Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

The Best Moment in My Life

23 Desember 2010   04:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:28 257 2
Bla bla bla,, kata demi kata ku rangkai untuk membuat tulisan ini. Namun semakin aku mengulang dan mengulang lagi, tulisan ini akan selalu terhapus. Segala pikiran aku keluarkan, segala inspirasi aku munculkan hingga aku teringat akan semboyan yang baru saja aku dapatkan dari pelatihan jurnalistik 2 hari ini. Menulis itu mudah!!! Begitulah kutipan tersebut. Entah ingin memulai dari mana, akhirnya aku memutuskan untuk menulisnya saja tanpa mengoreksinya lagi. Aku adalah seorang gadis yang telah beranjak dewasa, namaku fiskawaty. Keluarga, teman, dan orang-orang sering memanggilku fiska. Aku anak sulung dari dua bersaudara, usiaku tepat memasuki 21 tahu- saat aku membuat tulisan ini. Aku berasal dari keluarga yang sederhana, ayahku saat ini baru saja mengadu nasib ke perantauan luar daerah setelah beberapa tahun yang lalu mengalami sakit dan harus istirahat total. Ibuku mengisi waktu dengan berjualan kecil-kecilan dirumah, dan aku sendiri telah bekerja sebagai pegawai swasta di daerahku. Sekilas tentang judul yang aku ambil dalam tulisan ini, aku ingin berbagi dengan para pembaca akan momen-momen terbaik yang pernah aku alami hingga saat ini. Aku jadi teringat perkataan seorang teman bahwa masa lalu ada bukan untuk dilupakan tapi untuk dikenang dan diceritakan kepada anak cucu kita. Sepahit atau semanis apapun masa lalu tersebut, itulah jalan hidup kita. Bermula sebelum aku dilahirkan ke dunia ini, saat ayah dan ibuku masih menjalani proses pendekatan menjalin suatu hubungan yang serius. Ayahku penganut agama Islam, sedang ibuku penganut katolik keturunan. Entah apa yang memotivasi mereka sehingga mampu menyatukan perbedaan yang sangat menonjol tersebut, walau berbagai penolakan datang baik dari pihak ayah maupun ibu. Hingga akhirnya ibuku memutuskan untuk mengikuti agama ayahku menjadi muallaf. Mungkin terasa aneh jika aku menjadikan momen ini sebagai momen terbaik dalam hidupku, karena saat ibuku menjadi muallaf tentu saja aku masih belum ada didunia ini. Namun momen ini bisa jadi tombak awal aku menemukan akidah yang bisa aku pegang sampai saat ini. Dari itu aku memilih berpindahnya ibuku menjadi muallaf sebagai momen terbaik pertama yang pernah aku alami. Ada hal yang terlupa dari kisah diatas tadi. Ini mengenai reaksi keluarga ibuku terutama nenekku saat mengetahui ibuku telah menjadi muallaf. Wajar saja jika ada kemarahan dan perasaan kecewa yang mendalam karena saat itu ibuku baru berusia 20 tahun dan telah berani mengambil keputusan yang begitu menyanyat hati keluarga. Tidak perlu aku memaparkan seperti apa bentuk kemarahan tersebut, yang jelas mulai saat itu ibuku telah mempunyai keluarga yang baru. Setahun usia pernikahan ayah dan ibuku, mereka akhirnya dikaruniai seorang gadis kecil yang lahir dengan berat hanya 2,7kg yang kemudian dinamakan Fiskawaty itulah aku. Kegembiraan jelas terpancar dari wajah orang tuaku, hingga sesuatu yang tidak pernah mereka duga terjadi. Suatu hari yang aku sendiri tidak begitu tau waktunya, tiba-tiba rumah orang tuaku didatangi seseorang yang sangat dikenal. Dialah nenekku, ibu dari ibuku. Perasaan kaget, takut, senang bercampur menjadi satu dibenak kedua orang tuaku. Hingga tiba-tiba nenekku ingin memeluk aku yang saat itu masih sangat kecil. Rupanya nenekku setelah mendengar kabar kelahiranku, ingin sekali beliau melihatku. Gengsi pun beliau tanggalkan demi memeluk cucunya ini. Rasa syukur, bahagia, menyesal, memenuhi kediaman orang tuaku saat itu. Meskipun masih terlihat nenekku menjaga jarak dengan ayahku, namun itu tidak men jadi masalah yang berarti. Kelahiranku ke dunia ini ternyata memberi hikmah bagi orang tuaku, dan momen membaiknya hubungan ibu dan nenekku ini menjadi salah satu momen terbaik dalam hidupku. Saat itu aku telah duduk di Sekolah Dasar kelas 3. Aku telah mengikuti taman pendidikan Al-Qur'an sejak masuk kelas 1 Sekolah Dasar di daerahku. Setiap sore sepulang sekolah, aku dan teman-temanku bersama-sama pergi ke mesjid yang tidak begitu jauh dari tempat tinggal kami untuk mengaji. Teringat ketika aku baru masuk ke TPA, kulihat ada seorang anak sebayaku yang juga baru mulai mengaji. Sejak itu aku sering berdua dengan dia, dan kami selalu berlomba untuk cepat selesai mengaji mulai dari Iqro, Juz Amma, hingga Al-Qur'an. Seiring berjalan waktu, telah setahun lebih aku mengaji di TPA. Hingga sampailah waktu bagi para santri yang telah khatam Al-Qur'an untuk diwisuda. Saat aku tau bahwa salah satu yang ikut wisuda adalah temanku yang dulu sama-sama masuk itu, betapa terkejutnya aku. Memang aku sadari beberapa bulan terakhir aku tidak bersama dia dan cenderung malas-malasan mengaji. Aku coba meminta waktu kepada ustadzah agar bisa menyelasaikan bacaan yang hanya tinggal sedikit agar bisa ikut dalam wisuda. Tapi upaya yang aku lakukan sia-sia, hingga akhirnya temanku itu telah selesai diwisuda. Sejak saat itu aku selalu giat masuk TPA dan aku berhasil menyelesaikan khatam Al-Qur'an. Aku sempat menjadi ustadzah bagi adik-adik yang baru masuk Iqro, sambil menunggu waktu wisuda. Hingga akhirnya tibalah waktu yang telah aku tunggu-tunggu tersebut. Sebelum hari pelaksanaan wisuda, seperti biasa diadakan test oleh para ustad dan ustadzah. Antara lain, baca Iqro, baca Al-Qur'an, serta hapalan-hapal surat pendek sampai menulis huruf arab. Dari test itu nanti dilakukan penilaian dan akan diberikan trofi dan beasiswa bagi santri yang mendapatkan nilai tertinggi. Hari itu akhirnya tiba, aku hanya di dampingi oleh nenek ibu dari ayahku. Saat itu orang tuaku sedang merantau ke luar daerah dan aku dititipkan kepada nenekku selama kurang lebih 3 tahun. Mereka tidak bisa datang karena saat itu juga adikku lagi dirawat di rumah sakit karena menderita demam berdarah. Namun itu tidak mengurangi kebahagiaanku yang saat itu akan diwisuda. Acara demi acara berlangsung, dan tiba saatnya mengumumkan hasil test sekaligus santri yang mendapatkan nilai terbaik dalam wisuda kali itu. Perasaan gugup bercampur takut, namun aku agak sedikit pesimis untuk menang. Melihat teman-teman yang lain juga sangat baik, dan berpeluang untuk menang. Ketika moderator membacakan nama pemenangnya, alangkah terkejutnya karena nama itu adalah namaku sendiri. Nenek yang mendampingiku pun sampai dibuat bingung saat dipanggil maju kedepan untuk menerima hadiah. Gembira bercampur sedih yang aku rasakan saat itu, karena orang tuaku tidak bisa hadir dihari bersejarah ku. Momen disaat aku memegang trofi dan didokumentasikan dalam sebuah foto itu, aku jadikan sebagai momen terbaik yang pernah aku alami. Bahkan aku masih mengingat waktu terjadinya peristiwa tersebut yaitu 3 Oktober 1999. NB.Penulis Fiska.Tks pak Ismail sdh meminjamkan ruangan ini. Salam kenal para kompasianer,,sebentar lagi kami akan memiliki  kamar kost di rumah sehat ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun