“Dakwaan ketiga!!, Para petugas pencatat kesalahan menuliskan bahwa Saudara Terdakwa dengan sengaja membohongi Tuhan. Saudara Terdakwa berkunjung bersama para pendukung Saudara ke tempat suci beribu-ribu kilomter jauhnya dari Kota ini. Namun ternyata yang Saudara lakukan bukanlah beribadah, melainkan besubahat dengan mereka, menyusun rencana jahat untuk mencuri uang rakyat lebih banyak lagi dan mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara durjana! Bagaimana penjelasan Saudara?!””
Mendengar dakwaan ketiga itu, mata Raja Panduta mulai berkaca-kaca. Dalam hati ia ingin meluapkan amarah dengan menangis sejadinya!
“Kejam!! Sungguh kejam mereka yang telah memfitnah seperti itu!! Membohongi istri saja saya tidak berani, bagaimana mungkin saya membohongi Tuhan saya, Yang Mulia ????!!!”
“Tetapi, memang demikianlah yang tercatat dalam lembar dakwaan ini!!”
“Itu fitnah! Itu dusta!! itu bohong besar, Yang Mulia!!
“Bagaimana Saudara Terdakwa bisa mengatakan seperti itu ?! Apakah Saudara memiliki bukti-bukti untuk mendukung bantahan dan pembelaan tersebut?!””
“Tuhan maha tau !! Yang Mulia! Saya menyerahkan kebenaran ini kepada Majelis Mahkamah, Yang Mulia-lah pemutusnya!!”
Kali ini, Raja Panduta tidak lagi mengeluarkan segepok alat bukti seperti sebelumnya. Ia hanya meminta Majelis Mahkamah percaya sesuai keyakinan mendalam tentang kebenaran Tuhan!
Belum berhenti benar gerakan bibir Raja Panduta mengatakan kalimat terakhirnya, tiba-tiba badannya bergetar hebat, kejang-kejang, tangannya bergerak gerak sendiri persis seperti orang kesurupan, kakinya mnendang-nendang, telinganya naik turun, bola matanya melotot tak terkendali, lidahnya menjulur-julur, demikian juga sepasang bibirnya bergerak sendiri seperti ingin melafazkan sesuatu.
Raja Panduta mencoba mengendalikan gerakan anggota tubuhnya itu. Tetapi semakin keras ia berusaha menghentikannya, semakin keras pula berbagai angota tubuh itu bergerak. Semakin kuat ia menghentikan gerakan tangannya, semakin kencang pula tangannya meronta. Semakin kuat ia mengatupkan mulutnya, semakin kuat pula bibir itu bergerak melawannya, demikian pula matanya sudah tidak bisa lagi dipejamkannya, bahkan lidahnya semakin menjulur-julur panjang bagaikan seekor anjing.
Melihat pemandangan aneh seperti itu, petugas Penjaga Mahkamah diam saja, dan tidak satupun diantara pengunjung sidang yang beranjak dari kursi utuk membantunya. Mereka justeru tampak tersenyum sinis, dan senyum itu diarahkan kepada Raja Panduta.
Pelan-pelan getaran tubuh Raja Panduta mulai membentuk irama yang teratur. Tetapi, kini dari dalam tenggorokannya ada sesuatu yang berdesak-desak ingin keluar! Suara! Ya suara! Di dalam tenggorokan Raja Panduta, pita suaranya bergetar hebat, resonansi itu kemudian membentuk suara, dan anehnya, semua diluar kendali Raja Panduta.
Awalnya Raja Panduta tampak meracau, tetapi lama kelamaan mulai jelas. Namun Raja Panduta sadar dirinya tidak sedang kesurupan, tidak juga sedang bermimpi.
“Yang Mulia!! Ijinkan kami memberi kesaksian!!” Tiba-tiba dari mulut Raja Panduta keluar suara nyaring dan bergema. Majelis Mahkamah tampak sedikikit heran, tetapi tetap menahan rasa penasarannya.
“Bukankah tadi Saudara Terdakwa telah memberikan bantahan dan pembelaan?” Ketua Majelis Mahkamah berusaha memastikan.
“Kami tidak ingin melakukan bantahan ataupun pembelaan Yang Mulia! Kami ingin memberikan kesaksian!!”
Bersamaan dengan itu beberapa anggota tubuh Raja Panduta kembali bergetar dan membentuk gerakan seirama dengan mimik mulutnya.
“Baiklah, silakan, kesaksian apa yang ingin kalian berikan kepada kami?!”
“Yang Mulia, benar sekali!! mulut ini yang mengatakan sendiri kepada Istrinya bahwa ia akan pergi di Kota seberang untuk tugas pekerjaan. Tetapi lidah ini, mata ini dan telinga ini semuanya menyaksikan kebohongannya. Raja Panduta ini memang tidak pernah menghadiri rapat itu! Tangan ini sebagai pelakunya! Di Hotel mewah itu, tangannya inilah yang membukakan pintu kamar hotel, menggandeng tangan mulus Zubaidah, membelai rambutnya, bibirnya, membuka satu persatu kancing bajunya, meremas payudaranya, dan………”
“cukup.. cukup.. jangan teruskan, saya sudah tau apa yang terjadi selanjutnya…!” Ketua Majelis Mahkamah tidak ingin kesaksian disampaikan sangat vulgar sehingga membuat pengunjung sidang merasa kurang nyaman. Merasa ada satu yang tertinggal, Ketua Majelis Mahkamah melanjutkan pertanyaan untuk memastikannya.
“Siapa Zubaidah itu? Dan bagaimana nasibnya sekarang??”
“Zubaidah, dia gadis desa yang cantik, seksi, montok dan berkulit bersih! Sudah setahun ini menjadi pembantu di rumah penguasa ini.” Tangan Raja Panduta menunjuk-nunjuk dadanya sendiri.
BERSAMBUNG....