Triwulan kedua tahun 2022 ini seakan memberi secercah harapan bagi segala pihak, dimana situasi pasca pandemi berangsur - angsur pulih menuju seperti sediakala. Situasi pemulihan ini juga dirasakan dunia seni atau hiburan utamanya kesenian tradisi jawa. Dimana kehidupan sosial ekonomi para pelaku seni budaya tradisi jawa dari berbagai dikotomi bentuk kesenian mulai karawitan, tari, pedalangan, hingga teater tradisi vakum kurang lebih 2 tahun selama masa pandemi. Sebagian seniman tradisi yang menggantungkan sumber penghidupan satu – satunya dari sektor kesenian, sangat merasa terpukul dan terpuruk akibat tiada pemasukan sama sekali bagi mereka. Akibat dilarangnya mengadakan kegiatan yang memicu kerumunan, maka kegiatan kesenian selama periode pandemi tersebut terhenti seketika. Akibatnya, para seniman yang tidak memiliki sumber penghasilan lain menjual aset properti keseniannya dengan harga yang sangat terjangkau hanya demi memenuhi kebutuhan sehari – hari mereka. Aset properti ini mencakup seperti gamelan, wayang, pakaian tari dll. Namun, setelah melalui bulan – bulan berat ketatnya aturan penanganan pandemi, pasca hari raya idul fitri 2022 ini agenda kegiatan kesenian tradisi mulai pulih kembali disusul dengan pelonggaran regulasi aturan dari pihak pemerintah. Para seniman tradisi di daerah bisa merasakan nafas lega mulai menerima job pentas tertentu seperti situasi sebelum pandemi. Namun, kita perlu menelaah ulang tentang nasib standard kesehjateraan para seniman tradisi ini. Sudah lama sudut pandang terhadap profesi kesenimanan tradisi ini dianggap sebelah mata dan tidak memiliki batasan norma yang jelas utamanya mengenai jaminan finansial hasil dari pentas kesenian mereka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa seniman tradisi yang dapat mendunia sangat minim sekali jumlahnya serta tingkat kesehjateraan seniman tradisi mayoritas selalu berada dibawah pekerja seni dibidang lainnya. Mari kita gali beberapa indikasi mengapa hal ini dapat terjadi. Hal yang mendasari ini menurut sudut pandang saya adalah masalah mentalistas manajemen SDM yang kurang baik. Sumber daya manusia dalam berkesenian tradisi ditingkat daerah yang jauh dari sentral kesenian pakem tradisi, jarang menyadari dan mengembangkan 2 hal pokok landasan mentalitas dalam berkesenian. Antara lain profesionalitas dan kreativitas. Kedua hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. SDM yang layak serta memiliki integritas dan memiliki nilai produktivitas tinggi akan dapat membranding mutu kesenian yang dibawakan serta segmen pasar akan memberi komersil atas produk kesenian terkait, sehingga taraf kesahjateraan seniman dapat meningkat. Berbicara segmen pasar industri dalam berkesenian, hal ini dulunya dianggap hal yang sangat tabu dan hina. Kesenian tradisi pada masa lalu dianggap setara dengan religiusitas yang kental akan norma – norma untuk menjaga kebudayaan suci nan adiluhung yang dianggap “ haram “ untuk dapat dikomersilkan. Kesenian pada masa lampau dianggap suatu pengabdian dan dedikasi yang dilakukan oleh kasta priyayi dimana ada suatu norma dalam berkarya dan berkesenian tidak boleh mempromosikan serta menonjolkan kelebihan individu tertentu apalagi hingga menuju keranah komersilisasi. Namun seiring kemajuan zaman, ranah kesenian dituntut untuk dapat menjawab segala bentuk perkembangan zaman sehingga kesenian tersebut tidak dicampakkan seperti barang lusuh usang yang tak layak pakai. Salah satu tokoh kesenimanan jawa yang berhasil mendobrak mindset kurang tepat ini ialah Ki Narto Sabdo. Beliau merupakan seniman multitalenta juga merupakan seorang dalang mengemukakan pendapat bahwa, nilai ideal dalam kesenian tradisi bisa dicapai ketika dapat menyandingkan nilai lokal jenius yang diolah sesuai tuntutan arus zaman semenarik mungkin bersanding dengan ranah industri dengan tidak mereduksi nilai tradisinya. Disatu sisi seniman dapat berkarya tanpa kekangan batasan norma yang absurt, disisi lain karya yang ia hasilkan dapat mensejahterakan seniman tersebut. Hal ini dibuktikan Ki Narto Sabdo sendiri dimana ia memang berkompeten dalam bidang seni tradisi, mampu mengolah menjadi hal yang lebih menarik, dan merupakan dalang dengan aset kekayaan paling tinggi hingga masa sekarang dan belum ada dhalang yang dapat menandingi karier dan kesenimanan beliau. Berikutnya adalah ketidakjelasan batasan norma etik bahwa masa kini, seniman tradisi dianggap tabu memasang tarif tiap pentas. Hal seperti ini lazim ditemui pada iklim kesenian tradisi didaerah pelosok. Dalam hal ini berbagai pihak mulai dari para penanggap – seniman itu sendiri diharapkan dapat saling berbenah bersama dalam rangka memajukan iklim seni budaya yang sehat. Para penanggap sendiri hendaknya juga memiliki perkiraan yang logis dalam memberikan upah kepada para seniman tradisi  utamanya di daerah pelosok dan pihak seniman sendiri jangan suka saling menjatuhkan harga satu sama lain dengan dalih agar cepat dapat pemasukan walaupun sedikit. Bila dua pihak ini tidak saling bersinergi satu sama lain, maka mutu kesenian kita akan mengalami kemunduran baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Sebagai salah satu alternatif, mungkin pemerintah melalui instansi terkait bisa Menyusun regulasi standarisasi upah bagi para seniman tradisi untuk menjamin kesehjateraan dan keberlangsungan ekosistem seni budaya yang sehat. Bila ditarik kembali lagi di era pemulihan pasca pandemi ini, adanya bencana yang berlangsung dua tahun lalu masih menyisakan dampak positif bagi iklim seni tradisi. Salah satunya dengan muncul pagelaran virtual (mulai konser karawitan , wayang, tari, dll) yang disiarkan melalui media sosial atau digital tertentu yang tetap dapat dikomersilkan sebagai pemasukan para seniman tradisi di era pandemi. Hal ini juga merupakan upaya memajukan lokal jenius melalui perkembangan IPTEK. Juga dengan adanya institusi yang mencetak seniman akademis diharapkan dapat mengedukasi dan memberikan kemajuan berfikir bagi seniman – seniman tradisi di daerah pelosok.
KEMBALI KE ARTIKEL