Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Tempat Cukur Kakek... (3)

23 Januari 2011   07:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:16 137 1



Waktu saya kecil, kakek selalu membawa saya ke mana-mana. Pada setiap orang yang ditemuinya, kakek selalu menceritakan tentang kebanggaannya pada saya. Saya jadi begitu terkenal dengan sebutan bocah-yang-bisa-bahasa-inggris-dan-membaca-sebelum-masuk-TK. Saya masih ingat bagaimana orang-orang itu selalu menyuruh saya mempraktikkan kemampuan saya itu. Waktu itu saya belum tahu, kalau yang saya rasakan saat itu adalah perasaan jumawa. Dada saya membusung kalau orang-orang mengatakan saya hebat. Senyum saya lebar kalau kakek menepuknepuk pundak saya dalam rangka memuji. Saya suka sekali menjadi cucu kebanggaan kakek. Dan itu pulalah yang menjadi salah satu kerinduan saya saat ini.

Kemudian tumbuh dalam diri saya suatu rasa percaya diri, yang kadang-kadang menjadi agak tersesat menjadi arogansi. Saya jadi sering membandel. Kalau disuruh-suruh ibu, saya selalu menolak dengan alasan belajar. Kalau dipanggil bapak, saya selalu mencari alasan untuk tidak segera datang. Dasar bocah angkuh, waktu kecil saya sudah merasa seolah-olah menjadi orang penting. Kadang kalau saya sedang rewel, saya mau segala permintaan saya dituruti. Sampai akhirnya saya minta untuk dimasukkan ke sekolah taman kanak-kanak. Orang tua saya tidak lantas setuju dengan alasan belum cukup umur. Saya berontak beberapa kali karena saya merasa mampu. Beberapa hari saya mencoba mengasingkan diri dari keluarga, termasuk juga dengan kakek. Setelah mandi pagi, saya biasanya langsung berangkat menuju sekolah untuk melihat anak-anak lain berdatangan. Saya iri, anak-anak itu dapat dengan bebas bermain di perosotan, ayunan, dan banyak permainan lain. Tapi yang membuat saya paling nelangsa, saya tak tahu mengapa mereka di sana terlihat begitu gembira, sementara saya tidak.

Setelah beberapa hari tak surut keinginan saya, ibu saya mulai geram juga akhirnya. Ibu menarik tangan saya dan membawa paksa saya ke rumah. Melihat saya menangis meraung-raung, kakek saya memarahi ibu saya dan menyuruhnya mendaftarkan saya sekolah. Saat itu saya pikir kata-kata kakek sungguh ajaib, mampu merubah keputusan ibu. Jadi saya bercita-cita ingin jadi seperti kakek, agar ibu mau menuruti apa kata saya.. Kalau dipikir-pikir, pikiran anak kecil memang naif sekali. Bahkan dulu saya sempat berkhayal ingin jadi penjual es krim, karena bisa menyantap es krim sepuasnya kalau dagangannya tidak laku.

Begitu masuk sekolah, ternyata keangkuhan saya makin menjadi-jadi. Saya merasa sudah menjadi orang terpandai di dunia. Apalagi ibu guru juga memuji saya. Rupanya kakek melihat aura jahat itu di dalam diri saya. Suatu malam, dalam ritual mendongeng sebelum tidur seperti biasanya, kakek menggambar seekor kancil di buku gambar saya. Gambarnya bagus sekali, semacam sketsa dengan garis yang artistik. Saya pasti ingin jadi pelukis kalau besar nanti, begitu pikir saya dulu. Kemudian kakek menceritakan tentang kisah Kancil Mencuri Timun. Dalam cerita itu, Si Kancil digambarkan sangat besar kepala. Sampai-sampai mengira ialah hewan paling hebat di antara lainnya. Saya mengangguk-angguk ketika kakek mengatakan sifat seperti itu tidak baik. Tapi kakek tidak menjawab ketika saya bertanya mengapa Kancil tidak boleh sombong? Bukankah ia memang hewan yang banyak akal? Itukan sama saja dengan percaya diri. Tapi lepas daripada itu, saya sudah mendapat intinya. Ya, saya akan menjadi anak sombong yang baik hati kepada Pak Tani.

Kini, saya ingin menjadi diri kanak-kanak saya dulu. Yang sombong. Yang percaya ia bisa melakukan apapun. Yang berdiri tegak membusungkan dada dan mengatakan bahwa saya ada untuk tujuan-tujuan yang tinggi. Saya ingin mengembalikan kecongkakan saya yang naif itu. Karena saat ini, rasa itu sudah hilang sama sekali, terganti oleh perasaan rendah diri yang saya tak mengerti sebabnya. Kadang, saya memikirkan betapa saya tidak melakukan suatu apapun yang cukup membanggakan. Saya bahkan tidak merasa memiliki apa-apa untuk dipamerkan. Andai kakek saya tidak menceritakan dongeng itu dan menumbuhsuburkan keangkuhan itu, tentu segalanya menjadi berbeda. Setidaknya sampai saya cukup percaya, saya memang ditakdirkan untuk menjalani hidup yang luar biasa. Karena Kek, cucumu ini tidak bisa menjalani titik terendah dalam hidupnya tanpa dibekali sifat Si Kancil itu.

Kalau kakek saya masih ada, saya penasaran, kisah apa yang akan diceritakannya untuk mengajari saya bagaimana caranya menatap ke depan lagi. Kalau kakek saya masih ada, saya rela tak bertumbuh dewasa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun