Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bahasa

Benarkah Pelesetan Bahasa Menunjukan Kekreatifan dalam Berbahasa?

17 Juni 2013   11:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:54 357 0
Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasa pokok dalam studi sosiolinguistik. Sebagai sebuah langue sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa berada dalam masyarakat tutur tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen maka kumpulan bahasa yang konkret, yang disebut parole menjadi tidak seragam. Bahasa itu menjadi beragam dan bervariasi. Terjadinya keragaman bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang heterogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang dilakukan sangat beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu. Keragaman ini akan semakin banyak jika penutur tersebut berada di wilayah yang luas serta penutur yang banyak.

Ketika memahami variasi maka berbicara dengan fungsinya. Variasi bahasa sebagai alat interaksi dalam masyarakat maka akan dapat ditarik sebuah pandangan. Penulis bepikir jika sebagai alat untuk interaksi maka variasi juga bisa dikaitkan dengan ekspresi. Ketika penutur menggunakan bahasa sebagai alat untuk  mengekspresikan diri maka penutur tidak perlu mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya atau khalayak sasarannya. Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu secara tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya memaklumkan keadaan kita. Bahkan unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain agar menarik perhatian orang lain terhadap kita keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan.

Analogi untuk Pelesetan Bahasa

Berbicara tentang variasi atau ragam bahasa kiranya tidak akan ada habisnya. Selama zaman dan waktu masih terus berjalan senantiasa variasi dan ragam bahasa akan ikut mengiringi. Misalnya saja dari perubahan status sosial-ekonomi seseorang dapat melahirkan ragam bahasa baru. Maka bahasa pun ikut berubah sesuai status sosial-ekonomi itu. Penulis menyebut variasi atau ragam sebagai suatu kekhasan bahasa.

Sebelum terlalu jauh mari kita lihat fenomena para orang tua yang berbicara dengan anak-anaknya yang masih usia dini. Perbincangan tersebut tidak kurang dari 90 % dilakukan dengan model-model permainan bahasa. Caranya, misalnya dengan gaya dan prilaku, warna suara, tinggi-rendah nada. Bahkan fenomena tersebut bisa berlaku kepada manusia mulai dari manusia tersebut masih berusia dini sampai masa tua. Itulah hakikat manusia sebagai makhluk bermain.

Ada juga fenomena di berbagai tembok bangunan di tengah kota, di truk atau bis antar kota, di warung-warung, di gerbak jualan banyak ditemukan berupa tulisan yang berbau pelesetan dan terkesan semau-maunya. Misalnya saja di sebuah angkot bertuliskan 'so fear sin think' (sopir sinting), lalu UUD (Ujung-ujungnya Duit), 'Matamu bi4a4akan' (matamu biyayakan). Lalu ada lagi dalam konteks perniagaan seperti Ayam Goreng Kontuku, Takhasimura, Rumah Makan Padang yang dilabeli 'Padang Arafah'. Dan lain-lainnya. Muncul juga penggunaan kata yang baru seperti 'galau', 'rempong' dan lainnya.

Keadaan tulisan tersebut tidak selalu memiliki makna penuh dan kadangkala justru hanya merupakan permainan bahasa belaka. Bahkan di negara-negara yang sudah modern sekalipun, kebiasaan-kebiasaan anak muda tidak dapat ditidak dihapuskan atau ditiadakan. Selain menandai keinginan-keinginan eksistensi di tengah-tnengah kelompok yang mewadahinya, tulisan-tulisan itu sarat dengan nuansa kejenakaan. Pembelajaran bahasa juga ternyata diyakina dapat membuahkan hasil yang optimal jika di dalamnya divariasi dengan segala perantinya. Alih-alih mengajarkan komponen-komponen struktur dan ikon-ikon kebahasaan secara konvensional, pembelajaran bahasa diyakini lebih berhasil jika dilakukan dengan menyelipkan rupa-rupa permainan yang jelas-jelas dapat menarik perhatian dan tidak pernah membosankan siapapun juga.

Oleh karena itu, jika konteks niaga permainan seperti itu selalu digunakan, setidaknya untuk menarik perhatian pembeli atau pelanggan setianya. Tidak saja lewat advertansi atau iklan-iklan yang disajikan lewat pelesetan bahasa dengan aneka bentuk bahasa yang serba mini kata, tetapi advertansi juga juga dapat disajikan lewat pelesetan bahasa.

Pelesetan Bahasa Memunculkan Kebaruan

Dengan pelesetan bahasa yang sudah tentu memunculkan maujud bahasa yang tidak terlalu konvensional. Pasalnya bentuk-bentuk pelesetan bahasa yang demikian selalu menghadirkan kebaruan. Dan secara naluriah, barang-barang yang mencuat dengan serba baru selau saja memikat perhatian orang.  Jadi, di situlah sesungguhnya daya tariknya.

Konteks perniagaan seperti 'Ayam Goreng Kontuku', 'Takhasimura', Rumah Makan Padang yang dilabeli 'Padang Arafah' bisa dikatakan sebagai perwujudan proses kreatif dan inovativ dalam berbahasa. Bentuk-bentuk seperti itu sesungguhnya memudahkan beranalogi dan asosiasi bagi para calon pembeli atau pelanggannnya. Juga, alih-alih memunculkan kebaruan orang cenderung memelesetkan nama rumah makan seperti 'Padang Arafah'. Keanehan dan keragaman bentuk bahasa seperti itu sering kali kurang masuk akal jika dibaca sepintas, tetapi setelah direnungkan cukup waktu, tulisan-tulisan seperti itu relatif memiliki makna jelas juga.

Lalu bagaimana dengan kata-kata yang muncul saat ini? seperti galau, ciyus, miapa dan lain sebagainya. Kata-kata tersebut mulai muncul di tanyangan tv lalu diikuti oleh anak-anak muda saat ini. apakah itu kategori alay? Koentjara Ningrat mendefinisikan alay sebagai gejala yang dialami pemuda-pemudi Indonesia, yang ingin diakui statusnya diantara teman-temannya. Sementara Selo Soemaridjan mengartikan alay sebagai  perilaku remaja Indonesia, yang membuat dirinya merasa keren, cantik, hebat diantara yang lain. Faktornya isa dipengaruhi oleh media televisi dan dandanan para artis. Gejala seperti itu dapat mengubah gaya tulisan, dan gaya berpakain, sekaligus meningkatkan kenarsisan. Diharapkan sifat ini segera hilang dan tidak akan mengganggu masyarakat sekitar.

Pengklasifikasian Pelesetan Bahasa

Dengan beranalogi pada contoh-contoh di atas, pelesetan bahasa sesungguhnya dapat dibedakan menjadi  bermacam-macam. Sesuai dengan maksud dan tujuan pemelesetannya. Pertama, terdapat bentuk pemelesetan semata-mata ditujukan untuk maksud pemelesetan sendiri. Bentuk-bentuk semacam ini murni merupakan permainan (language game), atau bahkan hanya fakta mempermainkan-mainkan bahasa saja (gaming a language).

Dalam bentuk pelesetan seperti itu tidak ada maksud terselubung, tidak ada tujuan tersamar di balik kreasi-kreasi kebahasaan yang dipelesetkan. Jadi, inilah model pelesetan yang searbitrer sifatnya, dia tidak bermaksud dan tidak bertujuan sama sekali, dia semata-mata memenuhi hakikat dirinya sebagai peranti bahasa penjalin hubungan dengan sesamanya. Dalam jenis pelesetan pertama ini, dapat diberikan contoh bentuk-bentuk seperti 'Matamu bi4a4akan' (matamu biyayakan) dan lain-lain. Menurut saya, karena saya sering menonton salah satu acara di stasiun televisi. Acara tersebut sering mengangkat judul yang tulisannya seperti r3mpOnG, s3RiuZ, dan lain-lain. Bentuk-bentuk seperti itu menurut saya bisa diklasifasikan kategori pertama ini.

Jenis kedua adalah pelesetan bahasa yang sifatnyapurposif, yakni pelesetan yang mengandung maksud tertenyu, entah maksud mempromosikan, menyindir, mempertanyakan atau bahkan menggugat keadaan. Misalnya, 'hidup segan mati ojo nganti,he...he...!' (hidup segan mati jangan sampai, he....he,,!).

Pelesetan jenis ketiga berciri kontradiktif karena memang faktanya berkontradiksi dengan kemapanan dan kelaziman yang ada. Misalnya saja bentuk UUD dipelesetkan menjadi 'Ujung-ujungnya duit', lau KUHP dipelesetkan menjadi 'Kasih Uang Habis Perkara'.

Gejala kebahasaan demikian ini secara pragmatik dipandang sebagai manifestasi permainan bahasa yang lazim dilakukan antarwarga masyarakat guna mempererat hubungan insani dengan sesamanya. Secara psikolinguistik, fakta kebahasaan ini dapat dipandang sebagai manifestasi eksistensi manusia yang berhakikat sebagai makhluk bermain (homo ludens). Dari segi sosiologis barangkali kenyataan kebahasaan ini dapat dipandang sebagai manifestasi ketidakpuasan, kejenuhan, atau kemuakan terhadap keadaan sehingga warga masyarakat tertentu perlu mengungkapkannya di dalam bentuk tulisan yang lucu dan konyol, tetapi di balik semuanya ada semacam luapan dan desakan untuk menggugat atau sekedar mempertanyakan.

Maka, kalau kita sependapat bahwa pelesetan bahasa adalah manifestasi bentuk-bentuk kreativitas dan wujud-wujud inovasi bahasa warga masyarakatnya, dapatlah dengan tegas dikatakan bahwa pelesetan juga merupakan manifestasi ciri kreativogenik dari kebudayaan itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun