Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Pencemburu_Gelap Mata

30 September 2023   18:42 Diperbarui: 30 September 2023   18:43 122 2
"Lyn, temui aku di tempat biasa, ya? Kamu tahu, kan, aku udah nggak bisa main ke rumah karena ibumu nggak suka sama aku," pinta Lexi padaku di ujung telepon.

"Iya, Lex," jawabku singkat.

Sebenarnya, aku pun sudah tidak suka dengan sikapnya. Dia terlalu posesif. Semenjak jalan dengannya, aku tidak bisa lagi berteman dengan pria lain. Terutama jika sedang bersamanya, berbalas pesan atau telepon dari orang lain pun dia selalu menyelidik.

Awal pertemuan dengan Lexi itu ketika aku masih duduk di kelas tiga SMK, dikenalkan oleh sepupuku. Kami jadi sering bertukar cerita melalui pesan dan telepon. Hingga suatu hari, aku mengalami kecelakaan motor. Motor yang kukendarai saat ingin menyalip sebuah angkutan umum dari sisi kanan, tiba-tiba terlihat mobil lain melaju cukup kencang dari arah berlawanan. Setang motor kubelokkan ke arah kiri guna menghindari. Namun, naas motor terjatuh dan terseret, hingga aku langsung tidak sadarkan diri.

Lexi adalah orang pertama yang menolong dan membawaku ke klinik terdekat. Aku dirujuk ke rumah sakit, karena selain tungkai kaki dan tangan kiri terluka cukup parah, kepalaku harus mendapatkan empat jahitan. Lexi selalu menemani. Dia juga yang pertama kali menghubungi orang tuaku. Lexi memang manis, begitu juga dengan perhatiannya, terlebih setelah kecelakaan yang kualami. Pada akhirnya membuatku merasa berhutang budi.

Mama awalnya memang tidak melarang Lexi mengunjungiku di rumah, semenjak kecelakaan itu. Namun, lama-kelamaan hampir tiap hari Lexi datang yang membuat Mama risih.

Akan tetapi, pada akhirnya kami pacaran secara diam-diam. Aku berhubungan dengannya dari kelas tiga SMK sampai aku sudah berstatus karyawan pabrik. Selama itu dia ke rumah hanya bisa hitungan jari dalam satu bulan.

Aku yang baru bekerja satu tahun sebagai karyawan pabrik membuat Mama tidak terlalu mengekangku untuk sebuah pertemanan dengan lawan jenis selama tidak berlebihan.

Namun, belakangan ini Mama memperingati agar aku tidak terlalu dekat dengan Lexi. Entah apa yang ada dalam pikiran Mama pada Lexi. Hanya saja, sebagai seorang ibu nalurinya merasakan Lexi itu bukan cowok baik-baik.

Hubunganku dengannya sudah berjalan hampir tiga tahun. Hanya saja, satu tahun belakangan ini aku merasa seperti sedang memenuhi kebutuhan Lexi. Mulai dari membelikannya lintingan tembakau sampai mengisi bensin untuk motornya. Setiap kami sedang di luar, aku yang membayar untuk segala makannya. Aku seperti menjadi uang berjalan bagi Lexi. Sedangkan, dia hanya bekerja sebagai penjaga rental game online, itu pun milik temannya.

"Lyn, ada tempat makan baru, kata temanku di sana kopinya enak. Kenapa nggak bawa motor?" tanya Lexi padaku yang datang dengan berjalan kaki.

"Aku lagi malas aja keluarin motor. Kebetulan abangku tadi mau pinjam." Aku berbohong. Tepatnya, aku sedang malas untuk mengeluarkan uang hari ini.

Akhirnya, kami menghabiskan waktu di Kafe Bintang yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Ingin sekali aku lepas darinya. Bukan aku tidak pernah mencoba, bahkan sudah dua kali aku minta putus. Namun, kenyataannya dia makin posesif dengan mengancam akan minum ra-cun serangga di hadapanku.

Barangkali bagi Lexi aku hanya perempuan bodoh yang haus perhatian karena selalu menuruti keinginannya. Lexi tidak tahu saja, selama ini aku bertahan dengannya semata-mata hanya ingat kebaikan dirinya ketika menolongku dalam kecelakaan itu.

Pada akhirnya, Mama tahu kalau aku masih berhubungan dengan Lexi dan memberikan sebuah pilihan, jika aku tidak putus darinya Mama tidak akan mengizinkanku melanjutkan kuliah di Bandung.

Keinginan terbesarku sejak tamat sekolah kejuruan memang ingin sekali melanjutkan kuliah di Kota Kembang. Pekerjaanku sebagai karyawan tidak mematahkan keinginanku untuk melanjutkan sekolah lagi. Maka dari itu, pertemuan kali ini aku bertekad akan memutuskan hubungan.

"Lex, minggu depan aku resign kerja mau lanjut kuliah di Bandung. Jadi... kita putus aja, ya?" pintaku.

"Bagus dong Lyn, nanti aku bisa main ke Bandung. Buat apa juga kita putus?" tegasnya.

"Aku nggak mau Lex pacaran jarak jauh. Lagi pula aku mau fokus kuliah," ucapku.

"Jangan-jangan kamu udah punya pacar baru, ya, di Bandung? Atau Mamah kamu memang sengaja mau pisahin kita, Lyn." Lexi masih dengan pendiriannya.

"Ya nggaklah! Terserah kamu ajah, Lex! Aku lagi males ribut." Aku sudahi dengan cepat, percuma saja berdebat dengannya yang ada malah nanti urusannya makin rumit.

***

Setelah membereskan segala urusan resign di pabrik, aku langsung mengurus berkas untuk melanjutkan kuliah.

Di bulan ke enam aku kuliah masih saja diganggu oleh telepon dan pesan singkat dari Lexi, bahkan ketika aku sedang di angkutan umum, ketika Lexi menelepon dia menuduhku selingkuh karena bisingnya suara sekitar.

"Halo, Arlyna kamu di mana? Aku lagi di Bandung, nih." Lexi meneleponku.

"Kamu, di Bandung? A-aku di kampus." Aku kaget dibuatnya.

Ketika aku sedang bersama teman-teman melewati halaman parkir kampus, Lexi langsung menarik tanganku. Cardigan hijau yang aku kenakan di bagian lengannya sampai menjulur menutupi punggung tangan.

"Aduh Lex... sakit tau! Apa-apaan, sih, kamu?" Aku dibuatnya malu.

"Ngapain kamu dekat-dekat cowok lain? Siapa dia?" Lexi masih memegang erat membuat pergelangan tanganku makin sakit.

"Lexi lepasin nggak? Norak, kamu!" Aku semakin mengerang kesakitan.

"Bang, dia cewek kesakitan, tuh. Lepasin!" Arlan membelaku sambil sedikit mendorong tubuh Lexi.

Tidak lama kemudian, Lexi mengendurkan cekalannya lalu pergi dengan mengacungkan jari telunjuk padaku karena situasinya sudah ramai dengan teman-teman Arlan dan juga satpam yang menengahi.

"Kamu nggak apa-apa? Siapa dia, Lyn?" Arlan menunjuk tangan yang sedari tadi kupegang.

"Nggak apa-apa kok. Makasih, ya. Dia pacar aku, Kang. Aku udah minta putus berkali-kali, tapi dia nggak mau." Aku memberikan penjelasan pada kakak seniorku di jurusan interior.

Arlan dan temannya mengantarku pulang sampai depan indekos yang tidak begitu jauh dari kampus. Hatiku mulai merasa tidak tenang setelah kejadian tadi.

"Ya sudah kita pulang dulu. Kalau ada apa-apa hubungi aku aja. Takutnya dia macam-macam lagi." Arlan memperingati.

Kakak senior yang berbeda jurusan, tetapi aku mengenalnya sejak di ospek dulu. Arlan memang terkenal baik hati dan ramah pada teman dan juniornya.

Kota Bandung pada jam tujuh malam masih sangat ramai dan juga hawanya begitu dingin. Indekos yang berada di daerah Dago jadi incaran para mahasiswa. Selain tempatnya yang strategis karena dekat ke mana-mana, Dago memiliki banyak pilihan jajanan yang murah dikantong mahasiswa.

Kuambil hoodie berwarna coklat yang tergantung di belakang pintu. Perutku terasa lapar. Aku memutuskan keluar untuk mencari makan seorang diri karena teman satu indekos sedang pergi. Aku memilih jejeran makanan pedagang kaki lima yang dekat dengan monumen perjuangan untuk membeli nasi goreng.

Aku duduk sambil memasukkan kedua tangan di masing-masing saku sisi Hoodie, guna  menepis dinginnya malam menunggu nasi goreng dibungkus.

Entah kenapa perasaanku mulai tidak enak, aku berjalan perlahan menuju indekosku yang letaknya cukup menjorok ke dalam dari gang utama melewati jalan kecil yang sempit dan juga sepi.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh laki-laki bertubuh tinggi memakai sweater bertuliskan In Love yang sudah berdiri tepat di bawah lampu jalan. Jaket yang sangat aku kenali. Kemudian, dengan paksa dia menarik tanganku. Nasi goreng yang kupegang terjatuh. Lexi sudah gelap mata, kecemasan dan rasa cemburu mungkin sudah menguasai pikiran buruknya.

"Lexi, kurang ajar kamu, ya!"

Lexi merapatkan tubuhku dengan kasar ke dinding semen. Mulutku sudah dibekap oleh tangan kekarnya. Jantungku berdegup kencang, rasa takut langsung menguasai pikiranku membuat perlawananku makin melemah.

"Diam! Aku nggak akan pernah putusin kamu, Lyn! Ingat itu, baik-baik!"

"Hei, Bang lepasin! Kelakuan macam itu nggak pantas disebut laki-laki!" Arlan dan temannya menarik paksa tubuh Lexi agar menjauh dariku.

"Dasar perempuan nggak tahu terima kasih!" Lexi  mengumpat.

Arlan langsung menjadi tamengku sambil berkata, "Jauh-jauh Lo dari Arlyna!" hardik Arlan. Lexi masih bergeming sambil menatap tajam ke arahku.

"Pergi sana Bang! Apa Gua harus teriak dulu, biar lo dikeroyok warga, nih?" tanya temannya Arlan serupa ancaman pada Lexi.

Lexi pun pergi meninggalkan kami bertiga, tubuhku masih bergetar hebat hingga melorot ke bawah. Aku berjongkok dengan air mata terus saja keluar. Arlan mencoba menenangkan dan temannya pergi meninggalkan kami untuk membeli air minum.

Ternyata, Arlan dan temannya melihatku sejak dari tempat makan. Katanya, Arlan sudah memanggil-manggil namaku, tetapi tidak terdengar. Hingga akhirnya mereka mengikuti, walau pada awalnya tidak ada maksud untuk membuntutiku. Akan tetapi, setelah di pertigaan jalan menuju jalan kecil, mereka tidak sengaja melihat laki-laki mengekoriku dari belakang dengan gelagat mencurigakan.

***vvv***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun