Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

Percakapan di Ruang Dewan

21 Mei 2015   21:21 Diperbarui: 8 Juli 2015   22:42 156 7
"Bagaimana ini yah, susah kalau sekarang...yang di sebelah sana tidak bisa disuap. Sok bersih! Munafik! Duh apesnya yang terpilih di periode ini." Tubuh berperawakan tinggi berbisik-bisik, berkeluh kesah pada lelaki bersafari abu-abu yang duduk di sebelahnya.

"Hehehe, terima nasib dulu saja. Tapi barangkali masih ada yang bisa kita mainkan. Bukankah selalu ada jalan ke Roma?" Seketika muncul kedua tanduk berwarna merah menyala di kepala lelaki berumur lima puluh tahun yang diajaknya bicara.

"Maksudnya? Gimana caranya?" Kedua alisnya berkernyit. Seperti lengkungan sabit.

"Ssssttt, jangan bicara di sini, nanti kita ketemu di luar saja. Meja dan kursi di sini saya percaya punya mata, telinga dan mulut. Bisa bocor." Lelaki bertanduk itu pura-pura sibuk kembali membereskan setumpuk berkas di atas mejanya. Menurut agenda, sepuluh menit lagi sidang persoalan rakyat akan digelar.

***

Dua lelaki berbaju batik motif burung garuda dari satu partai yang sama terlihat mencuri-curi obrolan di sela-sela sidang paripurna.

"Ssst, bagaimana proyek yang kemarin? Sukses?"

"Payah, sistem sudah berjalan. Susah bermain kita..."

"Hmmm..."

"Jadi bagaimana ini ya, Pak? Kering lahannya sekarang."

"Kalau kering yah disiram saja, hahaha..."

"Mulut kas sudah celangap saja minta segera disuapin."

"Sudah sudah, biar itu jadi urusan saya saja nanti."

***

Pintu ditutup rapat. Ada pembicaraan serius di sebuah ruang komisi XYZ.

"Pak, sekarang ada yang mulai naik panggung..."

"Biarkan saja. Mungkin mereka ingin ikut berpentas. Supaya jangan kita terus yang banyak berakting dan disorot media...hahaha..."

"Pengalihan issue mungkin, Pak?"

"Bisa jadi, atau mungkin lagi cari perhatian Presiden dan rakyat...wait and see saja dulu."

"Soal data-data yang lalu, Pak?"

"Sudah diamankan..."

***

"Pelayanannya nomor wahid untuk sekelas newcomer," lelaki paruh baya itu memperlihatkan sebuah foto dari smartphone-nya.

"Oh ya? Bening juga. Boleh dong ikut nyicip?" Lelaki satunya picingkan mata. Sok menyimak. Terlihat jakunnya bergerak-gerak. Bergelombang otomatis. Menelan air liur.

"Nih nomornya, simpan. Nanti hubungi sendiri saja."

"Ok. Thanks ya. Minggu depan saya jadwalkan ada kunjungan ke luar kota. Kalau bisa ke luar negeri sekalian. Penasaran. Hahaha..."

***

"Tas kulitnya bagus, Jeng. Paris punya yah? Pasti mahal..." Kuning langsat jari-jari lentik berhias tiga kilau cincin berlian itu menyentuh sebuah tas milik rekan kerjanya.

"Oh, kemarin nitip anak yang lagi liburan ke London. Murah, nggak sampai lima ratus..." Rekan kerjanya itu melirik sebentar sambil tersenyum lalu merapikan tatanan rambutnya.

"Aku juga kemarin nitip sepatu ke adikku dapetnya murah. Nggak sampai seratus..." Tidak mau kalah dan tetap berusaha "rendah hati", wanita bergincu merah bata itu menimpali.

"Wah, lumayan yah. Nanti kapan-kapan kita shopping bareng...ssst, mungkin kalau proyek yang itu goal..."

"Hihihi, siap, Jeng. Diatur saja waktunya." Sebelah matanya berkedip lambat. Berat oleh maskara hitam yang menggumpal di ujung bulu matanya.

"Ayo, Jeng, rapatnya sudah mau mulai." Dua pasang sepatu dengan hak runcing setinggi dua belas senti tergesa-gesa saling berkejaran. Samar-samar seperti suara sepatu kuda yang ingin berlari.

***

Seorang anggota dewan menyiram segelas air mineral pada ketua sidang. Sekejap suasana rapat menjadi riuh dan gaduh. Nyaris seluruh anggota rapat seketika berdiri. Takut ketinggalan sebuah tontonan yang baru saja digelar.

Meja digebrak. Penggebrak meja melotot. Bicaranya kacau. Seperti orang teler. Tak peduli seluruh lensa kamera mengarah padanya. Ruang sidang sekejap jadi pasar malam yang penuh pengunjung. Tak bisa dibedakan mana penjual mana pembeli? Mana preman mana provokator?

Percakapan-percakapan kini bergerombol di berbagai sudut. Ada yang sambil tertawa nyinyir. Ada yang wajahnya ikut memerah padam karena terpancing emosi amarah. Ada yang bengong seperti kepompong.

Palu diketuk. Sidang ditunda. Percakapan-percakapan berlanjut di masing-masing ruang pribadi anggota dewan. Hari itu, media-media punya berita untuk segera dijadikan Headline.

***

Hari lainnya. Sidang berikutnya.

"Hoaaam...rapat yang sangat membosankan..." Lelaki kurus berkumis tipis. Mulutnya menguap. Tak lama punggungnya merosot lalu tertidur dengan pulas. Seperti habis menenggak obat tidur. Entah diberi mimpi atau tidak.

"Ahh, kalahhh...!!!" Kali ini yang berperawakan tambun jarinya lincah menyentuh layar smartphonenya. Tangan kanannya mendadak menutup mulutnya, takut terdengar pemimpin rapat. Game dipause. Wajah pura-pura polosnya kembali menyimak jalannya sidang.

"Glek..." Sosok pria berwajah lebar berkulit putih berjanggut tipis menelan ludah. Fokus memandang layar mini yang tengah memutar sebuah video. Lima menit kemudian ia clingak-clinguk, takut bila ada yang memergoki. Dimatikan handphone, namun imajinasinya masih liar berkelindan dalam otaknya.

"Setujuuuu..." Kompak seluruh suara nyaring baik yang merdu maupun cempreng terdengar ketika pemimpin rapat memutuskan hasil. "Biar cepat selesai..." Bisik-bisik mereka. Benar saja, tak lama rapat dibubarkan.

***

Senyap. Jam dua belas malam. Tak ada lagi percakapan manusia di berbagai ruang milik rakyat ini. Hanya sesekali security bergantian keliling. Itu pun tak bersuara. Hanya suara sepatu dan kilau sorot senter. Tapi...sebentar! Sepertinya masih ada yang mengoceh di sebuah sudut sana!

"Kulit kaki dan tanganmu masih mulus, masih mengilap...perutmu terlihat empuk juga..."

"Dia kan jarang hadir di ruangan ini."

"Aneh, bukankah ruang ini penting untuk tempat dia bekerja atau untuk membahas rakyat yang telah memilihnya? Atau mungkin ia sibuk berkeliling mengunjungi rakyatnya? Blusukan?"

"Entah, tapi tak apalah. Lagipula aku tak suka pantatnya ketika mendudukiku. Sepertinya dia punya masalah dengan asam lambung. Belum kalau dia tertidur pulas, aku tak nyaman ketika air liurnya mengotori tubuhku."

"Hahaha, lelucon yang konyol. Kau hanya sebuah kursi. Tak punya hidung untuk membaui."

"Kau lebih lucu lagi, sepotong laci yang tak punya mulut tapi cerewetnya bukan main."

"Hahaha, bila ku punya mulut, dia akan sangat takut padaku. Sebab aku menyimpan banyak dokumen rahasia yang kadang mengendap sementara sebelum mereka bawa pergi lalu dilenyapkan. Aku sering mengintip isinya, jadi aku tahu."

"Kau benar juga, termasuk tentang karet warna-warni yang sering keluar masuk dalam perutmu? Atau serbuk-serbuk putih yang katanya bisa buat manusia terbang ke surga walau sejenak saja?"

"Husss! Kau tahu darimana? Aku tak pernah cerita soal itu."

"Hei! Aku punya mata, Bodoh! Hahaha. Kau lupa bahwa jarak antara kau dan aku tak lebih dari satu meter."

Mereka tertawa. Pecahkan keheningan di ruangan megah itu. Beberapa foto keluarga yang terpanjang di atas meja memelototi mereka yang tengah asyik memperbincangkan orang yang mereka kasihi. Mereka berdua tak peduli. Terus bercakap-cakap. Hingga letih. Hingga bosan. Lalu terdiam panjang.

Sunyi kembali menyeruak. Mereka rupanya sudah tertidur. Lelap. Besok dan hari-hari selanjutnya, mereka berdua dan teman-teman mereka akan menjadi saksi percakapan dan kelakuan tuan dan nyonya mereka di ruang-ruang dewan yang terhormat itu.

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun