Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Mari Mengenal Pegawai Pajak Lebih Dekat (Lanjutan Tulisan Bung Minami)

28 Maret 2010   03:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:09 3423 0
Setelah diajak oleh Bung Minami ke kampus STAN, mari kita berkenalan dengan pegawai pajak yang sekarang ini sedang tercoreng mukanya oleh oknum Gayus. Sudah tentu, setiap pegawai pajak shock berat sekaligus malu mengetahui kasus Gayus ini. Siapa yang tidak? Siapa sangka bahwa ternyata Gayus itu kaya sekali. Terlepas dari pengakuannya bahwa uang 25 M tersebut bukan miliknya, tetap saja kekayaannya sangat luar biasa untuk seorang pegawai negeri biasa bergaji sekitar 12jutaan sebulan. Ketika diwawancara di TVOne selasa pagi, apakah banyak pegawai pajak lain yang seperti dirinya, dengan enteng, Gayus bilang bahwa dia tidak tahu, dan mungkin saja ada. Jadi, menurut Gayus, pegawai dengan rekening 25 M, itu bukan hal aneh. Benarkah begitu? Sebelum kita kenali lebih dekat pegawai pajak, mari kita lihat kantor pajak lebih dulu. Organisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terdiri dari kantor pusat, tempat segala pengolahan kebijakan perpajakan, termassuk urusan penyelesaian banding sengketa pajak, kantor wilayah (Kanwil) yang berfungsi sebagai penangung jawab kelancaran operasional per wilayah, dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) serta Kantor Penyuluhan Pajak.  Saat ini ada sekitar 20 Kanwil yang menaungi sekitar 125 KPP seluruh Indonesia Jumlah pegawai DJP sebanyak kurang lebih 30 ribu orang. Kebanyakan pegawai DJP yang sekarang berasal dari STAN Prodip Keuangan , Sisanya disuplai oleh penerimaan pegawai sarjana yang pengadaannya sekitar 2 atau 3 tahun sekali. Kebijakan kepegawaian DJP adalah Zero Growth, maksudnya penerimaan pegawai baru hanya untuk menggantikan pegawai yang berhenti/diberhentikan, meninggal atau pensiun. Saat ini, pegawai dengan NIP tua hanya tinggal sedikit, yang artinya, pegawai tersenior adalah kelahiran tahun 1960-an. Piramida pegawai terdiri dari banyak pegawai muda yang baru lulus atau direkrut dengan kisaran umur 30-an. Ini adalah regenerasi yang sejalan dengan reformasi perpajakan. Budaya KKN diharapkan pelan-pelan tergantikan dengan budaya profesionalitas. Secara struktur, lini terdepan kantor pajak adalah KPP, yaitu bertugas untuk melayani segala kebutuhan Wajib Pajak. Dalam sebuah KPP yang dipimpin oleh seorang eselon 3, ada barisan pegawai pelaksana, yang bertugas sebagai back office, pegawai Account Representative (AR) atau pengawasan dan konsultasi, yang bertugas memberi pelayanan administratif dan konsultasi perpajakan kepada  wajib pajak, sekaligus bertugas mengawasi Wajib pajak yang menjadi binaannya, Pegawai pemeriksa pajak, yang bertugas memeriksa kebenaran laporan pajak, terutama bagi WP yang memohon restitusi atas kelebihan bayar pajaknya. Sedangkan wewenang pegawai penelaah keberatan seperti Gayus yang hanya ada di kantor wilayah atau kantor pusat, adalah meneliti sengketa pajak yang biasanya terjadi bilamana wajib pajak tidak menyetujui hasil koreksi pemeriksaan pajak atas laporan SPT-nya. Mulai tahun 2002, DJP sudah menjalankan reformasi perpajakan. Untuk menghapus segala bentuk KKN, DJP memberi renumerasi bagi pegawai pajak. Nilai renumerasi ini cukup lumayan dan bervariasi bagi setiap jenis jabatan dan golongan. Sebagai timbal balik dari renumerasi tersebut, setiap pegawai dituntut untuk menjalankan tugasnya menurut kode etik yang berlaku. Yang diwanti-wanti dan diingatkan melalui pengeras suara pada setiap pagi hari kerja, pegawai pajak dilarang keras meminta dan menerima apapun dari wajib pajak. Semua pelayanan yang diberikan kantor pajak adalah gratis. Siapa saja WP yang merasa ada oknum pegawai pajak yang meminta sesuatu imbalan atas pelayanan perpajakannya, silahkan WP tersebut mengadukan si oknum ke telp 500200. Tidak ada lagi parsel lebaran/natal, tidak ada amplop yang diselipkan di bawah meja. Bahkan WP sekarang ini, lebih senang mengandalkan konsultasi kepada AR-nya ketimbang berkonsultasi pada konsultan pajak yang dicharge per jam. Bahkan terkadang, WP terkesan menuntut AR untuk dapat menjawab semua pertanyaan mereka secara memuaskan, sebagaimana layaknya konsultan pajak profesional. WP juga dapat menghemat biaya seminar pajak, karena kantor-kantor pajak rutin menggelar acara sosialisasi peraturan pajak . Acara sosialisasi ini sudah tentu gratis, diselenggarakan di ruangan yang cukup nyaman, lengkap dengan oleh-oleh goodie bag, yang berisi snack, bahan sosialisasi dan suvenir kecil. Perlahan, sejalan dengan reformasi yang sudah 8 tahun ini, budaya pegawai pajak juga berubah. Meski, bergaji rata-rata jauh di atas UMR  , atau bahkan pegawai swasta biasa, rata-rata pegawai pajak, tampil sederhana. Kebanyakan menggunakan transportasi kereta api ke kantor , bilamana memungkinkan. Jangan terkejut, bila di kereta AC jurusan Gambir Bekasi, kadang bertemu seorang eselon 3, memanggul ransel berisi kursi lipat kecil. Meskipun sebenarnya ada jatah mobil kantor kelas kijang Innova atau Nissan Grand Livina untuk eselon 3. Jangan pula terkejut, bila berpapasan dengan pegawai eselon 3 yang berlarian bersama anak buahnya mengejar absen di jam 7.30 pagi. Ya, benar, karena absen di jam 7.31 berarti sudah terlambat, dan gaji bulan depan sudah terpotong sebesar 1,25% . Nilai yang menurut saya lumayan besar. Untuk ukuran pegawai gol III/A, keterlambatan 1 detik saja, bernilai hampir 100 ribu. Budaya pegawai pajak yang baru selepas reformasi dan renumerasi ini adalah budaya tak malu berhutang. Kebanyakan teman saya pegawai pajak adalah penghutang, baik KPR, kredit mobil, atau Kredit Tanpa Agunan yang sebenarnya menjaminkan SK pegawai atau gaji bulanan yang ditransfer via Bank BRI atau Mandiri, atau sekedar hutang beberapa juta saja pada koperasi kantor. Lantas kemewahan Gayus ini , apakah berarti semua pegawai pajak juga bermewah-mewah? Seperti cerita kereta tadi, demikian juga cerita rumah pegawai pajak. Mungkin yang memiliki rumah bagus ada juga, tapi lebih banyak rumah pegawai pajak yang biasa-biasa saja, kalau tak bisa dibilang sederhana. Bahkan ada beberapa kisah mengharukan dari buku Berkah, yaitu buku kumpulan pengalaman dan kesan pegawai pajak mengenai reformasi pajak yang diterbitkan dan diedarkan secara internal. Satu kisah yang membuat saya ikut menangis adalah kisah seorang pegawai pajak yang kebetulan ditempatkan jauh di pelosok, yang tak punya ongkos pulang, meskipun anaknya tengah sakit keras di kampung. Meski sang istri sudah setiap jam sudah memohon pada si pegawai untuk segera pulang, Sang ayah, baru bisa pulang manakala Allah SWT sudah memanggil si anak ke haribaanNYA. Sedang kisah lain, ada seorang pegawai pajak, yang sudah babak belur karena motornya kecelakaan, tetap mengupayakan datang ke kantor dulu untuk absen, sebelum dia dilarikan ke UGD. Jelas pegawai pajak biasa, yang jumlahnya pasti banyak diantara 30 ribu orang pegawai, kecewa dan marah sekali pada Gayus. Gara-gara Gayus, rusak sudah image pegawai pajak yang sudah mulai membaik. Rasanya sakit hati dan perih, kalau masyarakat menghakimi dan menganggap semua pegawai pajak layaknya Gayus. Boro-boro memiliki dana miliaran di rekening bank, sampai ke akhir bulan dengan selamat sentosa saja sudah alhamdulillah. Maka setiap tanggal 1 yang bukan jatuh di hari kerja pasti bikin deg-degan. Karena sudah  gajian akan bergeser ke hari kerja berikutnya. Dan itu lumayan mengganggu cashflow. Apalagi dengan gerakan sejuta facebooker yang hendak memboikot pembayaran pajak. Gayus adalah nila setitik. Bandingkan nila setitik yang ini dengan upaya DJP mengamankan penerimaan pajak tahun 2010 yang ditargetkan sebesar 50 T sebulan. Sekali lagi, seperti yang sudah diuraikan oleh rekan kompasianer kita (http://polhukam.kompasiana.com/2010/03/26/damn-uang-gua-dimakan-ditilep-orang-pajak/), tugas DJP adalah adminstrator, artinya hanya mengumpulkan uang pajak. Sedangkan alokasi penggunaan uang pajak tersebut diatur lewat APBN yang disahkan DPR. Sebagai administrator, pada rapim awal tahun, target pajak 50T/bulan sudah dibagikan kepada setiap kantor pajak. Di setiap kantor pajak ini, target penerimaan pajak langsung pula dipetakan pada WP yang terdaftar. Seandainya, diperkirakan pada akhir tahun target tidak tercapai, para pegawai pajak kerja ekstra untuk menambal target tersebut. Biasanya dengan cara penggalian potensi pajak dari setiap wajib pajak. Pengalaman akhir tahun lalu, dimana setiap AR diperintahkan untuk mencari sekecil apapun potensi pajak yang masih bisa digali dan belum dilaporkan oleh Wajib Pajak, sungguh melelahkan . Maka pegawai pajak kategori biasa sungguh tidak habis pikir. Bagaimana bisa Gayus mengumpulkan uang sebegitu banyak. Karena dengan situasi normal dengan kantor pajak yang sudah direformasi ini, rasanya hampir mustahil melakukan hal yang Gayus lakukan. Belum lagi pegawai KITSDA yang mengawasi gerak-gerik pegawai pajak. Ada aduan sedikit saja dari WP mengenai pegawai pajak, maka KITSDA langsung turun tangan untuk memeriksa Maka kasus Gayus adalah kasuistis. Ada oknum WP yang bermain , mencari kesempatan dari kelemahan iman Gayus, sehingga reformasi perpajakan jadi tercederai .  Tetapi bagaimanapun, tugas yang diemban DJP untuk mengumpulkan uang pajak untuk membangun negara, tetap harus jalan terus. Apa jadinya bila masyarakat memboikot pembayaran pajak hanya gara-gara Gayus? Artinya, seluruh masyarakat yang akan menanggung kerugian dengan berhentinya proses pembangunan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun