Mohon tunggu...
KOMENTAR
Roman

Bidadari Tanpa Malaikat

26 September 2023   05:24 Diperbarui: 26 September 2023   05:27 162 1
Ajeng, istri yang senang berpenampilan sederhana, lembut dalam bertutur kata dan sangat menghormati suaminya, Aku. Bagiku, Dia istri shalihah, perhiasan duniaku, walaupun di mata orang lain Ajeng tidak lebih dari seorang perempuan ga buk.

Sepulang kerja aku memang hanya akan disambut oleh bidadari tanpa malaikat kecil. Pernikahan yang sudah memasuki tahun ke sepuluh ini, Allah belum juga mempercayakan seorang anak di dalam keluarga kecilku.

Aku tahu, Ajeng selalu merasa sedih dan seringkali merasa bersalah, karena belum bisa memberiku seorang keturunan yang datang dari rahimnya. Aku sehat begitu juga Ajeng. Serangkaian kesehatan pun telah kami lakukan. Waktu saja yang belum memihak pada kami. Ketika sudah datang rasa sedihnya sebagai seorang perempuan yang begitu merindukan kehadiran seorang anak, aku akan selalu menghibur; membesarkan hatinya.

"Mas, tadi aku diajak ibu-ibu komplek jenguk Bu Titi yang baru melahirkan anak ketiganya, lucu Mas, bayinya laki-laki, namanya Banyu Biru Putra Anggara," ucapnya padaku saat malam tiba.

"Oh iya? Nama yang panjang. Inshaa Allah, ya, sayang suatu saat nanti ibu-ibu di sini yang akan jenguk kamu ketika melahirkan anak pertama kita," Aku membelai lembut kepalanya, istri yang selalu harum dengan wewangian yang menyegarkan, membuatku betah berlama-lama berada disisinya.

Ada selaksa air mata yang ditahan, kami memang sudah sangat merindukan hadirnya makhluk kecil yang akan menghiasi hari-hari indah dalam rumah kami.

"Mas Tio, apa boleh aku meminta lagi? Barangkali dengan perempuan lain Mas akan punya keturunan, dan Ibu juga pasti akan senang, Mas," Ajeng berbicara dengan terbata.

"Kasih aku kesempatan kedua Mas, untuk bisa berbakti pada Suami dan juga Ibu. Izinkan aku memberikan kebahagiaan dengan melapangkan hatiku, supaya Mas Tio punya keturunan dari darah daging Mas sendiri," paparnya lebih panjang kali ini.

"Ajeng sayang, Istri Mas yang shalihah, Mas nggak akan keberatan kalau memang sampai ajal menjemput, kita belum dipercayakan Allah untuk punya anak dari rahimmu. Mas ikhlas tanpa mengurangi sedikit pun rasa cinta Mas buat Ajeng, Mas yang nggak akan rela jika harus menyakiti hatimu dengan menikahi perempuan lain,"

"Tolong, selalu kasih Mas juga kesempatan buat jadi imam di rumah ini dan imam di hatimu selamanya, tanpa membuat hatimu tersakiti oleh orang ketiga." Aku tak akan bosan menjawab penolakan untuk berpoligami.

"Soal Ibu, biar itu jadi urusan Mas, Inshaa Allah Ibu akan selalu mendukung apa pun keputusan anaknya," Kugenggam erat tangannya dan kubelai halus kepalanya.

Bukan tanpa alasan memang, jika Ajeng setahun belakangan ini suka membicarakan perihal kerelaan hatinya untuk menerima jika harus diduakan. Semua itu karena pembicaraan Ibu setahun yang lalu.

***

"Tio, kamu itu lebih dari mampu menafkahi dua istri. Ibu juga percaya, kok, kalau kamu akan berlaku adil. Ini kesempatan buatmu Tio. Ibu saja cuma punya kamu, sangat kesepian. Keturunan itu penting dalam pernikahan; dalam berumah tangga," jelas Ibu.

"Iya, Bu. Soal materi Tio mampu, tapi hati Tio nggak bisa dibohongi. Nggak akan bisa kalau Tio harus tidur dengan perempuan lain, pokoknya ... jiwa dan raga Tio cuma bisa menerima Ajeng sampai kapan pun." Aku menangis tergugu.

"Nanti juga kamu bisa menerima, coba saja dulu. Beri kesempatan dalam hidupmu untuk menerima perempuan yang akan menjadi Ibu dari keturunanmu," cecarnya lagi.

"Sudah Bu! Maapin ... Tio nggak mau. Titik!"

***

Aku tahu Ajeng mendengarkan pembicaraan kami kala itu. Karena isak tangisnya terdengar dari dalam kamar.

Aku memang bukan laki-laki sempurna, terlebih dalam menerima segala ketentuan atau takdir yang Allah kasih. Ada kalanya aku benar-benar menginginkan seorang anak, karena hampir semua teman kantorku membicarakan anak-anak mereka.

Ajeng mungkin dimata orang lain di cap sebagai wanita yang tak sempurna, belum bisa menjadi seorang ibu, tapi bagiku dia satu-satunya wanita paling sempurna di dunia ini, setelah Ibu.

Selama pernikahan kami, dia sekalipun tidak pernah berbicara dengan nada tinggi, kesal, atau marah. Adakalanya memang dia sering terlihat murung, barangkali karena aktivitasnya sebagai guru di taman kanak-kanak yang merangkap menjadi guru TPA di masjid dekat komplek kami, membuatnya lelah. Akan selalu ada masalah, akan tetapi Jika sudah berhadapan denganku selalu saja senyuman yang ditampakannya.

Ajeng jarang sekali meminta jika aku tidak bertanya apa yang dia butuhkan; jarang sekali dia mengeluhkan omongan miring terhadap dirinya yang belum bisa hamil juga. Dia hanya menceritakan soal sekolahnya; tempat ngajinya dan segala kegiatan hariannya mengajar. Anak-anak didik yang menggemaskan baginya, katanya, "Nggak ada anak nakal di dunia ini, Mas ... yang ada kita orang dewasa yang nggak bisa memahami mereka,"

***

"Oh iya, lusa kan, kamu ulang tahun ya, sayang? Mau Mas belikan apa?" tanyaku padanya.

"Iya, toh Mas? Aku hampir lupa," jawab Ajeng.

"Kamu ini, suka di lupa-lupakan deh ulang tahun sendiri, giliran ulang tahunku aja selalu kamu ingat," Kucubit pipinya yang kemerahan dengan lesung Pipit yang tampak serasi di wajah mungilnya.

"Kalau gitu untuk tahun ini aku boleh, ya, Mas minta sesuatu?" tanyanya.

"Apa aja, asal jangan kamu suruh Mas untuk menikah lagi," aku memasang wajah serius.

"He..he.. iya Mas bukan itu, besok aku kasih catatannya ya ... apa aja yang harus Mas beli," pinta Ajeng.

"Memangnya apa sih, yang mau kamu beli? Bikin Mas penasaran aja," tanyaku.

"Ya sudah tunggu besok aja, Mas," Ajeng meraih tanganku, lalu mencium punggung tangan dengan lembut seraya berkata lagi,"Makasi ya, Mas."

'Ya Allah, cukup engkau berikan kebahagiaan padanya, dan persatukan kembali dia untukku menjadi pasanganku di surga kelak,' lirihku dalam hati.

Esok harinya.

"Ini Mas, daftar yang harus Mas Tio belikan," Ajeng memberikanku secarik kertas berisikan daftar kebutuhan sekolah mulai dari: seragam, sepatu, tas, peralatan tulis dan juga beberapa helai baju harian.

"Ini untuk siapa, Sayang?" tanyaku dengan mengerutkan kedua alis.

"Belikan aja dulu, ya, Mas ... nanti sepulang Mas kerja, aku ceritakan semuanya sambil kita pergi ke suatu tempat," ucapnya. Lagi-lagi Ajeng membuatku semakin penasaran.

Jujur saja baru kali ini istriku meminta sesuatu, ini pun terbilang tak seberapa, karena bagaimanapun juga, aku yang bekerja di salah satu perusahaan periklanan terbesar di Indonesia, tentunya akan sangat mudah memberikan materi padanya.

Tepat pukul tiga sore, aku sengaja meminta ijin pulang cepat pada bawahan ku di kantor. Hati ini sejak kemarin sudah dipenuhi rasa ingin tahu yang besar.

Jarum jam di tanganku sudah menunjukkan pukul empat sore, setibanya di rumah aku langsung menghampiri Ajeng di dalam kamar.

"Masyaa Allah ...," ucapku saat melihatnya.
Selalu ada cara untuk jatuh cinta setiap harinya saat melihat Ajeng. Dia yang pandai menjaga diri, selalu terlihat cantik di hadapanku, kini pun sudah rapi dan tampak anggun dengan balutan gamis coklat polos sederhana lengkap beserta niqob-nya.

"Hayuk Mas, kita ke kampung Ciukuy, dijalan aja ya, aku ceritain semuanya," ajak Ajeng.

Kampung Ciukuy letaknya tepat di belakang kompleks perumahan Tiara Lestari ini. Jarak yang tidak jauh, namun tidak juga dekat. Aku lajukan Avanza hitam dengan perlahan, menikmati kebersamaan sambil mencermati setiap ceritanya.

Setengah jam perjalanan harus kami tempuh untuk ke rumah salah seorang warga di kampung Ciukuy. Tadi pun sempat berhenti sebentar disalah satu minimarket terdekat, istriku membeli beberapa sembako.

"Assalamualaikum," Ajeng mengucap salam pada salah satu rumah yang aku anggap tidak layak untuk dihuni.

"Walaikumsalam," jawaban terdengar dari dalam rumah.

Kami disambut oleh tiga orang anak kecil dengan penampilan yang sangat tidak terurus. Anak yang paling besar usianya sembilan tahun, yang kedua enam tahun lalu yang bungsu baru berusia tiga tahun. Mereka semua perempuan.

"Nek, ada Bu guru cantik dateng, nih," Si sulung menoleh ke arah dalam rumah untuk memberitahukan sang Nenek, yang terbaring sakit.

Ada rasa haru bercampur bangga, mataku mulai berembun, serasa ada tamparan keras yang menyakitkan di sini, hati. Ternyata masih banyak orang-orang yang membutuhkan uluran tanganku. Aku memang tahu, Ajeng selalu membantu siapa saja yang membutuhkan, terlebih untuk anak-anak yang kurang mampu. Tapi baru kali ini aku dilibatkan langsung dengan kegiatannya.

Si sulung yang Ku ketahui bernama Sekar, Dia itu salah satu murid istriku di TPA tempatnya mengajar. Ajeng baru kenal satu minggu, karena tidak sengaja bertemu dengannya di depan masjid.

Ajeng pernah sekali ke rumah Sekar, guna mengantarkan beberapa lembar uang, karena Ajeng tergerak hatinya setelah mendekati dan mengobrol dengan Sekar yang sedari awal memperhatikannya saat mengajar. Anak yang ditinggalkan ayah dan ibu dari kecil dengan kedua adiknya yang dititipkan pada neneknya.

Sekar putus sekolah, Dia hanya bersekolah sampai kelas dua dengan alasan tidak ada biaya, juga untuk mengurusi nenek yang sakit-sakitan dan juga dua adiknya. Kesehariannya, membantu tetangga berjualan keliling. Kadang untuk makan pun dari belas kasih orang sekitar.

Aku menyetujui untuk membantu istriku mengurusi mereka, memenuhi kebutuhan juga menyekolahkannya. Memberikan seorang pengasuh terpercaya dan membantu sedikit untuk merenovasi rumahnya agar layak dihuni lima orang perempuan-perempuan tangguh.

"Mas, makasih ya, udah mau bantu mereka. Inshaa Allah Aku akan selalu Ridho pada setiap ketetapan yang Allah kasih, sekali pun seorang anak belum tumbuh di rahimku. Ada anak-anak asuh yang membantuku tetap tabah dan juga sebagai pelipur lara, satu hal yang paling penting, ada Mas yang selalu setia di sampingku," pelukan hangat darinya selalu membuatku tetap kuat dan bertahan dari lelahnya kehidupan.

'Aku akan selalu punya cinta untukmu Ajeng ... Biar Allah kujadikan sandaran atas segala rencana-Nya untukku, karena dihatiku sudah ada surga yang indah dengan satu bidadari cantiknya, yaitu kamu.' Aku membatin penuh haru.

"Mas, juga makasih dan minta maap karena ternyata selama ini, Mas kurang memperhatikan apa yang kamu butuhkan dan apa yang kamu kerjakan," pelukan semakin erat. Hati semakin perih, entah bagaimana harus kuceritakan. Perihal Ibu menelpon, beliau akan datang dengan seorang perempuan yang sudah disewa rahimnya untuk keturunanku.

Satu sisi hidup Ajeng adalah tanggung jawabku, yang harus di jaga hati dan raganya, karena dia istriku. Di sisi lain ada Ibu, perempuan yang telah melahirkan; berjuang untuk kehidupanku, hingga aku bisa berdiri sendiri. Jika memang kesempatan kedua itu ada untukku ... jangan aku yang ada di antara kalian. Agar bukan aku yang menciptakan rasa sedih dan kecewa untuk Ajeng dan juga Ibu.

Semoga aku tetap bisa menjadi seorang anak yang berbakti tanpa melukai hati Ibu; semoga bisa menjadi seorang suami yang selalu dirindukannya tanpa harus menduakan.

***End***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun