Mohon tunggu...
KOMENTAR
Horor Pilihan

Teror Sebuah Mantra

1 September 2023   12:36 Diperbarui: 1 September 2023   12:52 229 3
Liburan musim dingin tahun 2021 di Korea Selatan telah tiba, Hea memutuskan untuk pulang ke Hanok. Kenyataannya, sekolah di SMA unggulan Kota Seoul tidak seindah harapan gadis bermata bening tersebut. Status sosial yang berbeda dengan teman-teman sekolah menjadi petaka yang menyakitkan.

"Hea, temui Ara di loteng sekolah, sekarang!" perintah Yuri kepada Hea.

"A-ada apa, ya?"

"Udah gak usah banyak tanya, ke loteng aja sekarang juga!" bentak Yejin sambil menarik tangan kanan Hea.

Yejin dan Hea pun pergi ke loteng sekolah karena Ara sudah menunggu sedari tadi berdiri dengan melipat tangan di depan dada.

"Belikan kami bungeoppang hangat!" Ara memerintah dengan ketus. "Pakai uangmu, sekarang!"

Sebagai murid yang berasal dari keluarga miskin, Hea harus rela diperbudak oleh Ara. Alasannya, Hea dapat masuk ke sekolah bergengsi tersebut berkat kebaikan pemilik yayasan yang tidak lain adalah paman Ara.

Tidak berapa lama, Hea datang dengan nafas tersengal-sengal karena harus berlari.

"Ini bungeoppangnya ...," ucap Hea lirih.

Bukan ucapan terima kasih yang diterima oleh Hea, bungkusan bungeoppang justru mendarat di wajah polosnya. Tidak hanya itu, kepalanya ditoyor oleh Ara hingga dia limbung, lalu terjatuh.

Pada lain hari, Hea harus menggigil kedinginan karena disiram oleh Ara dan kedua temannya. Mereka menguncinya di kamar mandi asrama dari malam hingga pagi. Bau badan Hea pun menjadi sasaran karena Hea memakai parfum murahan hingga tubuhnya disiram dengan banana milk.

"Gadis miskin sepertimu tidak pantas sekolah di sini!" ejek Ara.

"Dangsin-eun agchwi!" sahut Yuri sambil meludah.

"Danghogseuleoun!" timpal Yejin.

Umpatan dan makian sudah menjadi makanan Hea setiap hari di sekolah yang dilakukan oleh Ara dan kedua temannya.

Meskipun sayang untuk melepas beasiswanya di Seoul, Hea memilih pindah sekolah ke Hanok yang dekat dengan rumah neneknya. Untung saja, dia dapat diterima di sekolah baru tanpa persyaratan yang rumit.

Hea tahu sang nenek sangat sedih atas kepindahannya, tetapi menurut nenek kesehatan mental dan fisik Hea jauh lebih penting daripada harus bertahan di sekolah yang lama.

"Sekolah masih beberapa minggu lagi, Hea. Tenangkan pikiranmu agar dapat belajar dengan baik," kata nenek dengan lembut.

"Baik, Nek. Sekarang, bolehkah aku bertemu dengan Soyun dan Hwan?"

Setelah mendapat izin dari nenek, Hea menghubungi kedua sahabat lamanya. Mereka sepakat bertemu di kedai, melepas rindu sambil menikmati dakgalbi.

"Kurang ajar sekali teman-temanmu itu!" seru Hwan setelah mendengar cerita Hea.

"Ingin rasanya aku membalas perlakuan mereka, tetapi dengan cara apa?"

"Kita minta tolong pada Mudang Arin," sahut Soyun dengan santai.

"Maksudmu balas dendam dengan menggunakan roh halus?"

"Iya, Hea. Kita minta bantuan roh untuk menakuti mereka. Setelah puas, kembalikan roh ke asalnya."

Hea tampak ragu dengan ide dari Soyun, sementara Hwan merasa itu cara yang tepat. Akhirnya, mereka tetap memutuskan untuk pergi ke kediaman Mudang Arin.

Mudang adalah dukun atau cenayang yang dapat berkomunikasi dengan roh orang yang telah meninggal.

"Aku bisa saja membantu kalian, asalkan ...." Mudang Arin menatap tamunya satu demi satu. "Kalian mau menjalankan ritual dengan baik karena taruhannya adalah nyawa," sambungnya lagi.

"Nyawa, Mudang?" tanya Hea sedikit khawatir setelah memberikan foto ketiga rivalnya pada Mudang.

"Tentu saja karena kalau salah langkah sedikit saja, nyawa kalian sendiri taruhannya. Pikirkan dulu jika setuju datanglah saat purnama pekan depan."

****

Setelah sampai di rumah, Hea langsung tidur sambil memeluk nenek yang ada di sampingnya. Hea tidak ingin nenek tahu kalau dia akan membalas dendam kepada Ara dan kedua temannya di sekolah lama.

"Jangan lakukan itu!" teriak Hea dalam tidurnya penuh ketakutan.

"Hea ... bangun," kata nenek sambil menepuk pipi cucunya.

Gadis yatim piatu itu terbangun dengan tubuh penuh keringat. Kekerasan yang dilakukan oleh Ara telah membuatnya trauma hingga terbawa ke alam mimpi. Akhirnya, Hea makin yakin untuk membalas dendam.

Pada malam purnama, mereka mendatangi Mudang Arin tanpa sepengetahuan anggota keluarga di rumah.

"Siap?" Mudang Arin kembali menegaskan kepada mereka. "Kita lakukan ritual sebelum purnama bergeser."

Ketiga sahabat itu menganggukkan kepala dengan pasti.

Satu buah lilin besar diletakkan di atas meja yang berada di tengah ruangan berbentuk persegi. Hea, Soyun dan Hwan berdiri pada setiap sudut ruangan.

"A-apa yang akan kami lakukan, Mudang?" tanya Hea lirih.

"Kalian akan melakukan permainan kecil untuk memanggil Dalgyal Gwishin. Dia yang akan membalaskan dendammu."

Mudang Arin menjelaskan langkah permainan dengan detail. Saat ritual berlangsung, mereka tidak boleh bersuara apalagi menengokkan kepala ke belakang. Salah satu orang maju, menepuk punggung teman, teman yang ditepuk akan berjalan untuk menepuk teman yang di depannya, begitu seterusnya hingga arwah datang yang ditandai oleh berhentinya balasan tepukan dari belakang.

"Baiklah, aku akan membacakan mantra dari luar ruangan. Kalian lakukan sesuai petunjuk dan jangan pernah melanggar aturannya!"

Permainan dimulai dari Hea, dia melangkah maju lalu menepuk punggung Soyun dua kali, kemudian Soyun berjalan maju lalu menepuk punggung Hwan.

Tidak lama kemudian, Hea mendengar suara gesekan dari dinding. Namun, Hea tetap diam meskipun jantungnya berdetak lebih kencang.

Waktu berlalu, tetapi Hwan tidak beranjak dari tempatnya. Hea tidak merasakan tepukan. Ketika Hea ingin menyerah, punggungnya tiba-tiba ditepuk satu kali. Dia masih menunggu tepukan yang kedua, tetapi hasilnya nihil. Lalu ...

"Aaargghh!" jerit Hea histeris setelah menengok ke belakang.

Di tempat Hwan berdiri, ada sosok perempuan yang menyeramkan. Perempuan tersebut berbaju putih, berambut panjang, wajah penuh darah, dan menguarkan aroma yang sangat busuk. Hea merasa lemas saat sosok di hadapannya masuk ke tubuh Hwan. Hwan mengejang sebentar, tatapan menjadi kosong, dan ekspresinya dingin.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Hwan.

"Eh, a--ku .... Soyun, bagaimana ini, Hea? Hwan sepertinya sudah kerasukan Dalgyal Gwishin. Cepat katakan keinginanmu atau kita celaka!" seru Soyun panik.

"Buat Ara dan kedua temannya ketakutan hingga gi-la!" ucap Hea penuh kebencian.

Hwan melengkingkan tawa dengan keras sebelum pingsan, Mudang Arin masuk tepat saat lilin padam. Dukun berpenampilan nyentrik tersebut menyalakan lampu lalu mendekati Hwan.

"Hwan, sadarlah," kata Mudang Arin sambil mengusap wajah Hwan.

Mudang Arin memberi Hwan ramuan  agar jiwanya kembali tenang setelah dirasuki oleh si hantu telur.

Konon semasa hidup, Dalgyal Gwinshin tidak memiliki keturunan sehingga sangat menyayangi anak-anak di sekitar rumahnya. Dia akan sangat marah jika ada yang melakukan kekerasan terhadap anak-anak. Itulah alasan Mudang Arin memilihnya untuk membalaskan dendam Hea. Dalam waktu kurang dari lima hari, mereka akan mengetahui nasib Ara.

****

Sementara di Seoul,  Ara baru pulang dari . Dia menyapa ibunya, masuk ke kamar untuk membersihkan diri kemudian tidur. Namun, saat akan memejamkan mata, lampu kamar tiba-tiba padam lalu menyala kembali, gorden di kamar tertiup angin disusul bau yang sangat busuk. Gadis berkulit bersih tersebut makin ketakutan ketika tengkuknya diraba oleh sesuatu yang dingin.

Tubuh Ara berkeringat dingin dan gemetar karena di hadapannya muncul sosok perempuan berambut panjang, berwajah rata, dan mata merah menyala. Dia berusaha untuk teriak, tetapi suaranya tidak kunjung keluar, seperti ada yang mengganjal di tenggorokan. Pada pagi hari, dia ditemukan sudah dalam kondisi berantakan, Ara mengalami trauma hebat, selalu berteriak tidak jelas.

****

Tiga hari setelah ritual pemanggilan arwah, Hwan mengajak Soyun dan Hea ke Seoul.

"Mudang memberitahuku kalau Ara dan kedua temannya sudah gi-la. Kita disuruh untuk melihatnya secara langsung." Hwan berkata sambil tersenyum penuh seringai.

Mereka pun pergi ke Seoul menggunakan bus antar kota. Selama perjalanan, Hea sering memergoki Hwan tersenyum sendiri.

"Soyun, kamu tahu kenapa Hwan jadi aneh seperti itu?"

"Entahlah, tapi aku juga khawatir melihat keadaannya."

Sesampai di Seoul, Hea mengajak kedua sahabatnya ke  sekolah dan asrama. Namun, suasana sudah sepi karena sebagian siswa pulang untuk menikmati liburan musim dingin. Mereka menyelinap masuk tanpa meminta izin kepada penjaga sekolah untuk menuju loteng. Hea menunjukkan tempat penyik-saannya kepada Soyun dan Hwan.

Tidak lama kemudian, Hea bertemu teman lamanya.

"Ara, Yejin, dan Yuri dibawa pulang oleh keluarganya karena penyakit yang aneh. Bahkan, aku melihat wajah Ara yang sempat berubah jadi rata dan menyeramkan," ucap salah seorang siswa yang masih tinggal di asrama sambil bergidik.

"Benarkah?" tanya Hea penuh selidik.

Hea dan kedua sahabatnya pun gegas ke rumah Ara. Mereka ingin membuktikan hasil balas dendam tempo hari.

Setibanya di tempat tujuan, Ibu Ara menyambutnya dengan ramah. Gurat kesedihan tampak jelas di wajah perempuan setengah baya yang masih terlihat cantik itu.

Setelah berbasa-basi, sang ibu mengantar mereka ke kamar Ara. Kondisi kamar sangat berantakan, Ara akan menjadi tak terkendali saat ada yang mendekati. Tubuh Ara kian lusuh, rambut panjangnya dibiarkan terurai begitu saja, tatapan mata tampak kosong, dan dia sering berteriak keras.

"A-ara. Apa kamu baik-baik aja?" tanya Hea pelan.

"Dia sudah gi-la, Hea. Harusnya kamu lega!" Bentak Hwan.

"Jangan kasar, Hwan!" tegur Soyun.

Ara menolehkan kepala, menatap ketiga tamunya, lalu terkikik dan menghampiri Hea. Tangannya mencekik leher Hea dengan kuat hingga membuat Soyun yang melihatnya menjadi panik.

"Ara, lepaskan! Kamu bisa membunuh Hea!"
Soyun menarik cengkeraman Ara dari leher Hea, sementara Hwan hanya diam tanpa melakukan apa pun.

"Kau gi-la!" teriak Ara sambil menunjuk ke arah Hwan.

Wajah Ara berubah rata secara perlahan hingga menyisakan satu mata kiri yang merah menyala, dia terus menatap Hwan.

"Kamu jahat, Hwan! Jahat!"

Hwan menggigil ketakutan saat Ara mendekatinya. Bau busuk terkuar saat satu mata di hadapannya mengeluarkan darah. Suara rintihan dari sosok yang tidak memiliki mulut tersebut terdengar menyayat hati.

Hea dan Soyun menarik tangan Hwan lalu berlari sekuat tenaga keluar dari kamar Ara.

"Jangan pergi! Ibu mohon .... bantu Ara sembuh, Nak. Dia sering menyebut nama Hwan, apakah kalian mengenalnya?"

Mereka hanya saling pandang, menggeleng lalu berpamitan. Mereka nekat pulang meskipun hari sudah larut malam. Beruntungnya, masih ada taxi yang mau mengantar mereka hingga ke Hanok.

Keesokan harinya, Hea menemui Mudang Arin. Dia meminta agar permainan dihentikan karena sakit hatinya telah terbalas. Namun, dia terkejut saat mendengar cerita dari sang dukun.

Di luar dugaannya, ternyata Hwan pernah melakukan perundungan yang keji terhadap Ara. Hea baru ingat, mereka memang bersekolah di SMP yang sama. Ara sangat trauma dan berniat untuk balas dendam kepada siapa saja yang terlihat lemah di sekolah milik pamannya.

"Dalgyal Gwishin akan menghentikan aksinya setelah Ara dan Hwan benar-benar menjadi gila. Sebelum keinganannya terjadi, permainan tidak akan pernah selesai," ucap Mudang Arin lirih.

***End***

Catatan Kaki:

Minuman susu pisang yang populer karena cita rasanya yang unik.
Kue serupa wafel berbentuk ikan mas yang populer di Korea.
Baumu busuk!
Memalukan!
Ayam tumis pedas yang populer di Korea.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun