Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

Penyakit Menular: Lebih Akurat Diagnosis dengan Metagenomik

18 Maret 2014   14:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:48 532 1

Teknologi diagnosis penyakit menular di Indonesia sudah tertinggal hampir 10 tahun dibanding negara-negara maju, termasuk dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Di Indonesia, untuk mendiagnosis penyakit menular, dokter masih bergantung pada hasil pengamatan mata peneliti laboratorium klinik. Padahal kini dua generasi teknologi sudah berkembang luas di luar negeri, yakni teknologi DNA sequencing berbasis kultur dan non kultur.

Teknologi “usang” yang masih diterapkan di Indonesia tidak lagi menjadi tumpuan utama mendiagnosis penyakit di beberapa negara maju dan berkembang karena dianggap tidak akurat sehingga berpotensi menimbulkan multitafsir bagi dokter. Satu sampel klinis bisa diartikan lain oleh petugas klinis yang berbeda. Akibatnya, dokter yang membaca hasil pengamatan itu bisa mengambil kesimpulan yang salah dan merugikan pasien. Lebih parah lagi, banyak dokter yang bahkan tidak “mendidik” pasien untuk meminta uji klinis sebelum dokter menyimpulkan penyakit pasien. Tidak jarang, dokter sekadar mendengar keluhan pasien lalu mengambil kesimpulan berdasarkan pengalaman dokter tersebut.

Di Indonesia, laboratorium klinis masih terbilang konvensional atau bisa dikatakan sebagai “generasi pertama”. Kuman dari sampel pasien ditumbuhkan (dikultur) lalu dikenali berdasarkan reaksi biokimia dan pengamatan visual. Metode ini masih sangat bergantung pada kejelian mata dan kepakaran ahli mikrobiologi di laboratorium tersebut. Kalau salah menebak, pasien yang menanggung akibatnya. Padahal, tidaklah mudah “menebak kuman dengan benar” karena penampilan kuman seringkali menipu. Satu kuman seringkali memiliki bentuk dan sifat kimia yang susah dibedakan dengan kuman yang lain, contohnya Aerococcus urinae dan Aerococcus sanguinicola yang menyebabkan infeksi saluran kencing. Padahal antibiotik untuk A. urinae tidak mempan untuk A. sanguinicola, begitu pula sebaliknya.

Model “jadul” itu di luar negeri perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Sudah jamak laboratorium klinik menggunakan teknologi sequencer untuk identifikasi kuman di sampel pasien. Sequencer adalah mesin canggih yang bisa menuliskan deret DNA dari suatu sampel. DNA kuman diproses sequencer untuk diidentifikasi secara akurat. Tampak mata, boleh saja dua kuman memiliki penampakan serupa, tetapi mereka memiliki deret DNA yang berbeda.

Berdasar data dari World Map of High-throughput Sequencers, Indonesia belum memiliki satu pun mesin itu. Indonesia bahkan tertinggal dari Malaysia yang sudah ada 10 sequencer. Singapura yang penduduknya jauh lebih sedikit dari Jakarta bahkan sudah mempunyai 18 sequencer.

Teknologi “generasi kedua” itu memiliki tahapan hampir sama dengan “generasi” pertama yakni sama-sama membuang materi non-DNA dari kuman yang hendak diteliti, lalu petugas laboratorium klinik menumbuhkan berbagai kuman yang ada di sampel tersedia dan memilih satu jenis kuman yang hendak diidentifikasi. Bedanya, pada “generasi kedua”, DNA dari satu jenis kuman itu diproses oleh sequencer yang menghasilkan file deret DNA dalam ukuran gigabytes. Deret tersebut dianalisis, dan akhirnya kuman teridentifikasi. Sederhananya, perbandingan keakuratan diagnosis metode “generasi kedua”dan “generasi pertama” adalah seperti mengukur kekuatan gempa bumi dengan menggunakan seismograf dan sekadar menebak dengan “perasaan”.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun