Aku ingin menikah dengan Amar karena memiliki kriteria sesuai harapan ibu. Pria mapan, perhatian, penampilannya sederhana dan pintar. Amar anak tunggal dari Bu Saidah, beliau teman dari ibuku.
"Oia, Ibu hampir lupa, kemarin ketemu Bu Saidah waktu arisan di Taman Matahari, Amar yang mengantar. Titip salam katanya buat kamu," ujarnya padaku.
"Oh iya Bu. Minggu ini Amar mau main juga ke rumah. Nggak apa-apa kan, Bu?" Aku tersenyum malu pada Ibu.
"Ya sudah nggak apa-apa kok, main saja kesini." Ibu membalas.
***
Amar denganku memang belum lama kenal, pertemuan kami pun tanpa disengaja. Saat itu, ibu meminta antar padaku ke rumah Bu Saidah. Akhirnya, aku dan Amar berkenalan.
Hari itu, sepertinya memang ada campur tangan dari Ibu dan juga Bu Saidah agar kami bisa bertemu. Kini, enam bulan sudah aku dengan Amar berpacaran. Kami bertemu hanya di waktu libur kerja saja. Kesibukan masing-masing yang masih jadi penghalang bagi kami untuk menghabiskan waktu bersama.
Amar bekerja di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa, tepatnya bagian Desainer Visual. Membuat dirinya selalu dikejar deadline yang mengharuskan lembur hampir setiap hari.
Â
Setiap apa yang sedang dia kerjakan selalu saja laporan padaku, bahkan desain yang dia buat pun sering di kirim melalui WA, hanya untuk sekedar minta pendapat dariku, sebagai konsultan desain.
***
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam," jawabku sambil membukakan pintu. Sesuai janjinya Amar datang berkunjung ke rumahku di hari Minggu.
Amar orangnya sopan, dia juga sangat perhatian pada ibuku. Mungkin dari sikap Amar yang mudah akrab dan selalu perhatian membuat ibu menyukainya.
"Oh iya Ti, ini ada titipan dari Mamah buat Ibu kamu," ucapnya ambil menyodorkan buah tangan yang dibawanya.
"Ya ampun, repot-repot segala Mas. Makasih ya, bilang sama Mamah Saidah." Aku pun menyuruh Amar duduk diruang tamu.
"Kebetulan Ibu lagi bantu masak di tetangga sebelah Mas, mau ada acara tahlilan."
Secangkir teh manis hangat juga sepiring kue sudah tersaji untuk Amar.
Drrrt ... Drrrt ...
"Ti maaf ya, barusan klien telepon, mendadak minta revisi desain sedikit karena mau naik cetak, kamu ikut aku ya, kami ketemuannya di Kafe Senja, nggak jauh kok dari sini, kebetulan aku sudah bawa laptop di mobil," bujuk Amar.
"Nggak lama kok Ti, cuma revisi warna aja. Nanti setelah itu kita jalan-jalan, ya," rayunya lagi.
Awalnya aku ragu karena paham betul kalau sudah terkait revisi desain itu akan memakan waktu lama, tapi Amar memaksaku dan aku tidak enak hati jika harus menolaknya.
"Ya sudah Mas, kalau emang aku nggak ganggu nantinya. Sebentar ya, aku cuma ganti jilbab aja, kok," jawabku.
***
Satu jam sudah aku menunggu di sudut kafe, memperhatikan Amar yang tak jauh dari mejaku. Kliennya tampak resah, sepertinya permintaan ganti warna background untuk iklan baliho membuat mereka pusing. Setelah diperhatikan, wajah Amar yang terlihat serius tampak memesona.
"Assalamualaikum, maap Tisya baru telepon Ibu. Tisya lagi diajak Mas Amar keluar. Oh iya, ada titipan dari Bu Saidah, Ti taruh di lemari makan. Sop Iga kesukaan Ibu." Aku menelepon, untuk mengusir rasa jenuh.
"Walaikumsalam, iya Ti Ibu juga baru sampai di rumah nih, jangan larut malam ya pulangnya. Bilang terima kasih dari Ibu buat Amar," titah ibu.
Ibu dulu pernah punya anak sebelum aku, anak laki-laki, namun di usianya yang genap lima tahun meninggal dunia, akibat demam berdarah. Kakak yang tidak pernah aku temui. Hingga akhirnya dua tahun setelah kepergian kak Wahyu, aku terlahir.
Setelah kelahiranku ibu divonis dokter mempunyai rahim gantung, kondisi yang sudah sangat lemah hingga tidak memungkinkan memiliki anak lagi. Maka dari itu ibu begitu sangat menyayangiku, begitu juga aku.
***
"Ti, maaf ya, Aku kira sebentar nggak tahunya hampir dua jam, Pak Anto waktu telepon katanya cuma ganti warna aja, ternyata atasannya minta ada revisi desain juga. Aku jadi nggak enak sama kamu," ucapnya.
"Nggak apa-apa kok Mas, aku juga baru kali ini lihat Mas lagi serius tampangnya lucu juga." Aku menggoda Amar, yang di godanya pun tampak senang dengan memberikan senyum termanisnya padaku.
Drrrtt ... Drrrtt ...
Ponsel Amar bergetar lagi, setelah melihat ke layar hape Amar mengabaikan panggilan itu. Entahlah, siapa yang menelepon, aku pun tidak berani untuk bertanya. Walaupun dihati ada rasa penasaran.
Saat perjalanan pulang pun di dalam mobil, ponselnya berdering lagi.
"Angkat aja Mas, barangkali penting atau aku harus turun dulu? Takut ada pembicaraan yang tidak boleh aku dengar, mungkin," desakku padanya untuk mengusir rasa penasaran.
"Nggak apa-apa kok Ti, itu cuma teman kerja aja, tepatnya teman kerja yang suka mengganggu, namanya Rani. Dia udah punya suami, tapi nggak tahu kenapa suka banget telepon aku," paparnya membuat hatiku gusar.
"Oh,"
"Kok, 'Oh' aja sih, kamu nggak cemburu, ya?" tanya Amar padaku, sepertinya lagi menggoda.
Setelah kejadian itu, aku lebih memilih menjaga jarak dengan Amar. Amar pun tampaknya paham betul kenapa ada perbedaan sikap dariku.
Keesokan harinya. Amar meminta waktu padaku disela jam istirahat kerja agar menemuinya, untuk mengajak makan siang yang tidak jauh dari kantorku.
Amar sudah menunggu di kafe depan kantor, aku melihat Amar duduk tidak sendiri, dia bersama seorang wanita. Penampilannya membuat hatiku memanas, dia cantik terlihat begitu anggun.
"Hallo, Mas," sapaku.
"Hai Ti, oh iya ini kenalkan namanya Rani yang kemarin telepon aku," ujar Amar saat mengenalkannya padaku.
"Ran, ini Tisya calon istriku!" tegas Amar.
Hah?!
Hatiku jadi tidak karuan mendengar Amar memperkenalkanku pada temannya itu.
Ada rasa senang yang membuncah, sepertinya wajahku tampak merah merona karena malu. Aku mengulurkan tangan padanya dengan percaya diri.
Rani tampaknya terkejut, dia sepertinya tidak menduga akan bertemu denganku sebagai calon istri Amar. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang tidak suka padaku.
***
Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam, menunggu penjelasan dari Amar. Di awal jemput, Amar belum bicara apa-apa selain menawariku makan. Aku menolak karena ingin sekali mendengar penjelasannya saat dia mengenalkan diriku sebagai calon istrinya.
"Ti yang tadi maaf ya, aku nggak bilang dulu sama kamu. Untuk kejadian tadi siang gimana menurutmu?" Amar bertanya balik padaku.
"Maksudnya gimana, Mas? Justru aku yang ingin tahu, kok Mas Amar ngenalin aku sama Mbak Rani tadi sebagai calon istri, Mas."
"Iya, aku ingin melamar kamu jadi istriku bagaimana, Tisya sayang?" tanyanya padaku.
"Hah? Aku nggak salah dengar, Mas? Jangan buat perempuan baper, deh," rajukku membuat hati berbunga, terlebih di saat Amar menyebut kata sayang.
"Iiih, siapa juga yang mau bikin kamu baper doang. Aku serius Ti, hari ini aku jemput kamu sekalian aku mau ijin sama Ibu Marwah untuk melamar anaknya." Amar tersenyum padaku.
"Oh iya, nanti kalau kamu udah jadi istriku, kamu masih boleh kerja kok. Lagi pula pekerjaanmu sebagai konsultan desain sangat membantu pekerjaan aku juga, kan?" Amar lagi-lagi tersenyum. Dan aku hanya mengangguk.
***
Bagi Ibu perihal lamaran Amar, tentunya menjadi sebuah angin segar. Tanpa ragu ibu mengiyakan, bahkan langsung menanyakan kapan akan menikah.
Satu bulan setelah lamaran, aku mendapat telepon dari Rani dan memintaku untuk bertemu. Rani pun berpesan, agar tidak memberitahu Amar. Aku menemuinya di tempat yang sama saat pertama kali berkenalan.
"Maaf ya Tisya, aku minta waktumu sebentar, karena ada hal yang harus kamu tahu dan itu penting bagiku!" seru Rani.
"Ada apa memangnya, Mbak?"
 "Aku lagi ha mil, dan itu anak dari Amar!" ketusnya padaku.
Bagai tersambar petir di siang hari bolong aku mendengarnya. Aku pun berusaha bersikap tenang sambil memegang hasil USG atas nama dirinya.
"Maaf, bukannya Mbak Rani sudah menikah ya?" tanyaku.
"Iya, tapi tepatnya pernah menikah. Aku sudah ce rai dua bulan lalu, dan itu sebelum aku ketemu sama kamu tempo hari," tegasnya lagi.
"Hubunganku dengan Amar semakin dekat setelah aku ber ce rai. Aku pernah menjadi te man satu ma lam nya," ucap Rani penuh keyakinan. Dan berita yang dia bawa membuat hatiku hancur.
Aku pergi meninggalkan Rani tanpa sepatah kata pun lagi.
***
"Mas, sebenarnya ada hubungan apa sih antara Mas Amar dengan Mbak Rani? Pernah sedekat apa kalian? Aku minta Mas jawab jujur, apa pun itu aku akan terima," tanyaku di dalam mobil saat Amar menjemputku pulang kerja.
"Rani? Memangnya ada apa? Kamu ada ketemu sama dia? Aku nggak ada hubungan apa-apa Ti, Waallahi. Aku nggak pernah tanggapin serius semua sikap dia sama aku." Amar bersumpah padaku.
"Rani nggak punya suami, kan, Mas? Kenapa Mas bohong sama aku?"
"Soal itu benar, aku minta maaf. Aku nggak ada maksud bohongi kamu. Aku cuma mau jaga perasaan kamu aja, Ti!" jawab Amar.
"Mbak Rani ha mil Mas, dan itu katanya anak Mas Amar." cecarku. Amar pun menghentikan laju mobilnya.
"Apa? Ha ... ha mil? Bukan sama Aku! Tolong kasih aku waktu buat jelasin semuanya, ya? Rani itu nggak wa ras!" tegasnya.
"Aku benar-benar sayang sama kamu Ti dan sejauh ini aku nggak pernah bohongi ataupun ber khi anat padamu!"
"Aku ingin jujur sama kamu, memang ada satu peristiwa yang aku belum ceritakan, dan itu kejadiannya sebelum aku kenalkan Rani sama kamu," jelasanya lagi yang membuat hatiku semakin sakit.
***
"Seandainya aku nggak jadi menikah sama Mas Amar gimana, Bu?" tanyaku saat malam tiba pada ibu.
"Kok, gitu ngomongnya? Memangnya ada apa? Kamu lagi ribut sama Amar? Biasa itu Ti kalau mau menikah, pasti ada saja persoalan yang datang. Kamu cukup berdoa dan yakin. Insyaallah Amar laki-laki yang cocok buatmu, Sayang," jawab ibu.
"Ibu yakin? Amar akan setia dan sayang sama Aku?" tanyaku lagi.
"Iya, Nak. Ibu kenal betul sama Mamanya, Amar itu lelaki yang baik, perhatian dan akan selalu sayang sama kamu," jelas Ibu.
Pelukan ibu sangat menenangkan, dan juga memberikan kekuatan bagiku. Aku akan mencoba melapangkan hati dengan memberikan kata maaf untuk Amar.
Ada harapan besar terlihat di mata ibu tentang Amar, yang diyakininya, Amar laki-laki yang bisa buat aku bahagia.
Aku ingin mempercayai itu. Aku ingin meyakini keyakinan ibu. Restu ibu yang paling aku harapkan. Aku akan mempersembahkan Amar sebagai menantu idaman baginya, walau pernah ada rasa sakit yang aku rasakan. Rasa sakit dibohongi.
***
Amar pernah menjadi kor ban Rani, perempuan yang terlihat anggun di mataku, tapi mampu melakukan hal di luar na lar.
Amar pernah diberi minuman yang membuatnya tidak sadarkan diri, lalu setelah terbangun dia sudah berada di dalam sebuah kamar hotel. Amar kemudian mendapat kiriman gam bar di rinya t a n pa se he lai pa kai an dari Rani, guna mengancam. Amar pun berusaha mendekati Rani hanya untuk meminta file aslinya.
Perihal ha mil nya Rani, tentu saja hanya sebuah kebohongan belaka. Rani sakit hati saat Amar memberitahu telah melamarku, dia ter ob sesi pada Amar.
Entahlah ... apa aku harus percaya padanya atau tidak. Yang jelas di hatiku rasakan sakit dan kecewa.
"Aku hanya ingin selalu melihat binar bahagia di netramu, Bu," ucapku lirih dalam doa malam ini. Karena, hanya ibu yang aku miliki setelah kepergian bapak dua tahun lalu yang me ning gal dunia karena sakit, membuat sebagian tubuhnya mengalami ke lum pu han. Satu tahun menghabiskan sisa hidupnya hanya dengan berbaring. Ibu sangat telaten dan sabar kala itu menemani bapak sampai nafas terakhirnya.
Semoga keyakinanmu terhadap Amar akan membawaku pada kebahagiaan di sepanjang hidupku, Bu. Biar tersimpan rapat persoalan Amar, aku tidak ingin menggoreskan kecewa dihati ibu.
***End***