Virus the manic society yang diderita masyarakat kota, terlebih kalangan eksekutif, akhirnya tertular juga pada panitia yang menggelar event olahraga. Akibatnya, gerak mereka selalu terburu-buru dan inginnya semua venue dan kelengkapan lainnya cepat selesai sesuai tenggat waktu, bahkan sampai mendekati hari H. Persiapan menjadi serba kacau.
Tentu, jika tidak disikapi, fenomena the manic society pada penyelenggaraan event olahraga akan menimbulkan masalah dan kerugian. Apa saja kerugian yang dimaksud?
a. Venue akan cepat mengalami kerusakan
Orang Inggris punya ungkapan yang menarik; easy come, easy go. Artinya apa-apa yang diperoleh dengan cepat, akan pergi dengan waktu yang singkat pula. Ya, semua sektor pasti mengalami hal ini, termasuk pada venue yang telah jadi. Rupanya, pembangunan venue yang cepat, asal-asalan, dan tanpa perhitungan, suatu saat akan mudah mengalami kerusakan.
Contohnya sudah jelas terjadi, yaitu pada saat penyenggaraan SEA Games di Palembang, ditemukan kerusakan pada venue aquatic. Tentu saja, akan terlihat mengganggu, bukan?
b. Munculnya Penyakit 3H
Kehadiran fenomena the manic society akan memunculkan sebuah masalah kejiwaan baru, yang biasa disebut virus 3H. Ketiga masalah tersebut adalah serba terburu-buru (hurried), saling kehilangan selera humor dan ketenangan (humorless), dan saling bersaing (hostile).
Sudah jelas 'kan, persiapan ajang olahraga dengan cara yang tidak benar, menikmati persiapan event dengan fokus dan penuh perhatian, akan menimbulkan gejala yang terburu-buru (hurried), seperti yang telah saya jelaskan di atas. Ditambah lagi dengan tekanan deadline yang telah ditetapkan, bakal muncul rasa ketidaktenangan dalam persiapan menjadi tuan rumah, terlebih pada diri penyelenggara (humorless).
Oh ya, ada satu lagi. Jika sekiranya ada “ego” dari dua kota penyelenggara yang semula telah ditunjuk, menginginkan menjadi tuan rumah tunggal, akan saling bersaing (hostile) untuk memperebutkan status tuan rumah dengan berlomba-lomba mempersiapkan diri. Jika pihak pemerintah menunjuk kota yang lebih siap, akan muncul rasa tidak kebagian pada kota yang gagal menjadi tuan rumah. Kecuali jika dua kota menyelenggarakan event olahraga dengan rasa kebersamaan dan saling mendukung, pasti hal tersebut tidak akan terjadi.
Cara Menyikapi Fenomena The Manic Society
Nah, melihat fenomena the manic society tersebut, bagaimana cara menyikapinya, termasuk para panitia event olahraga?
Benar, mestinya para panitia berpikir berkontemplatif apa yang diperbuat selama menjadi tuan rumah pada event sebelumnya. Jika biasanya persiapan dilakukan secara impulsif, pada saat persiapan menjadi tuan rumah Asian Games 2018 harus pelan-pelan, baik pembangunan dan renovasi venue, serta hal-hal lainnya. Walaupun dikerjakan secara lambat, itu lebih baik, sehingga hasilnya akan lebih maksimal.
Tapi, kalau misalnya ingin persiapan dengan waktu yang cepat? Boleh, asalkan semua elemen pendukung sudah lengkap dan dilakukan secara hati-hati. Satu hal lagi, hendaknya persiapan event dilakukan dengan perencanaan yang matang oleh panitianya, dari generasi saat ini ke generasi berikutnya, terlebih lagi ajang olahraga seperti Asian Games akan diselenggarakan empat tahun sekali, selama bumi masih bisa berputar lancar.
Demikian penjelasannya, salam Kompasiana!
*Berita, dari berbagai sumber
Ilustrasi