Apakah ini masalah atau tidak, memang tidak dapat mendifinisikannya secara detail. Namun sejatinya semakin mudahnya mengakses informasi idealnya makin bertambahlah bobot dan kapasitas pengetahuan seseorang, dan jika bicara mahasiswa Unlam, harusnya makin kritislah mereka. Bukan bermaksud melecehkan, namun kemudian seperti itulah yang terjadi. Mahasiswa yang punya kebiasaan memproses akses informasi sebagai bahan pemikiran di otak sepertinya masih dihitung dengan jari padahal media untuk mendapatkan informasi itu telah ada.
Sampai hari ini sangat jarang mahasiswa mengetahui informasi terbaru dengan detail, kalau pun tahu hanya secara umum saja. Kemudahan dalam menggunakan fasilitas internet seolah hanya ditandai sebagai sebuah eforia dalam mengakses informasi belaka. Tengoklah di Unlam, atau spesifiknya di FKIP Unlam, ketika mahasiwanya sedang asik berinternet ria, apa yang mereka akses, kalau tidak main game, facebook atau lainnya terkait tugas kuliah mereka. Hal ini seolah menjelaskan bahwa skala prioritas yang kurang terhadap pentingnya informasi, padahal sebagai lapisan intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial yang khas seharusnya menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan.
Beberapa mahasiswa beranggapan bahwa apa yang terjadi diluar lingkungan atau komunitas mereka bukanlah hal yang patut untuk diketahui. Harapan agar mahasiswa berintelektualitas yang baik agaknya masih diawang- awang, meskipun akses informasi telah tersedia dengan baik.
Ketika informasi itu mudah diakses, lalu mengapa kita tetap kuper? Adakah ini menandakan budaya malas sebagai penyakit menahun yang tiada obatnnya. Sejarah telah mencatat bahwa mahasiswa sebagai agen of chenge, perubahan di Indonesia tak lepas dari peranan mahasiswa. Namun apalah artinnya sejarah, jika kemuadian hanya menjadi sebuah cerita tanpa ada pembelajaran didalamnya. Pepatah mengatakan bahwa hidup hanya dapat dipahami dengan melihat kebelakang, tetapi hanya bisa dijalani dengan melangkah kedepan. Kiranya hal ini memberikan kita kesadaran, bahwa mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memiliki kesadaran sosial yang khas memposisikan diri sejajar dan egalitarian dengan masyarakat umum, membangun wacana-wacana dialog, sebagai penguatan kapasitas bulding , menjalankan peran social, sebagai pemikir, pemimpin dan pelaksana bukan sebaliknya hanya memikirkan komunitasnya saja.
Kita tentu terus berharap agar kiranya mahasiswa pada umumnya, dan mahasiswa Unlam pada khususnya tidak sekedar menjadi pengikut tren remaja yang hedonis, dan gagap secara sosial. Lebih dari itu mahasiswa sudah selayaknya mahasiswa menempatkan diri sebagai gerakan pemberi solusi, kritis dan mampu membuka ruang diskusi sebagai upaya mencerdaskan diri sendiri serta cakap dalam menggunakan akses informasi yang berguna untuk dirinya sendiri. Ayo mahasiswa unlam.