Dewi Pagi – No. Peserta: 70
“La, tolong kamu siapkan pesanan dari Pemda. Mereka minta lima ribu cupcakes tapai coklat untuk acara pesta rakyat minggu depan. Jangan lupa orderan Bu Dian di Bandung, saya sudah hubungi ekspedisi. Hmm, menurut kamu apa kita perlu tambah mobil operasional yah?” Aku diam, lalu bicara lagi.
“Oh iya, gimana dengan catering Nissa Arthur? Sudah kamu follow up? Saya mau dia ambil snack-nya dari kita, kliennya ada tiga pabrik, kalau tidak salah satu pabrik buruhnya tiga ribu orang.”
“Baik, Bu. Nanti saya follow up semua. Sudah ada di agenda saya. Maaf, tolong tanda tangani giro ini dulu. Oh iya, kapan Ibu ada waktu untuk ketemu supplier Collata?”
Laila, orang kepercayaanku yang sangat kuandalkan. Wajar bila Laila kupertahankan dan ku beri jabatan terbaik. Laila karyawan pertamaku yang membantuku sejak awal aku merintis usaha yang kini kian berkembang pesat.
Laila meninggalkan ruangan. Aku melepaskan pegal dengan menyandarkan punggungku di atas kursi berbungkus kulit dan berisi busa yang super empuk. Tiba-tiba Ingatanku melayang pada tujuh tahun yang lalu…
Aku nekat melepaskan jabatan sebagai manager accounting di sebuah PMA demi impian besarku. Merasa otak kananku tak bekerja maksimal ketika menjadi seorang pekerja. Aku punya impian besar untuk berbuat lebih banyak pada orang lain. Bukan sebatas duduk dan membuat laporan-laporan keuangan.
Tahun demi tahun berlalu. Kini aku menjadi seorang pengusaha muda sukses di bidang kuliner spesial roti dan kue-kue tradisonal. Otodidak. Trial error hal biasa setiap kali menjajal resep orisinilku.
Tak peduli rasanya dengan kegagalan. Bagiku dibalik perjuangan pasti ada harga yang harus dibayar. Entah waktu, uang, keringat bahkan darah dan air mata. Mana pernah pula ku duga setelah tujuh tahun berlalu, aku bahkan mampu memberangkatkan tiga puluh karyawan terbaikku untuk umroh? Yah, Tuhan memang senang dengan kemisteriusan dan aku adalah salah satu “korban” kemisteriusan-Nya.
Semua berawal dari kenekatanku berhutang pada beberapa supplier demi mendapatkan bahan baku untuk produksi. Sungguh berkah tak terkira hingga sekarang aku memiliki hampir dua ribu karyawan yang menggantungkan mata pencaharian mereka di beberapa perusahaan milikku.
Kini aku adalah seorang wanita mapan dan pengusaha muda yang cukup diperhitungkan. Beragam penghargaan menghiasi dinding ruang kerjaku. Sebuah pabrik kue, dua puluh cabang toko kue yang tersebar hingga ke Surabaya, tiga restoran, dua cafe dan satu toko bunga, adalah bukti dari keberhasilanku membangun impianku.
Dering telepon membuyarkan lamunanku.
“Maaf, Bu, cuma mau mengingatkan, Ibu ada janji dengan marketing tepung Premix di Cafe Senja…”
“Aduh, saya hampir lupa. Makasih La, sudah mengingatkan…”
Kubereskan meja kerja lalu menyambar kunci mobil Pajero Sport putih milikku.
“Bagaimana, Bu? Bisa kita segera mulai kontraknya? Ibu tinggal memilih bonusnya. Selain cash back, Ibu mau jalan-jalan ke Eropa atau Amerika? Tinggal bicara target saja…” Kami bersalaman. Membuat janji untuk pertemuan berikutnya. Siang ini aku punya janji lain. Mengunjungi sebuah desa bernama Cilanka.
Aku memandang hamparan kebun singkong yang luasnya berhektar-hektar dan tersebar dipenjuru kampung ini. Tujuh tahun lalu, petani singkong di daerah ini hidup dalam kemiskinan. Setelah pemikiran panjang disertai hitung-hitungan, aku memutuskan merangkul mereka.
Seringkali para tengkulak mempermainkan harga hasil bumi di desa ini. Akhirnya aku membuat kesepakatan dengan para petani. Membeli hasil bumi mereka terutama singkong dengan harga kontrak yang menguntungkan kedua belah pihak.
Ilmu yang kupelajari tentang memproduksi dan memasarkan roti dan kue akhirnya tertambat pada singkong sebagai bahan dasar utama. Kelak ku proses sebagai tepung atau ku peram menjadi tapai.
Para perempuan di desa itu ku bidik sebagai salah satu target mimpiku. Selama ini mereka hanya menggantungkan penghasilan pada suami mereka. Aku berusaha merubah pola pikir mereka bahwa saat ini jaman telah berubah. Perempuan harus kreatif. Jaman sekarang apa-apa tak ada yang mudah.