"Aku sedang memunguti kata demi kata, menyusunnya untuk menjadikannya bermakna (atau mungkin menjadikannya sempurna)."
"Tapi tdak ada sesuatu yang sempurna di dalam semesta, kesempurnaan hanya milik Sang Pencipta."
"Ah-tapi aku hanyalah pemungut kata. Pekerjaanku kerap kali dianggap tak berguna, walaupun kesempurnaan akan kukejar dengan jiwa dan raga."
"Heh-kata siapa? Semua orang mempunyai perannya masing-masing pada semesta, merasa tidak sempurna itu tidak apa-apa. Asalkan tidak menjadi putus asa."
"Lalu-sekarang aku harus berbuat apa? Mengejar kesempurnaan terasa tiada guna."
"Kejarlah matahari, karena dia adalah simbol kehidupan, awal dari segalanya-sebelum siang hari berakhir menjadi senja, yang berlari memeluk malam."
"Bagaimana apabila, malam tidak ingin melepaskan pelukannya? Karena malam adalah kematian."
"Itu artinya takdir yang telah memelukmu. Takdir adalah hak mutlak Sang Pencipta. Untuk itu berdoalah dan memohon; agar masih diberi kesempatan bertemu matahari, keesokan harinya."
Lalu, bacalah puisi ini-yang telah terangkai walau tiada sempurna;
hidup adalah matahari, malam adalah kematian
ketika mawar tumbuh dan mekar, belalang pun merusak,
nyanyian kutilang, tertembak pemburu
sebuah goresan, berdarah-isyarat kematian,
pulang ke rumah, ingin berbaring, kendaraan terjebak-oh, janji tak terpenuh,
pada jamuan malam, kasak kusuk tak bertepi
adalah janji janji manis-sukacita di hati,
lebah menyengat, ular memangsa
burung pemakan bangkai-isyarat kematian,
kunang kunang berkedip, lolongan serigala menyayat, bulan tertutup awan-terdiam seribu bahasa.
"Aku hanya ingin memohon sedikit harapan, saat sedang berdialog dengan-Nya, doa yang terangkai kata demi kata. Semoga masih diberi kesempatan melihat matahari, yang akan singgah setiap pagi- sepanjang musim-sampai pada hari, pada minggu, pada bulan, dan tahun berikutnya."
_________
Writen by Coretan Embun