapi kita juga harus mengingat kalau kita angka pertumbuhan yang realistis untuk menarik investasi dan menjaga daya konsumsi.
Memang tidak akan ada yang berani menjamin datang atau tidak-nya suatu krisis itu, harapanya sudah tentu sebagai Otoritas terdepan dalam kebijakan moneter, Bank Indonesia mampu membuat kebijakan yang tepat sehingga akan tercipta 'keseimbangan' baru. Yang pasti harus tetap waspada dengan menjaga cadangan likuiditas yang memadai karena Indonesia sendiri sudah memasuki rezim suku bunga tinggi, Jangan sampai ini menjadi blunder, karena kata Friedman, 1968, salahnya suatu kebijakan moneter itu akan membawa dampak yang long run, yang akan memakan waktu yang sangat lama dalam hal pemulihanya. Tentunya kita tidak ingin itu terjadi kembali di Indonesia.
Dhita Arinanda PM
22 April 2014