Suara lantunan surat Yassin menghentikan pikiranku. Suara Kalam Allah itu terdengar semakin jelas di telingaku. Bukan hanya satu suara, tetapi banyak. Suara-suara itu tidak terdengar seperti alunan indah di hatiku, melainkan suara perih yang menggores jantungku secara perlahan. Perlahan tanpa bisa kucegah air mata mengalir ke pipiku yang sudah kering. Ayahku sudah tiada, ayahku sudah pergi, jadi untuk apa aku masih di rumah sakit.
Kemarin, selepas adzan Magrib Ayahku menghembuskan nafas terakhirnya. Tetapi, aku tidak di sisinya saat Malaikat mencabut bagian terakhir dari nyawa Ayahku. Aku tidak di sana untuk menuntun Ayahku melafaskan Asma Allah, aku tidak di sebelahnya saat seharusnya aku mengatakan betapa aku menyanyanginya untuk terakhir kalinya. Sore itu aku dan adikku pergi ke laboratorium untuk mengambil hasil tes darah Ayahku. Aku membawa darah Ayahku yang sudah menghitam tanpa firasat apapun. Aku bahkan tidak terlalu memikirkan perkataan adikku yang tidak ingin kehilangan Ayah kami. Saat kembali ke kamar tempat Ayah di rawat, Suara tangis Ibuku seperti tamparan tak terlihat yang membuat perih mataku. Ibuku yang pendiam, Ibuku yang tertutup, yang tidak pernah mengukapkan rasa sayangnya, menangis sejadinya. Ibu duduk di lantai, di sisi Ayahku menyebut nama Allah sambil terus menangis. Aku melangkahkan kakiku yang mulai berat, medekat ke sisi ranjang Ayahku, dan di sanalah Dia Ayahku terbaring dalam diamnya dengan senyum penuh kedamaian menghias wajahnya. Aku menggenggam tangan Ayah yang masih hangat, memanggilnya berkali-kali memastikan bahwa ini bukan candaan yang biasa dilakukannya. Sementara Adikku jatuh ke lantai, berteriak memanggil Ayah berulang kali, dan menangis sekuat yang bisa dilakukannya.
Selimut adikku tersingkap. Perlahan Dia bangun dari tidurnya, dan menatapku dengan matanya yang bengkak. Semalam kami berdua menangis bersama di kamar ini sampai tertidur. Aku mencoba menenangkan adikku yang belum bisa menerima kepergiaan Ayah kami. Adikku di usianya yang masih belia telah kehilangan Ayah yang sangat Dia sayangi. “Kak, Bapak,” ucapnya lirih. Aku mendekatkan diri untuk memeluknya. “Kak, Bapak,” ucapnya lagi di antara isak tangisnya. Tidak ada kata yang bisa menghiburnya, tidak ada kata yang bisa menghilangkan kesedihannya. Jadi yang kulakukan hanyalah memeluk, dan membelai rambutnya dengan lembut. Pagi ini untuk pertama kalinya aku memeluk tubuh adikku sejak kami tumbuh besar bersama. Ingatanku melayang pada pagi seminggu yang lalu. Pagi terakhir yang kuhabiskan bersama Ayahku sebelum Beliau masuk rumah sakit. Sebenarnya setiap kali suara adzan Subuh terdengar dengan sigap Ibu membangunkan kedua puterinya. Tetapi pagi itu Ayahlah yang membangunkan kami berdua. Dengan lembut Beliau menepuk kakiku dan adikku. Dengan lembut juga Beliau memanggil-manggil nama kami, meminta kami segera bangun untuk sholat Subuh.
Pagi adalah penggalan kisah tentang Ayahku yang tidak bisa digantikan, karena hanya saat fajar saja aku bisa bertemu dengannya. Kesibukkan dunia membuat kami jarang bertemu di malam hari. Karena itulah Ayah selalu mempersembahkan pagi yang ceria untuk kami. Setiap kali fajar datang rumah ini selalu ramai oleh suara Ayahku yang besar, yang mengingatkan kami tentang waktu pagi yang singkat. Setiap kali fajar datang tidak pernah ada kisah sedih di rumah ini. Selalu saja ada hal lucu yang membuat kami bersyukur dan tersenyum di pagi hari, seperti kebiasaan Ayah yang memaksa adikku untuk sarapan sampai membuat adikku menangis, atau kebiasaan ayah yang meledek dari mana Adikku mendapatkan kulit hitamnya sementara kami bertiga berkulit putih, dan kebiasaan Ayahku yang menggoda Ibu melalui masakannya.
Kemarin malam aku masih berharap semua kehilangan ini hanyalah mimpi. Aku masih berharap Ayahku bangun dari tidurnya. Aku masih berharap bahwa akan ada lagi pagi-pagi seperti kemarin. Tetapi pagi ini, aku bangun dari mimpi kosongku. Aku terbangun dari tidur dengan semua rasa sakit yang menusuk jantungku. Fajar ini tidak ada kecerian di rumahku. Fajar ini awan gelap menyelimuti rumahku. Fajar hari ini memaksaku menerima semua kenyataan, dan rasa kehilangan. Fajar ini Ibuku resmi menjadi seorang Janda, dan fajar ini aku beserta Adikku telah menjadi seorang yatim.
Ayah adalah kepala keluarga yang tegas, teman berdebat yang tak tertandingi, teman bercanda yang mengasikkan, sampai musuh yang menyebalkan. Ayahku selalu tegas saat menyuruhku dan adikku untuk sholat tepat waktu, mengaji selepas Magrib, dan patuh pada Ibuku. Ayah selalu mengajariku tentang dunia luas, yang mungkin sebagian orang berpikir bahwa wanita tidak seharusnya tahu akan hal itu, tetapi Ayahku berpendapat bahwa Wanita harus bisa mengerjakan semua hal. Dia bahkan mengajariku bagaimana mengganti lampu, membetulkan kipas angin, sampai mengenalkanku dengan mesin motor. Ayahku juga senang bercanda, dan berbagi hal lucu yang dialaminya, walau terkadang rasa cemas dan ketakutannya yang berlebihan membuatku sebal. Beliau tidak pernah mengizinkan kedua puterinya pergi jauh tanpa pengawasannya, bahkan hingga kami menginjak usia dewasa.