morang-maring. Seperti cacing yang dijemur di bawah matahari.
Meliuk-liuk karena kepanasan.
"THR tuh dibagiin kapan sih, Teh?" Sambil bicara, lihai tangan Mumun
menggunting benang-benang yang menyembul di setiap sudut pakaian.
"Katanya tiga hari lagi, Mun." Ida, seniornya di pabrik tempat Mumun
bekerja menjawab singkat.
"Lama banget..."
"Ssst, denger-denger THRnya nggak penuh. Bosnya lagi pusing, katanya
tahun ini penjualan lesu. Masih bagus di pabrik tempat kita kerja
nggak ada yang diPHK. Gara-gara Jokowi jadi presiden, Mun."
"Ih, si teteh mah, apa hubungannya sama Jokowi? THR kan udah jadi hak
kita sebagai pekerja, Teh..."
Ida nyerocos terus. Maklum, dia salah satu member yang gabung di
serikat buruh. Mumun melongo. Mumun tak mengerti politik. Cuma ngerti
kalau dia kerja, pasti dapat hasil berupa upah. Itu saja. Cara
berpikirnya memang sesederhana itu.
***
Mumum menghitung-hitung. Bukan, bukan menghitung untung. Mumun
menghitung bila THR keluar, apa saja yang mau ia beli. Hmmm...
Khusus Lebaran tahun ini, Mumun harus jadi primadona di kampung. Kalau
perlu hukumnya wajib. Tahun lalu Mumun belum bekerja. Mumun hanya
hidup dengan Abah yang berpenghasilan dari warung kopi. Mumun tak tega
bila harus membebankan Abah apalagi hanya demi baju dan sepatu
Lebaran.
Ceu Anis. Yah, Ceu Anis tetangganya yang jadi primadona di kampung
saat Lebaran tahun lalu. Betapa cantiknya Ceu Anis pakai kaftan ala
Syahrini dan hijab ala Zaskia Mecca. Make up-nya ala Inneka
Koesherawati. Duh aduh, rasanya jejaka sekampung pada ngantri pengen
minal aidinan sepulang sholat Ied. Belum jejaka yang kerja di kota dan
lagi pulang kampung.
Mumun iri pada Ceu Anis. Kurang cantik apa Mumun? Rasanya nggak kalah
cantik dengan Ceu Anis. Mumun cuma kurang di penampilan. Terlalu
sederhana. Meski sudah bekerja, tapi upahnya setiap bulan ia sisihkan
sebagian besar untuk Abahnya dan sebagian lagi untuk ditabung.
Tapi kali ini Mumun ingin tampil beda. Dalam rangka mencari jodoh,
hehehe. Siapa tahu ada jejaka yang naksir, pikirnya. Pokoknya harus
bikin pangling semua orang. Mumun menghayal semua mata tertuju padanya
ketika hari raya. Antri ingin bersalaman dengannya.
***
Yang ditunggu akhirnya datang. Menunggu THR datang rasanya seperti
menunggu pacar yang LDR dan ketemunya setahun sekali. Eh, tapi Mumun
belum pernah punya pacar. Jadi soal rasa, biar kita serahkan pada
Mumun saja.
Dengan hati riang gembira, Mumun minta izin ke Abah untuk pergi ke
mall yang letaknya cukup jauh dari kampungnya.
"Hati-hati di jalan, Mun..."
"Tenang, Bah...Abah mau nitip apa?"
"Nitip Mumun pulang dengan selamat aja..."
Duh Abah. Mumun jadi terharu tuh. Mau pergi jadi nggak tega. Tapi demi
"primadona lebaran", Mumun pergi juga. Besok sudah Lebaran, jadi hari
ini hari terakhir untuk belanja.
***
Buy 1 get 1. Sale up 70%. Diskon 30% all item. Beli 2 mukena gratis 1
sajadah. Baju koko disc 50%. Beli 5 toples kue gratis 1 toples kue.
Sepatu trendy, beli 1 dapat 2. Lho-lho, kalau yang terakhir terasa
janggal. Di mana-mana beli sepatu kan dapatnya dua. Kiri dan kanan.
Pembohongan publik! Dasar pedagang. Paling bisa kalau soal promosi.
Ngomong-ngomong mana Mumun? Mumun mana? Waduh, gawat kalau Mumun yang
polos itu nyasar! Dia sendirian di tengah-tengah kerumunan. Hari ini
mall seperti pasar malam. Riuh dan gaduh. Mana yah Mumun? Dia kan
jarang ke mall. Aduh, jangan-jangan...
Ternyata itu Mumun! Lagi turun naik tangga berjalan. Terlihat
kerepotan karena Mumun sudah menenteng tiga kantung belanjaan di
tangan kirinya. Matanya masih sibuk berkeliling. Jalannya gesit.
Keluar masuk pertokoan. Mumun kalap! Tergoda diskon di sekelilingnya.
Mumun membuka dompet, dihitungnya lembaran-lembaran berwarna merah.
Masih ada sepuluh lembar. Tujuan terakhir Mumun adalah sebuah gamis
muslim yang harus membuat dirinya terlihat spektakuler. Kata
teman-teman di pabrik harganya bisa tujuh ratus ribu kalau beli di
mall. Berarti masih ada sisa untuk pegangan saat lebaran, batinnya.
Ketika tiba di lantai tiga khusus toko-toko pakaian, tak disangka tak
diduga tiba-tiba ada yang menarik-narik tangannya. Mumun yang sudah
lelah langsung kelimpungan.
"Belanja di sini aja, Mbak...modelnya baru, harganya murah..."
"Jangan di situ, di toko ini saja. Modelnya lebih terbaru, lagi diskon
setengah harga..."
"Di mana lagi yang diskon hampir delapan puluh persen kalau bukan di
tempat ini?"
"Ayo habiskan saja uangnya, mumpung setahun sekali. Kapan lagi harga
bisa semurah ini?"
"Katanya pengen jadi primadona lebaran di kampung? Pakai baju muslim
ini, bisa seperti Dewi Sandra nanti."
"Borong semua bajunya, Mbak. Kapan lagi bisa semurah ini?"
"Sudah, yang ini saja, satu setel cuma delapan ratus ribu, lagi ngetrend..."
Mumun bingung. Mumun biyung. Mumun linglung. Kepalanya bagai
berputar-putar. Mumun takut. Ingin berteriak tapi mulutnya terkunci.
Mumun mengucek-ngucek matanya. Bulu kuduknya berdiri. Hatinya
bergidik. Sekali lagi dilihatnya siapa gerombolan yang menarik-narik
tangannya?
Aduh, kenapa wujudnya semua aneh! Ada yang seperti tante kunti
berambut panjang, ada yang bertanduk merah, ada yang tubuhnya tambun
berambut api, ada yang kulitnya bersisik hijau, ada yang bertaring,
ada yang seperti raksasa, ada yang seperti nenek sihir dan...ada anak
kecil berwajah seram yang duduk di atas tumpukan baju sambil
goyang-goyangkan kakinya yang berjumlah banyak!
Mereka itu siapaaaa??? Mau ngapain mereka di mall???
Mumun ambruk. Pingsan.
***
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana
Community http://www.kompasiana.com/androgini
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
https://www.facebook.com/groups/175201439229892/