" Flexible inflation targeting means that monetary policy aims at stabilizing both inflation around the inflation target and the real economy, whereas strict inflation targeting aims at stabilizing inflation only, without regard to the stability of the real economy, what Mervyn King (1997) has described as being an “inflation nutter”. By stabilizing the real economy I mean stabilizing resource utilization around a normal level, keeping in mind that monetary policy cannot affect the long-term level of resource utilization"
Yang intinya menyebutkan kebijakan moneter dengan tujuan menstabilkan inflasi juga harus menjaga kestabilan ekonomi riil, karena pada dasarnya kebijakan moneter itu tidak bisa mempengaruhi ekonomi untuk jangka panjang.
Diawal mari kita mengingat lagi kebijakan moneter Bank Indonesia dengan jalan menaikan suku bunga rate sebanyak empat tahap, naik 175 basis poin (bps) sejak Juni 2013 dari 5,75 % menjadi 7,5 % dalam upayanya menjaga kestabilan ekonomi Indonesia (kompas.com, 13 November 2013). Hal ini dimaksud untuk mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia, untuk target pengendalian inflasi diangka 4,5±1% pada 2014, dan untuk menjaga stabilnya nilai kurs rupiah dari faktor internal maupun eksternal.
Tetapi dalam faktanya meskipun kebijakan tersebut sudah dilakukan ternyata kurs rupiah pun cenderung melemah dari pertama kali kebijakan naiknya suku bunga diberlakukan yaitu 13 juni 2013 dengan kurs 9.887 rupiah/US Dollar dan saat ini ada di angka 11,534 rupiah/US Dollar. Perlu kita ketahui bahwa nilai rupiah turun sebesar 15 % sejak Mei 2013 (Exchange Rate Chart), dan fase tersebut tercatat terburuk di Asia bahkan lebih buruk dari menurunya mata uang rupee India. Akan tetapi banyak dari pejabat Indonesia yang mengatakan fundamentall ekonomi Indonesia masih sangat kuat dan jauh dari yang namanya krisis.
Sebenarnya ada beberapa kejanggalan dalam hal ini, menaikan suku bunga pada dasarnya adalah mengurangi angka defisit neraca perdagangan, dimana ketika itu dilakukan rupiah akan melemah dan impor pun akan berkurang karena harganya naik. Memang benar itu akan mengurangi defisit current account . akan tetapi investasi akan terhambat, sementara daya beli masyarakat akan berkurang, dan itu akan menyebabkan sektor riil akan lambat. Kenapa tidak dengan membatasi kebijakan impor barang yang konsumtif dan meningkatkan ekspor, dengan kebijakan yang lebih membutuhkan kerja keras tetapi hasil yang diperoleh adalah keseimbangan di sektor riil juga.
Memang dalam rumusnya jika suku bunga naik, maka peredaran uang akan berkurang,diikuti jumlah konsumsi berkurang sehingga supply komoditi dan uang menjadi seimbang dan inflasi menurun. semua itu hanyalah teori murni, yang mana selalu dikaitkan dengan namanya teori ceteris paribus, yang tidak akan berubah, Tetapi dalam kenyataanya manusia dewasa ini semakin cerdas, terlebih jika menyangkut masalah uang para sepekulan pasti akan segera bermain di tiap kesempatan, sementara masyarakat Indonesia mayoritas adalah kaum kurang berpendidikan yang menjual tenaga bukan wirausahawan, kalau tingginya suku bunga ini diteruskan dimana demand terhadap barang berkurang apa yang akan terjadi kalau tidak pengangguran semakin tinggi dan turunya daya beli masyarakat.
Dalam sejarahnya Indonesia selalu menggunakan senjata kenaikan suku bunga sebagai obat penghilang demam ketika Inflasi, tetapi dalam sejarahnya juga itu tidak berhasil, lihat saja seperti contoh kasus di krisis 98 yang semakin memperburuk keadaan. Rupiah ini kan secara mudahnya tidak pernah pergi meninggalkan negara ini, yang pergi kan US Dollar, jadi kenapa juga mainin suku bunga untuk menstabilkan Inflasi, toh hasilnya US Dollar juga tetap tinggi kurs-nya dan bunga kredit juga tinggi, apa tidak tambah susah rakyat kira-kira. UMKM akan terhambat karena kredit sampai dua digit bunganya, bagaimana bisa tumbuh maksimal ekonomi kalau begitu. Bukankah dengan bunga yang rendah Industri akan semakin baik kedepanya, sehingga itupun akan mendorong konsumsi masyarakat. Bayangin saja bagaimana pengusaha kecil atau UMKM tambah maju kalau isinya dari usaha mereka bayar bunga bank saja, BI rate 7,5%, ditambah biaya resiko nasabah, administrasi, operasional, keuntungan Bank dll, bisa bisa diatas 15% bunga kredit yang diperoleh nasabah.
Bukankah sudah jelas dalam hal ini. dalam hukum supply dan demand, masalahnya ada di supply bukan demand, sebenarnya permasalahan ini ada di impor migas dalam jumlah besar, jadi sangat tidak tepat jika membiarkan suku bunga tinggi untuk menstabilkan keadaan ini dengan mengurangi konsumsi, seharusnya pelonggaran likuiditas lah yang harus diberikan, dimana bisa mendorong konsumsi dan meningkatkan produksi sehingga bisa mengurangi angka impor migas tersebut. Sektor rill lah sebenarnya yang jadi pondasi dari fundamental ekonomi Indonesia sendiri.
Solusi dari permasalahan ini adalah bank Indonesia harus segera mengoreksi besarnya suku bunga tersebut, memang kita sekarang masih dalam posisi wait and see menjelang pemilu 2014 ini, selanjutnya pemerintah harus berusaha mendorong dengan kebijakan yang mampu meningkatkan daya saing produk Indonesia sehingga komoditi ekspor bisa digenjot lagi dan mampu mengurangi defisit perdagangan. Sementara di sisi lain pemerintah juga perlu memberi regulasi yang lebih intensif untuk menekan angka Impor perdagangan.
Dalam hal jelas sekali, tetap membiarkan suku bunga tinggi bukanlah solusi terbaik untuk menahan arus modal keluar (capital outflow) dan adanya depresiasi terhadap rupiah. Karena dewasa ini aliran modal yang masuk (capital inflow) ke Indonesia melalui pasar modal adalah hot money yang tidak membawa dampak positif apa-apa pada sektor riil, sedangkan Investor dalam negri akan condong untuk menabung dan ekonomi pun akan melambat.
Semua memang masih dalam prediksi, tapi toh dalam kenyataanya barang impor semakin membanjir di Indonesia, menaikan suku bunga memang bisa mendorong investor asing masuk ke Indonesia, tetapi di sisi lain apakah dengan tujuan itu Indonesia harus mengorbankan pengusaha lokal yang masih nasionalis ? semoga pemerintah lebih baik lagi dalam mengambil kebijakan kedepanya.
Dhita Arinanda PM
23 April 2014